Peran Besar Diplomasi Sang Bung Kecil

KhazanahPeran Besar Diplomasi Sang Bung Kecil

Perawakannya kecil, namun pandangan serta pemikirannya besar dan merentang jauh maju. Adalah Sutan Syahrir, salah satu tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan. Ia adalah konseptor, teoritikus, pemikir dengan gagasan besar, seorang aktivis yang kokoh, juga merupakan perdana menteri Indonesia pertama yang kala itu masih terbilang amat muda, 36 tahun. Putra berdarah Minang tersebut kesohor dalam peran diplomatiknya. Syahrir meletakkan dasar-dasar diplomasi. Ialah bapak politik luar negeri bebas aktif, sebuah prinsip yang dianut bangsa kita sampai sekarang. Langkah-langkah diplomatiknya membuat kemerdekaan bangsa ini bertahan dan berangsur diakui dunia internasional.

Lahir dari keluarga terpandang dan berkecukupan membuat Syahrir berkesempatan mengenyam pendidikan yang berkualitas di masa kolonial Belanda. Jenjang pendidikannya dimulai dari ELS (Europeesche Lagere School), setara dengan SD, lalu berlanjut ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang dirampungkannya pada 1926. Berpindah ke Bandung, Syahrir meneruskan pendidikannya di AMS (Algemeene Middelbare School). Syahrir adalah siswa yang cerdas, giat membaca, dan aktif kegiatan klub di sekolahnya. Kepeduliannya pada pendidikan ditunjukkan pula dengan mendirikan sekolah bernama Cahaya Universitas Rakyat yang diperuntukkan bagi warga kurang mampu dan anak-anak buta huruf. 

Pidato Dr. Tjipto Mangunkusumo, konon menjadi pemantik nasionalisme Syahrir. Ia mulai terlibat dalam aktivisme pergerakan dan aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan. Syahrir dikenal kemudian sebagai penggagas Jong Indonesie pada 1927, yang menjadi cikal bakal kelahiran Sumpah Pemuda 1928. Setelah purna dari AMS, Syahrir terbang ke Belanda untuk kuliah. Ia tergabung sebagai mahasiswa fakultas hukum di Universitas Amsterdam. Di sana ia banyak mengkaji teori-teori sosialisme yang kemudian membentuk kerangka pemikirannya. Di sana pula ia bertemu dengan Hatta.

Syahrir gigih mengampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan antifasis dan antifeodal dengan mengedepankan gagasan kebebasan individu serta penghormatan martabat manusia. Pemuda kelahiran Padang Panjang, 5 Maret 1909 itu adalah seorang negarawan yang humanis dan demokratis. Perjuangan dan kiprah politiknya berwarna. Beberapa kali ia diasingkan, dipenjara karena dianggap membahayakan pemerintahan kolonial. Bersama Bung Hatta, sang Bung Kecil pernah diasingkan ke Boven Digul serta Banda Neira.

Pada periode kemerdekaan, Syahrir diangkat sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia, merangkap sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Ini menjadi gerbang dari kiprah diplomatik dan serangkaian perjuangannya dalam pemerintahan. Menurutnya, kemerdekaan harus digenapi dengan pengakuan dari negara-negara lain agar Indonesia memiliki posisi tawar di dunia internasional. Sebab, tak cukup menjadi merdeka tanpa dukungan dan interaksi dengan negara-negara lain.

Syahrir selalu mengupayakan cara-cara damai dan menghindari pertikaian dalam banyak kasus. Di masa awal baru menjabat, ia beserta rombongannya dalam mobil pernah dihadang sekelompok serdadu Belanda yang menodongkan pistol. Singkat cerita Syahrir terluka karena terkena bogem keras dari popor pistol. Tak lama berselang tersiar kabar melalui radio bahwa sang perdana menteri ditembak. Sontak ia langsung meminta menghentikan siaran itu karena khawatir akan ada serangan balasan pemuda kita terhadap orang-orang Belanda yang masih ada dalam tahanan Jepang. 

Selain tak ingin baku hantam terjadi, Syahrir juga tengah berjuang membangun citra Indonesia di mata dunia. Kalau sampai ada aksi balasan, karakter yang tengah kita tunjukkan bisa terancam. Syahrir kurang lebih sedang mengabarkan pada dunia, bahwa revolusi yang terjadi di negeri ini adalah perjuangan bangsa demokratis dan beradab untuk melepaskan diri dari penjajahan. Ia melawan propaganda Belanda yang menggiring asumsi bahwa manusia Indonesia hanyalah gerombolan pembunuh, orang-orang brutal, dan perampok. Negeri Kincir Angin itu memang masih bernafsu menguasai kembali Indonesia. Bung Kecil berusaha keras menjegal segala dalih Belanda yang ingin memojokkan Indonesia sebagai wilayah yang tidak aman sehingga butuh campur tangan asing.

Langkah damai dan elegan juga bisa dicermati dari pilihan sikapnya ketika menghadapi Belanda dalam perundingan Linggarjati yang digelar pada 15 November 1946, di mana Syahrir adalah ketua dari pihak Indonesia. Perjanjian tersebut menghasilkan tiga kesepakatan yang salah satunya adalah pengakuan Belanda atas eksistensi Republik Indonesia yang mencakup wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera. Meskipun hasil perjanjian ini dikecam banyak pihak dalam negeri karena mempersempit wilayah kekuasaan Indonesia, namun pengakuan tersebut berdampak pada citra Indonesia yang kian nyata dan kuat di panggung global. Sejumlah negara kemudian menyusul memberikan pengakuannya pada kedaulatan kita. 

Baca Juga  Istiqlal dan Katedral, Simbol Kerukunan Umat Beragama

Syahrir berpegang teguh pada jalur diplomasi dalam kaitannya dengan persoalan politik luar negeri. Jalan itu diyakini sebagai pilihan paling tepat untuk mendapatkan pengakuan yang amat dibutuhkan sebuah bangsa muda. Cara damai dianggap sebagai jalan aman untuk meraih tujuan bangsa. Sebab menurutnya, kemerdekaan hakiki mesti dicapai secara bertahap, elegan, dan rapi, bukan cara-cara frontal dengan angkat senjata. Maka dari itu, Syahrir menjalankan politik diplomasi, menggelar perundingan dengan Sekutu juga Belanda dan memantik simpati internasional. Meski risikonya ia tak jarang dituduh sebagai antek asing. 

Ikhtiarnya mempopulerkan Indonesia di kancah global mengambil banyak cara. Syahrir bahkan pernah menjadikan Jakarta sebagai kota internasional melalui kebijakan politik militer yang mewajibkan semua kekuatan bersenjata keluar dari Jakarta. Digelar kemudian pameran kesenian di Jakarta yang disiarkan oleh wartawan-wartawan dari luar negeri. 

Cerdik langkah Syahrir juga nampak dari strategi diplomasi beras ke India pada Mei 1946. Ia berhasil menembus blokade ekonomi Belanda dan menggalang perhatian dunia melalui bantuan kemanusiaan berupa beras untuk India yang tengah mengalami krisis pangan. Saat itu memang roda perekonomian kita masih diblokade oleh Belanda meski sudah merdeka. Sebagai balasannya, pemerintah India menyatakan pengakuannya pada Indonesia sekaligus menghimpun dukungan negara-negara Asia lain untuk kemerdekaan Indonesia melalui Konferensi Asia di New Delhi pada 23 Maret sampai 2 April 1947. Upaya sensasional dan heroik Syahrir tersebut ditanggapi oleh Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, dengan berkata, “Yang sedang berjuang dengan gagah berani untuk kemerdekaan.”

Pada bulan Agustus 1947, Syahrir ditunjuk sebagai delegasi Indonesia untuk mengikuti Sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, New York guna membahas konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda terkait Agresi Militer Belanda I. Agresi Belanda tersebut pun dikecam oleh dunia internasional hingga beberapa negara seperti Australia, Suriah, dan India melaporkannya ke Dewan Keamanan PBB. Syahrir menyampaikan pidato yang memukau banyak pasang mata. Ia mengabarkan tentang sejarah kebesaran bangsa Indonesia dari masa ke masa. Ia gigih menyangkal tuduhan Belanda yang menyebut Indonesia sebagai pemerintahan ilegal bikinan Jepang. Perwakilan negara-negara anggota PBB pun kemudian mendukung kemerdekaan Indonesia dan posisi Belanda terpojok dalam persidangan itu.

Syahrir tampil sedemikian gigih dan tangguh dalam banyak kesempatan mempertahankan kemerdekaan bangsa kita. Dalam segala perundingan, ia konsisten memegangi nilai-nilai humanisme dan demokrasi. Tak berlebihan untuk menyebutnya sebagai ujung tombak perjuangan diplomasi bangsa ini dalam mempertahankan hak bebas kita sebagai bangsa dan manusia. Seorang diplomat India, Sarojini Naidu, bahkan menjuluki Syahrir sebagai “An Atomic Bomb of Asia” karena kepiawaiannya dalam berdiplomasi.


Dalam pamfletnya yang populer, Perdjoeangan Kita, Syahrir menyatakan, “Perjuangan kita sekarang ini tak lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita”. Syahrir, sang Bung Kecil seolah ingin mengatakan pesan besar, bahwa kemerdekaan bukanlah garis akhir. Status merdeka bahkan jiwa bangsa yang dewasa barulah sebuah “gerbang berbuat” untuk kita meraih martabat dan harkat kemanusiaan agar menjadi manusia utuh hingga dapat memberi warna dunia dan sesama. Selamat ulang tahun, Indonesia. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.