Halal Bihalal, Silaturahmi Berbudaya Khas Nusantara

KhazanahHalal Bihalal, Silaturahmi Berbudaya Khas Nusantara

Halal bihalal menjadi salah satu ornamen tradisi di hari raya Idul Fitri. Biasanya, agenda halal bihalal digelar oleh masyarakat umum dan instansi-instansi pemerintahan selepas perayaan utama lebaran. Forum pertemuan itu diadakan agar satu sama lain saling menyapa, berbincang, dan memaafkan. Meskipun disadur dari bahasa Arab, terma halal bihalal tak dikenal di Tanah Arab sana. Kegiatan tersebut merupakan proses kreatif yang membudaya dan khas Nusantara.

Adalah KH. Wahab Chasbullah yang konon mencetuskan istilah halal bihalal. Pada tahun 1948, sempat terjadi gejolak disintegrasi yang berbahaya bagi bangsa ini. Para elite politik saling menyalahkan dan berpecah belah atas terjadinya pemberontakan DI/TII serta PKI yang menyebabkan korban berjatuhan. Mereka enggan berdialog mencari solusi bersama. Jangankan mencari penyelesaian, duduk bersama saja mereka enggan. Bung Karno mencoba mencari jalan keluar guna menyatukan para tokoh politik itu dengan berkonsultasi kepada KH. Wahab Chasbullah.

Dalam menangani panasnya situasi tersebut, Kiai Wahab menyarankan agar diadakan forum silaturahmi bagi para elite, memanfaatkan kesempatan Idul Fitri yang hampir tiba, di mana silaturahmi amat dianjurkan di momentum itu. Bung Karno setuju dengan usulan untuk mengadakan pertemuan. Namun, menurut Bung Karno istilah silaturahmi dirasa terlalu tawar dan kurang mengena dan kurang menarik perhatian para elite agar mau hadir. Bung Karno menghendaki istilah lain. Akhirnya, Kiai Wahab mencetuskan nama halal bihalal sebagai judul besar acara silaturahmi rekonsiliasi tersebut.

Di balik istilah itu terdapat konsep filosofis pemikiran Kiai Wahab Chasbullah. Menurutnya, para elite politik itu enggan bersatu karena masing-masing merasa di posisi benar sehingga saling menyalahkan satu sama lain. Sikap saling menyalahkan adalah dosa, dan dosa itu haram. Agar mereka bersih dari dosa konflik tadi, maka harus dihalalkan dengan bertemu, duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan, melepaskan jerat yang membelenggu untuk memulai babak baru hubungan yang sehat dan bersatu.

Atas anjuran Kiai Wahab tadi, ketika hari raya Idul Fitri tiba, para tokoh politik pun diundang ke istana oleh Bung Karno untuk menghadiri agenda silaturahmi yang dikemas dalam nama halal bihalal. Sejak itu, halal bihalal menjadi tradisi yang dilestarikan oleh instansi-instansi pemerintahan serta masyarakat secara luas hingga saat ini.

Di samping perhatian Bung Karno, konsep halal bihalal yang tercetus adalah bahasa nasionalisme Kiai Wahab Chasbullah. Ia peduli pada konflik yang mengancam keutuhan bangsa ini. Maksud utama Kiai Wahab adalah ingin menyadarkan para individu yang bersalah pada orang lain agar mau meminta maaf dengan hati lapang kepada pihak yang disakiti. Kiai yang merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu menginginkan persatuan dan relasi harmonis para elite politik yang kala itu tengah berkonflik. Tak lain demi keutuhan bangsa ini.

Menurut Quraish Shihab, terma halal bihalal setidaknya memiliki tiga arti, yakni ditinjau dari segi hukum, dari sisi kebahasaan (linguistik), serta pemahaman yang dipotret dari sudut pandang al-Quran serta bagaimana kesan penggunaan kata halal dalam al-Quran. Pemaknaan secara linguistik dapat secara sederhana mengantarkan kita pada pemahaman yang tepat. Kata halal sendiri berasal dari kata halla atau halala.

Dalam al-Shihah Taj al-Lughah wa Shihah al-‘Arabiyah yang dikutip oleh Eko Zulfikar (2018, hlm. 32) kata halla bermakna menyelesaikan kesulitan atau masalah, meluruskan benang kusut, serta mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Dengan pendekatan kebahasaan, halal bihalal memberikan suatu pemahaman universal, bahwa tradisi tersebut bertujuan mencari jalan terang kedamaian, ingin mengubah hubungan yang semula keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dan membebaskan diri dari jerat yang membelenggu.

Baca Juga  Perpisahan dengan Ramadhan

Sedangkan dari sudut pandang al-Quran, secara singkat didapati bahwa halal yang dituntut dalam al-Quran adalah halal yang thayyib, halal yang baik–secara akal serta fitrah–dan menyenangkan. Al-Quran tak sekadar memerintahkan agar kita mau memaafkan atau meminta maaf, tapi lebih dari itu menyeru untuk tetap berbuat baik pada orang yang pernah berbuat kesalahan kepada kita sekalipun.

Bisa dibilang, kini halal bihalal merupakan ajang komunikasi produktif antarberagam komponen bangsa yang diadakan dengan rasa suka cita. Agenda silaturahmi tahunan itu biasanya dilaksanakan secara seremonial oleh berbagai lapis masyarakat dan lembaga dengan rangkaian acara yang bermacam-macam. Suasana kekeluargaan, keterbukaan, dan religius yang terbangun saat halal bihalal membuat orang-orang yang hadir relatif terbebas dari beban psikologis tertentu. Di saat seperti inilah komunikasi sehat dapat terbangun, ganjalan-ganjalan batin bisa dilebur penuh ikhlas. Spirit untuk menjadi manusia yang terbarukan turut mendorong terbentuknya komunitas sosial yang damai dan selaras. Pada gilirannya, akan muncul kehendak saling membesarkan dan menolong di antara mereka.

Halal bihalal adalah silaturahmi berbudaya. Bukan hanya karena telah menjadi urat nadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Berbudaya juga merujuk pada hasil pikiran kreatif yang didasarkan pada akal budi. Artinya, halal bihalal bukan gagasan mentah. Halal bihalal adalah konsep yang memiliki daya cipta karena ditimbang melalui ikhtiar komunikatif dalam mendialogkan karakter manusia dengan ajaran moral luhur untuk mewujudkan keharmonisan di antara sesama.

Secara lebih lanjut, silaturahmi selaku inti dari halal bihalal merupakan ajaran adiluhung dalam konsepsi agama. Suatu ibadah yang mendatangkan beragam berkah serta keutamaan. Dengan silaturahmi kita belajar membuka dan melapangkan hati, karena di dalam silaturahmi ada seni membangun relasi. Kita tak sekadar menyapa, berkunjung, atau memaafkan ia yang pernah berbuat salah. Merujuk pada sabda Nabi, bahwa Bukanlah orang yang bersilaturahmi itu orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturahmi ialah yang menyambung perkara yang putus (HR. Bukhari). Termasuk pula di dalamnya kehendak untuk tidak membalas kejahatan dengan perilaku buruk serupa, melainkan dengan cara-cara kebaikan.

Tradisi mulia halal bihalal adalah kekayaan sosial bangsa ini yang mesti disyukuri. Kita punya momentum rekonsiliasi rutin yang didukung secara kolektif oleh masyarakat. Harapan besarnya, dengan budaya saling sapa dan memberi maaf, segala bentuk ketidaknyamanan batin kita dapat luruh sehingga tak perlu ada konflik sosial maupun friksi yang lebih besar dan tak diharapkan di masyarakat. Dengan kemauan duduk bersama untuk menyambung rasa, akan tersebar kasih sayang di antara yang terlibat. Mereka yang dituntun oleh fitrah serta kecenderungan tabiat yang selamat, akan menemukan bahwa silaturahmi adalah kebutuhan fitrah dan sosial. Dengan memaafkan, beban akan terlepas, hingga datang kemudian ketenangan hati. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.