Umar bin Abdul Aziz Menghapus Tradisi Mencela Ali bin Abi Thalib di Khutbah Jumat

KolomUmar bin Abdul Aziz Menghapus Tradisi Mencela Ali bin Abi Thalib di...

Umar bin Abdul Aziz memiliki gaya kepemimpinan yang beda dengan khalifah Bani Umayyah lainnya. Ketakwaannya kepada Allah SWT mengantarkannya menjadi sosok pemimpin yang bersungguh-sungguh menegakkan kebenaran dan keadilan. Tradisi khutbah Jumat Bani Umayyah yang mulanya diisi dengan celaan kepada Ali bin Abi Thalib dan ahlul bait berhasil dihilangkan.

Awal mula Bani Umayyah memiliki tradisi khutbah Jumat yang mencela Imam Ali dan ahlul bait disebabkan perseteruan politik. Yaitu antara Mu’awiyah yang sangat tidak senang terhadap Ali bin Abi Thalib.

Pada saat Imam Ali menjabat sebagai khalifah, Mu’awiyah ingin menginginkan jabatan tersebut. Mengutip Petersen, motif awal pemberontakan Mu’awiyah adalah menuntut balas atas darah Utsman, yang menyeret nama Imam Ali, berujung terjadinya Perang Shiffin. Kebencian Mu’awiyah kepada Imam Ali sekaligus ahlul bait telah mandarah daging dan diwariskan turun-temurun oleh anak-cucunya. Sampai Tuhan berkehendak menghadirkan sosok dari keturunan Bani Umaayyah yang berupaya memutus tradisi kebencian tersebut.

Dalam buku Geneologi Hadis Politis al-Mu’awiyat dalam Kajian Islam Ilmiah karya Babul Ulum (2018), yang dinukil dari Ibq ‘Aqil, di era Mu’awiyah terdapat lebih dari tujuh puluh ribu mimbar yang melaknat Ali. Mereka diketahui bersimpati kepada Ali, menurut Ibn Hadid, tidak hanya dicabut hak kewarganegaraannya, bahkan hak hidupnya pun dihilangkan.

Sejak saat itu, orang-orang takut meriwayatkan keutamaan Ali. Mereka yang berani meriwayatkan segera dituduh Syi’ah yang hadisnya ditolak. Mu’awiyah bin Abi Sufyan mewajibkan para gubernur, khatib, serta pemimpin daerah untuk mengecam dan mencaci Ali bin Abi Thalib di akhir khutbah. Ini akar utama terjadinya pencelaan khutbah di atas mimbar di masa Bani Umayyah. Jika hati sudah dipenuhi dengan dunia, maka nurani dan akal pikirannya menjadi gelap.

Syahdan, ketika estafet khilafah Bani Umayyah dipegang oleh orang haus akan ilmu dan benar dalam belajar Islam sebuah perubahan telah terjadi, tetapi semuanya dilalui dengan proses belajar. Umar bin Abdul Aziz mengenal beberapa pemuda dari kalangan Bani Umayyah. Setiap kali mereka menggunjing dan mengajaknya berbincang berbagai hal, Umar lebih banyak diam. Para pemuda Umayyah, kerap kali menggunjing Imam Ali. Bahkan, ketika Abdul Aziz berkunjung ke kaum kerabatnya, tak lain mereka kerap menggunjing Imam Ali. Umar muda yang berada di lingkungan tersebut akhirnya terpengaruh dan ikut-ikutan menggunjing. Saat itu, ia masih belum sungguh-sungguh mempelajari Riwayat hidup Khalifah Rasyidin keempat itu.

Namun, sebuah teguran menghampiri yang dilindungi. Umar yang kerap menghadiri majelis ilmu yang digelar Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah ibn Mas’ud, suatu ketika ia mendapat kemarahan dari gurunya saat terdengar, bahwa Umar telah menggunjing Imam Ali. Umar pun mengahmpiri gurunya lantas Ubaidillah berkata, “Apakah kau pernah mendengar Allah murka kepada para Ahli Badar dan Ahli Baiat Ridwan setelah mereka diridhai?.” Umar menjawab tidak pernah ada Riwayat yang membicarakan hal tersebut. Ia berkata lagi, “Lalu bagaimana bisa aku mendengar kabar kau menggunjing Imam Ali?.” Umar langsung memohon maaf dan ampun kepada Allah dan gurunya dan memutuskan berhenti terlibat mencela sang imam.

Baca Juga  Kisah Kesyahidan Imam Ali bin Abi Thalib

Umar memerhatikan seksama lingkungannya. Ia mengingat ayahnya, Abdul Aziz saat berkhutbah tak pernah tertinggal mencela Ali. Ia mulai risau, lantas bertanya pada ayahnya, mengapa melakukan hal tersebut karena dirinya merasa terganggu. Dengan jujur Abdul Aziz menjawab, “Anakku ketahuilah seandainya orang-orang sekitar kita mengetahui tentang Ima Ali  bin Abi Thalib sebagaimana kita mengenalnya, niscaya mereka akan meninggalkan kita dan bergabung dengan keturunan Ali.” Hati Umar terketuk, untuk mempelajari lebih dalam siapa sebenarnya Khalifah Rasyidin keempat ini, kenapa ia begitu istimewa tetapi orang disekitar merasa murka terhadapnya.

Setelah mempelajari lebih banyak Umar memahami, ia ingin mengubah tradisi tercela akan tetapi situasinya belum memungkinkan. Ia masih lemah untuk mendobrak tradisi yang terlanjur menjamur itu. Meski Umar dekat dengan khalifah dan orang-orang banyak yang menyayanginya, karena kecerdasan dan kesalehannya, semuanya belum cukup.

Singkat cerita, pada Safar tahun ke-99 hijriyah Umar bin Abdul Aziz dibaiat menjadi khalifah. Usai dibaiat, ia menyepi di mushallanya selama tiga hari memikirkan betapa berat tanggung jawab yang ada di pundaknya. Ia menyepi karena harus memikirkan banyak hal untuk dikerjakan bagaimana seharusnya menjadi seorang khalifah. Syahdan, ia beranjak ke mimbar untuk menghadap semua orang mengenai kebijakan yang akan ia lakukan saat keputusan khalifah resmi digenggamnya.

Mulanya, Umar berbicara mengenai tanah di Fadak dan menyerahkan sebagian besar harta miliknya untuk negara. Tak bertele-tele, kegelisahannya tentang tradisi celaan terhadap Ali dan ahlul bait di mimbar khutbah Jumat agar dihentikan.  Dalam buku Biografi Umar bin Abdul Aziz (2017), Umar menekankan kepada semua orang dan pembantunya, bahwa ia melarang keras khutbah yang isinya mengecam serta merendahkan Ali, Fatimah, da keluarganya. Umar meminta semua khutbah bersih dari kecaman keluarga itu. Kemudian Umar memerintahkan agar bagian tersebut diganti dengan membacakan ayat al-Quran.

Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk menetapi keadilan dan kebajikan, serta memberikan kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang kamu dari kekejian dan kemungkaran serta kesewenang-wenangan. Dia memperingatkanmu agar kamu ingat (QS. An-Nahl: 90). Lalu orang-orang Damaskus berbisik-bisik, “sunnah (kebiasaan) telah ditinggalkan, sunnah telah ditinggalkan.”

Demikian Umar bin Abdul Aziz sosok pemimpin yang adil dan tegas, karena keberkahan ilmu, ketakwaan, dan sifat rendah hatinya. Ia melakukan kebijakan yang cukup radikal, berseberangan dengan para khalifah Bani Umayyah pendahulunya. Umar berupaya memprioritaskan keperluan umat di atas segala-galanya.

Umar menjadi pemimpin yang dibenci oleh orang yang tak menyukai kebijakan luhurnya, terutama mereka para penjilat kursi khilafah. Namun sebaliknya, Umar bin Abdul Aziz adalah sosok pemimpin yang dicintai para fakir miskin, ulama, ahli warak, para fuqaha, dan semua orang yang merindukan keadilan, kemerdekaan, dan menghargai sesama manusia.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.