Fenomena Tren Hijrah Kaum Urban

KolomFenomena Tren Hijrah Kaum Urban

Perkembangan teknologi informasi yang semakin akseleratif memang memberikan kontribusi signifikan bagi pergeseran peta baru Islam di Indonesia. Wajah Islam Indonesia yang selama ini tampil dengan warna Islam moderat, plural dan ramah. Kini, dibayangi dengan varian baru bangkitnya fundamentalisme Islam yang mendapat perhatian publik secara luas, khususnya di tengah masyarakat urban.

Kemunculan fenomena arus hijrah menjadi salah satu faktor kebangkitan dan konservatisme- fundamentalisme islam saat ini. Tren hijrah terutama di kalangan muslim urban kini semakin meluas dan menjadi gugus baru atas warna Islam Indonesia. Tafsir hijrah telah mengalami pergeseran makna secara transformatif dari ranah geografis sebagaimana konsep hijrah pada masa Rasulullah Muhammad SAW, menjadi ranah personal.

Gerakan hijrah dapat dibaca sebagai bagian dari bangkitnya kembali spirit Islam Indonesia. Hal ini tidak hanya menggeliat di ruang-ruang publik, akan tetapi juga ruang publik virtual. Fenomena tersebut seolah ingin menjawab kegelisahan spiritualitas yang dialami khususnya komunitas muslim perkotaan.

Begitu juga dengan ruang publik virtual, berbagai konten dakwah yang diendorse oleh para tokoh atau inisiator hijrah sangat mudah kita jumpai. Televisi misalnya, sebagai media transformasi pesan publik paling populer, sering menampilkan acara siraman rohani atau yang populer dengan istilah “ustadz seleb”, yang merujuk pada dai atau penceramah yang sering muncul di layar kaca.

Kiranya, meluasnya gelombang hijrah tersebut sekaligus menandai terbentuknya konstruksi baru atas Islam Indonesia terutama di kawasan perkotaan. Dalam konteks penafsiran hijrah, generasi muslim perkotaan memaknai hijrah sebagai ‘mengubah sikap, perilaku dan gaya hidup ke arah yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai agama Islam’. Hanya saja, titik tekannya cenderung berada pada perubahan perilaku berdasarkan nilai-nilai agama Islam atau syariat Islam.

Penafsiran tersebut tidak berarti menegasikan makna hijrah sebagaimana terjadi pada masa Rasulullah Muhammad SAW yang menitikberatkan pada migrasi geografis dari Makkah ke Madinah, ataupun dari Makkah ke Habbasyah sesuai dengan setting latar sosial politik yang berkembang saat itu. Meskipun sudah berlangsung lebih dari 1.400 tahun yang lalu, konsep hijrah tersebut masih tetap relevan digunakan saat ini karena secara substantif mengandung nilai-nilai perbaikan atau perubahan ke arah yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai Islam.

Dalam konteks ini, perpindahan dilakukan secara sadar, bukan sebagai upaya untuk melarikan atau mengasingkan diri. Hal ini harus dipikirkan sebaik-baiknya dengan bekal yang cukup untuk bisa bertahan hidup dan berkembang di tempat yang baru. Pada masa Rasulullah Muhammad SAW, hal ini dicontohkan selama bertahun-tahun. Sebelum proses hijrah, Nabi Muhammad SAW membicarakan hal ini dengan para sahabat. Ia juga melakukan berbagai pertemuan dengan para pimpinan di Kota Madinah. proses hijrah harus diawali dengan niat yang baik, bukan untuk melakukan maksiat.

Meskipun begitu, Dalam perkembangannya, fenomena hijrah tidak hanya muncul di berbagai ruang publik yang menandai bangkitnya spirit Islam di berbagai majelis taklim, masjid, sekolah, pusat-pusat kegiatan ekonomi tetapi juga ruang publik virtual terutama media sosial. Di media sosial seperti instagram, hastagh ‘hijrah’ banyak sekali kita temukan. Demikian pula dengan media sosial lain seperti Twitter, Facebook, Youtube dan lain sebagainya.

Meluasnya gelombang hijrah di kalangan muslim perkotaan, salah satunya didorong oleh massifnya ‘provokasi’ hijrah di ruang publik virtual seperti internet atau sosial media dan komunitas gerakan hijrah, misalnya saja Pemuda Hijrah Shift, Kajian Mushawarah, Yuj Ngaji, Terang Jakarta, dan lain sebagainya. Masifnya gerakan hijrah melalui media sosial dengan adanya komunitas gerakan tersebut kemudian membuat Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melaunching hasil riset mutakhirnya pada 1 Februari 2021.

Baca Juga  Sekolah, Gerbang Utama Mengenal Nasionalisme

Riset yang diadakan di dua kota, yakni Bandung dan Jakarta ini telah menjawab tren hijrah di Indonesia, khususnya pada lima komunitas hijrah, seperti Pemuda Hijrah Shift, Kajian Mushawarah, Yuj Ngaji, Terang Jakarta, Strangers Al- Ghuroba merupakan gerakan hijrah yang bercorak akomodatif dan ada juga yang murni. Semisal, dalam penerimaan musik. Ada kelompok salafi yang mengharamkannya.

Sedangkan ide islamisme diwakili gerakan komunitas Yuk Ngaji. Dalam beberapa hal, Yuk Ngaji masih memperjuangkan dan menegakkan sistem khilafah. Bahkan, Gerakan yang dikaji hampir sepakat menolak terorisme berbasis kekerasan. Meskipun, ada yang berdakwah dengan sistem khilafah. Dari sini, gerakan hijrah di Indonesia, tidak hanya melulu berorientasi pada gerakan politik.

Di sisi lain, gerakan hijrah juga bisa dikatakan cerdas dan cerdik, yakni dengan menggunakan strategi dakwah yang sesuai dengan selera kalangan milenial. Kenyataan ini diakui oleh sebagian jamaah yang mengaku tertarik karena menjadi antitesis dari model dakwah organisasi mainstream, semisal NU ataupun Muhammadiyah.

Sebagai misal adalah ustadz-ustadznya berpakaian gaul sesuai style anak muda, kekinian namun tetap syar’i, menggunakan ikon-ikon populer di kalangan anak muda (K-Pop, anime, skateboard), dan banyak menggunakan istilah gaul dalam bahasa Inggris. Tampilan dakwah ini dianggap kalangan milenial dekat dan sesuai dengan dunianya. Sehingga nilai-nilai ajaran agama mudah dipahami dan dirasa sangat kontekstual.

Sementara, fenomena hijrah di kalangan muslim urban, tidak hanya dapat dilihat sebagai peristiwa keagamaan saja, tetapi secara sosiologis juga merepresentasikan konstruksi baru atas identitas kalangan muslim perkotaan Indonesia. Hijrah menawarkan identitas baru ketika konstruksi pemikiran keagamaan yang dibangunnya tidak sama atau berbeda dengan konstruksi pemikiran keagamaan mayoritas Islam Indonesia sebelumnya.Hijrah pada level tertentu menghadirkan eklusifitas keagamaan dan menjadi life style kaum milenial urban.

Dalam konteks representasi, Stuart Hall (2003) mengatakan representasi secara sederhana adalah salah satu cara untuk memproduksi makna. Melalui representasi, suatu makna dapat diproduksi dan dipertukarkan oleh dan antar anggota masyarakat. Representasi bekerja melalui sistem yang terdiri dari dua komponen penting yaitu konsep dalam pikiran dan bahasa. Konsep dalam pikiran, akan membuat kita mengetahui makna dari suatu hal.

Namun demikian, makna tersebut tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Bahasa, dalam prakteknya, tidak selalu ditulis atau dibicarakan namun dapat melalui penggunaan simbol ataupun tanda yang dapat merepresentasikan sesuatu. Dalam konteks hijrah, terdapat berbagai simbol atau tanda yang digunakan oleh para pelaku hijrah yang dapat merepresentasikan sesuatu atau identitas mereka.

Paling penting dalam sistem representasi ini adalah bahwa kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah kelompok tertentu yang memiliki suatu latar belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang (hampir) sama. Dalam konteks ini, hijrah merepresentasikan suatu identitas, yaitu identitas muslim perkotaan yang telah menyatakan melakukan perubahan; mengubah sikap, perilaku, gaya hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Dengan demikian, tren hijrah di kalangan urban telah membentuk konstruksi baru identitas muslim Indonesia, yaitu label Muslim Taat; sebuah profil muslim yang distandarisasi dengan kesalehan individu dan kesalehan individu. Menjadi muslim taat tidak harus menanggalkan seluruh unsur-unsur modernitas, tetapi justru bisa bersinergi secara dialektis. Oleh karena itu, ‘Provokasi’ hijrah yang sangat agresif di ruang publik virtual, menjadikan gelombang hijrah semakin meluas di kalangan muslim perkotaan yang tak ayal menyebabkankan fenomena baru.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.