Latih Empati Kita Saat Ramadhan

KhazanahLatih Empati Kita Saat Ramadhan

Semua ibadah mengandung unsur moral. Ibadah yang tidak hadir bersamanya perbaikan moral si pelaku, belumlah sampai ia pada tujuan yang dikehendaki Islam. Berhubung jelas sudah Rasulullah SAW menyatakan, “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Amal peribadatan menjadi begitu digandrungi manusia ketika memasuki bulan Ramadhan. Selain berpuasa wajib, kabar baiknya orang-orang juga kian termotivasi untuk mengkhatamkan al-Quran, giat ke masjid untuk salat tarawih, i’tikaf, dan semisalnya di hari-hari puasa.

Meski sedemikian meriah tawaran keutamaan dan ganjaran ibadah selama Ramadhan, tapi jangan sampai kita menyudutkan atau menuduh orang lain rugi karena tak beribadah sesuai standar umum bulan suci. Jangan sampai keluar dari lisan kita ungkapan seperti, “Sayang sekali kamu tidak tarawih berjamaah di masjid. Rugi kamu karena ibadah tarawih ini hanya bisa dilakukan setahun sekali”. Empati mesti dikedepankan dalam kita menyimpulkan sikap orang lain. Ada banyak di luar sana para supir, perawat, satpam, pedagang, dan pekerja-pekerja lain yang boleh jadi sangat ingin berjamaah tarawih selayaknya yang lain, tapi tak bisa karena tanggung jawab pekerjaan. Mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarga adalah kewajiban, sementara tarawih itu anjuran (sunnah).

Dalam berpuasa, kita diingatkan bahwa kita telah memilih Tuhan di atas hawa nafsu. Artinya, menjinakkan nafsu duga sangka pada mereka yang seolah tak menyemarakkan Ramadhan dengan peribadatan adalah bagian dari konsistensi kita dalam mengutamakan Tuhan. Puasa mestinya jadi perisai dari kehendak menghakimi, sikap prejudice, ukiran pikiran dan ucapan tercela. Tanpa penjiwaan dan kontrol hawa nafsu, puasa tiada guna. Satu kali saat ada seorang perempuan memaki pembantunya, Nabi menyuruhnya untuk berbuka, “Bagaimana mungkin kau berpuasa, sementara kau mencaci maki hamba Tuhan?” Sia-sia saja puasa wanita tadi. Walhasil diperintahlah ia berbuka.

Ada temuan yang cukup paradoksal yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat dalam Madrasah Ruhaniah, di mana seorang yang saleh—dalam artian rajin ibadah, pergi ke masjid atau gereja—cenderung lebih tinggi memiliki syak prasangka pada kalangan lain. Prasangka ini merujuk pada pandangan buruk pada kelompok lain. Kepada mereka yang dianggap inferior tersebut disematkan aneka gelar rendahan. Mereka dinilai bodoh, malas, jahat, tidak jujur, dan sebagainya. Konsep keberagamaan “dewasa” dan “tidak dewasa” yang diajukan Allport mencoba menjawab paradoks tersebut.

Keberagamaan yang tak dewasa, memandang Tuhan sebagai “Bapak” yang tugasnya melayani keinginannya agar dirawat, dijaga, dan dipuaskan kehendaknya. Aktivitas beribadah seolah hanya instrumen dan utilitas. Di antara karakteristik keberagamaan tidak dewasa adalah menghakimi orang lain. Pelaku keberagamaan ini semata ingin memenuhi tujuan pribadinya; keinginan untuk diakui saleh, pembenaran diri atau status unggul di muka masyarakat. Belakangan Allport merevisi konsepnya menjadi keberagamaan intrinsik dan keberagamaan ekstrinsik.

Baca Juga  Kerudung di Mata Gus Dur

Dalam hal ini, keberagamaan dewasa diganti penyebutannya dengan keberagamaan intrinsik. Mereka yang berorientasi intrinsik, motif keberagamaannya tidak lagi kepentingan pribadi, tapi kehendak Ilahi yang menjadi penuntunnya, pemenuhan ridha Tuhan diletakkan di atas keinginan personalnya. Orang yang melakoni puasanya karena iman dan penuh rasa tanggung jawab serta pengharapan baik pada Tuhan, mereka itu menikmati peribadatannya karena memegang motif intrinsik.

Menyimpulkan paradoks tadi, bahwa prasangka buruk ataupun prejudice ternyata hanya bersangkutan dengan keberagamaan ekstrinsik (tak dewasa). Yang berpuasa sebatas untuk kehendak dirinya. Dengan kata lain, orang yang belum dewasa dalam beragama relatif lebih mudah menuduh orang lain tidak saleh, malas, atau bahkan merugi karena tidak salat tarawih berjamaah di masjid.

Puasa yang hakiki menjadi tuas pembersih jiwa, mengosongkannya dari residu negatif sebagai proses peremajaan jiwa untuk menjadi manusia baru dengan laku spiritualitas dan moralitas yang terbaca oleh pemahaman manusia. Sebab, efek ibadah yang bisa diterima oleh akal budi dan pemahaman manusia adalah akhlak, termasuk berempati pada kondisi orang lain.

Satu sama lain kita saling terkoneksi dengan akhlak. Orang tidak peduli seberapa banyak zikir kita, berapa kali kitab suci kita rampungkan, seberapa lama dan khusyuk salat kita. Karena kualitas peribadatan lagi-lagi bermuara pada akhlak yang kita ajukan. Orang tidak akan cukup yakin kita manusia yang menjalankan ajaran agama jika apa yang kita pancarkan adalah lisan yang melukai, pun tingkah laku yang merugikan pihak lain.

Manakala kita berhenti tafakur, memikirkan, menimbang-nimbang maksud kehendak Tuhan dalam ajaran-Nya, cermin jiwa kita akan menggelap karena tumpukan karat. Membuat kita kesulitan menangkap jantung tujuan dari ritual keagamaan. Menggiatkan ibadah di bulan mulia Ramadhan tentu adalah hal baik. Hanya jangan sampai merusak kehormatannya dan justru mencederai upaya pendekatan diri kita kepada Tuhan karena perilaku keberagamaan yang tak dewasa serta empati yang tak dilatih ada. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.