Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia sarat dengan berkat. Bukan saja menjadi sumber kebahagiaan spiritual bagi umat Katolik Tanah Air ataupun turut jadi penguat gerak roda ekonomi kita. Namun, lebih prinsip dari itu Paus hadir sebagai antitesis sepadan dan telak bagi wabah keserakahan dan budaya bermewah-mewah kaum elite di negeri ini. Paus seolah langsung menunjuk hidung orang-orang tersebut lewat berbagai pilihan “tak lazimnya” dalam menggunakan fasilitas kunjungan kenegaraan. Seorang kepala negara sekaligus pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, menolak yang serba mewah menjadi bagian dari tur apostoliknya.
Alih-alih jet pribadi misalnya, Sri Paus lebih memilih terbang dengan pesawat komersial. Ia berkenan menyusuri lorong pesawat, menyapa, dan menjabat erat para wartawan yang menyertai penerbangannya dari Vatikan menuju Indonesia. Begitu tiba di Tanah Air, mobil mewah dengan keamanan tinggi seperti kaca anti-peluru dan bodi lapis baja pun ditolaknya. Paus Fransiskus memilih berkendara dengan mobil biasa yang umum dikendarai masyarakat di sini. Duduk di kursi depan, kaca terbuka lebar, dengan senyum tak luruh dari wajahnya, Paus menyapa orang-orang yang menantinya di pinggir jalan sambil sesekali berhenti untuk berjabat tangan dan memberkati mereka.
Belum lagi sebagai tempat tinggal pilihan Paus adalah Kedutaan Besar Vatikan ketimbang hotel berbintang dengan kenyamanan paripurna. Ia menolak “patuh” pada hal-hal yang serba lebih termasuk protokol keamanan yang membuatnya berjarak dengan masyarakat sehingga terhalang untuk memberikan pelayanan. Ketika ditanya mengapa ia menolak kendaraan berpengamanan tinggi, Paus tak menunjukkan kekhawatiran dan berkata, “Apapun bisa terjadi. Mari kita hadapi saja, di usia saya, saya tidak akan kehilangan banyak hal,” (Kompas.id, 30/08/2024).
Kita tak henti dibuat terkejut, haru, dan kagum pada kebersahajaan Paus Fransiskus. Menyaksikan Paus memakai sepatu pantofel lawasnya dan jam tangan yang diduga hanya berharga ratusan ribu saja menjadi sangat mewah dan terhormat di mata kita yang kepalang muak dengan perilaku kelompok elite tukang pamer kekayaan di tengah tren persoalan masyarakat yang menghimpit. Kita rasanya begitu merindukan keteladanan pemimpin autentik yang mempraktikkan etika dan menghayati jalan kesederhanaan. Paus datang bak seorang bapak yang memeluk erat anak-anaknya yang babak belur penuh luka batin dan terkuras kepercayaannya akibat sederet keculasan penguasa.
Teologi Kesederhanaan
Laku sahaja Paus bukan gimik atau sesumbar citra semata seperti kebanyakan politisi oportunis. Kesederhanaan itu berakar dari nasihat Injil yang menjadi pilihan sukarela dan ditekuni oleh Paus Fransiskus sepanjang usianya. “Perilaku cukup” Paus Fransiskus yang bisa menyengat nurani jutaan pasang mata yang menyaksikannya itu merupakan buah asketisme dan penghayatan berulang pada kaul kemiskinan. Tentu yang dimaksud bukan kemiskinan dalam arti mutlak mengorbankan segala yang menyangkut kepemilikan, akan tetapi pengabaian pada semua yang berlebihan.
Karenanya, hal tersebut berkaitan pula dengan upaya melepas kemelekatan pada kekayaan, membebaskan diri dari kemuliaan semu, serta memutus keinginan pada kemewahan. Yesus sendiri memilih hidup menjadi seorang papa, tapi di saat yang sama ia tidak mengutuk kepemilikan harta benda. Dia mengingatkan akan adanya bahaya dan tipu daya yang ditimbulkan oleh kekayaan, yang diumpamakan seperti semak belukar yang memadamkan benih firman (lih Mat 13:22).
Dalam tradisi Islam, asketisme dikenal sebagai sikap zuhud yang kerap kali dilakoni oleh kaum sufi. Zuhud merujuk pada kemampuan untuk mengambil jarak dari hal-hal materil-duniawi tanpa harus menolaknya sama sekali. Artinya kita tetap sah-sah saja punya banyak harta selagi itu tak memperbudak kita dan menyebabkan terjadinya kezaliman pada sesama. Jantung dari zuhud adalah tidak mempertuhankan materi.
Sebelum menduduki tahta kepausan, Kardinal Jorge Mario Bergoglio sudah terbiasa memasak sendiri bahkan naik bus umum. Isu sosial menjadi fokus perhatiannya yang disalurkan lewat kegemarannya menyapa kaum lemah. “Jangan lupakan orang miskin”, ucapan Kardinal Claudio kala Kardinal Bergoglio terpilih menjadi Paus terpahat dalam benak dan pikirannya, meneguhkan misinya untuk membela yang tersisih. Alun-alun Santo Petrus, Vatikan, jadi salah satu saksi perhatian Paus Fransiskus pada kaum marginal.
Patung “Angels Unawares” karya seniman Kanada yang menggambarkan kumpulan pengungsi dan migran dari beragam latar belakang suku-ras bertahta di jantung Kota Vatikan. Pada (29/9/2019) patung itu diresmikan untuk memperingati Hari Migran dan Pengungsi Sedunia Ke-105. Keberadaan patung tersebut dimaksudkan agar siapapun yang lewat dan menyaksikannya paling tidak akan tahu lalu peduli pada salah satu masalah kemanusiaan global itu: pengungsi juga imigran.
Ketika Kardinal Bergoglio memilih nama Fransiskus sebagai identitas kepausannya, orang akan segera mengerti bahwa jalan pelayanannya tidak akan mudah. Fransiskus dari Assisi (abad 12-13) adalah seorang Santo yang melepas jubah materi, menggamit kaul kemiskinan, dan menjadi penolong kaum marginal. Dan Kardinal Bergoglio turut menyusuri jalan orang suci dari Assisi itu. Sejarah membukukan bahwa ia adalah Paus pertama yang memakai nama Fransiskus.
Tiara kepausan tidak membuat Paus Fransiskus loba pada kedudukan dan kemewahan. Menjadi Paus adalah jalan melayani bukan untuk menggenggam otoritas. Ia tetap sederhana seperti sedia kala. Kaum terpinggirkan justru semakin malang melintang di kepalanya oleh sebab tanggung jawab pelayanan yang tersemat pada mahkota itu. Paus Fransiskus sepenuhnya menjadi seorang pembela rasa yang bersahaja, progresif, dan rendah hati melayani umat manusia. Wallahu a’lam. []