Di tengah amukan pembantaian Zionis Israel di Palestina, lima orang Nahdliyin—istilah untuk merujuk warga dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU)—justru terlihat satu meja, beramah tamah, dan tersenyum bersama presiden Israel, Isaac Herzog. Kecaman dan kemarahan publik pun bergulir masif di media sosial. Kunjungan itu diklaim sebagai upaya “dialog damai/dialog lintas iman” untuk menyudahi kemalangan di Palestina. Alasan yang terdengar naif dan aneh dari orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai aktivis, agamawan, akademisi, bahkan filsuf.
Tiap inci perilaku kita memerlihatkan di mana koordinat keberpihakan berada, apalagi dari orang yang terbilang punya posisi dan pengaruh. Sikap seseorang, lebih-lebih yang dipublikasi di media sosial, adalah semacam etalase yang sedikit banyak mencerminkan dapur pemikirannya. Kunjungan itu telah melukai dan mengkhianati perjuangan publik pro-Palestina. Apa yang dinyatakan Zainul Maarif—salah satu rombongan Nahdliyin yang ke Israel—dalam unggahan di media sosial pribadinya (Facebook: zenmaarif) demikian problematik dan perlu dikritisi.
Problem pertama, simplifikasi persoalan. “Terkait konflik antara Hamas-Israel”, penggunaan diksi “konflik” menunjukkan penyederhanaan atas masalah sesungguhnya yang terjadi di Palestina, yaitu kolonialisme pendudukan (settler colonialism), pembersihan etnis, genosida, dan apartheid yang saling berkait kelindan serta mengakar. Proyek jahat rezim Zionis Israel tersebut sangat masif dan terstruktur, dan telah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Tragedi di Palestina bukan sebatas ribut-ribut antarumat beragama yang cukup dikemas dalam diskursus ekstremisme beragama vs toleransi.
“Israel vs Palestina” adalah “penjajah vs bangsa yang dijajah”. Solusinya bukan semata-mata “damai/dialog lintas iman”, melainkan penghentian semua kejahatan si penjajah (Israel) terhadap bangsa yang dijajah dan Israel harus mematuhi seluruh hukum internasional yang konsisten dilanggarnya selama ini. Sebab itu, yang mendesak dibutuhkan adalah tekanan-tekanan berkelanjutan dan strategis untuk membidik titik-titik vital Zionis agar arogansinya dapat dimentahkan.
Damai adalah tujuan dan dialog bisa dilakukan kemudian setelah Israel memertanggungjawabkan seluruh kejahatannya yang terdokumentasi dalam berbagai bentuk laporan. Terbaru, PBB bahkan telah menyatakan ilegalitas pendudukan Israel di tanah Palestina. Untuk catatan, dalam hal ini bukan berarti dialog tidak penting sama sekali, tapi unsur ketepatan konteks dan situasi serta pemahaman akar masalah harus jadi prioritas untuk proses menyudahi pendudukan dan genosida Israel di Palestina.
Problem kedua, dikotomi antara dialektika di ruang akademis dengan aksi turun ke jalan. Sementara, adu gagasan dan perlawanan di jalan adalah medan perjuangan yang saling mengisi dan sama pentingnya. Dalam unggahan itu, ada kecenderungan meremehkan berbagai gerakan perlawanan, gelombang boikot, juga aksi massa yang menjamur di berbagai penjuru dunia. Seakan-akan strategi paling terhormat adalah mimbar elite pertukaran gagasan semata. Jadi beda memang menarik, tapi tidak semua yang terlihat “melawan arus” itu keren dan tepat sasaran.
Lebih jauh, kelindan antara posisi tawar NU yang strategis dan status kelimanya sebagai Nahdliyin, sangat mungkin dipolitisir Israel untuk menjustifikasi dan melegitimasi posisinya di hadapan audiens Muslim khususnya, meski rombongan itu mengklaim bahwa lawatan mereka atas nama pribadi bukan mandat organisasi. Israel memiliki strategi diplomasi publik yang taktis untuk menggalang dukungan masyarakat dunia. Tur ke Israel sendiri, dengan agenda kunjungan ke sejumlah tempat dalam rangka riset atau semisalnya adalah salah satu kemasan khas taktik Israel untuk menggandakan dukungan publik.
Tidakkah mereka paham situasi apa yang terjadi di Palestina sehingga sampai hati bercengkerama hangat bersama agresor? Mengutip pendapat profesor Laily Fitri, Associate Professor di Claremont School of Theology, melalui laman media sosial pribadinya (X: @MahameruLee), bahwa setidaknya ada dua hal yang harus kita yakini sebelum memutuskan berdialog dengan penindas. Pertama, kita harus yakin betul bahwa kehadiran kita dan dialog itu tidak akan digunakan untuk menjustifikasi penindasan; kedua, pastikan bahwa kita berani mengutuk tindakan para penindas itu di hadapan mereka. Jika tak yakin punya keduanya, maka lebih baik jangan lakukan dan cari cara lain untuk betul-betul membela orang-orang yang lemah dan tertindas sesuai kapasitas kita.
Penulis dan boleh jadi Anda sekalian menaruh tanda tanya besar, bagaimana bisa sebagian orang yang menyandang atribusi sebagai akademisi, aktivis kemanusiaan-perdamaian, aktivis gender, pegiat lingkungan hidup, bahkan agamawan-filsuf tapi terindikasi mendukung Zionis yang nyata melanggengkan kejahatan kemanusiaan? Kondisi itu menyiratkan kontradiksi internal, mengingat orang-orang dengan atribusi demikian lazimnya hidup dalam paradigma progresif-liberal yang menjunjung tinggi humanisme dan menentang berbagai kebijakan regresif terkait kesetaraan gender, keadilan rasial, HAM, keadilan sosial-ekonomi, dan isu-isu serupa.
Saree Makdisi memberikan pencerahan tentang bagaimana kontradiksi internal semacam itu bisa menimpa segolongan kaum progresif-liberal dan menjadi suatu fenomena khas. Melalui karyanya Tolerance is a Wasteland: Palestine and the Culture of Denial, ia menegaskan bahwa kunci dari tindakan ‘ajaib’ politik tersebut adalah penyangkalan/penolakan yang amat spesifik dipadu dengan penegasan nilai positif. Makdisi menyebutnya sebagai moments of affirmation-denial (affirmation as denial).
Dalam hal ini, paling mendasar Zionisme berusaha keras menolak kehadiran dan klaim orang Palestina atas tanah mereka dengan penyangkalan yang tidak terang-terangan. Penolakan itu sendiri tidak mereka akui, lalu diungkapkan ulang bukan dalam istilah negatif tapi melalui penegasan positif aneka kebajikan yang tampak luar biasa. Sebagai contoh, Zionis Israel menghancurkan desa-desa Palestina secara metodis dan berkelanjutan setelah penduduknya diteror dan diusir dari rumah-rumah mereka.
Di sini kemudian mekanisme affirmation as denial itu beroperasi. Fakta penghancuran dan pembunuhan massal tersebut barang tentu dikecilkan, disangkal, dan ditutupi secara komplit juga komprehensif oleh Zionis melalui mekanisme “penegasan nilai positif”, seperti proyek penanaman pohon, penghijauan lanskap tandus, pembangunan irigasi canggih, yang dengan lantang diklaim sebagai “restorasi ekologis”, “penghijauan gurun”.
Siapa yang tidak suka pada ide mulia tersebut? Itu semua akan menarik berbagai dukungan emosional, etik, politik, dan keuangan yang diperlukan, termasuk sebagian orang kiri yang secara sadar mendukung dan berinvestasi pada entitas yang terdokumentasi memamerkan pembersihan etnis. Penekanan nilai positif itu sangat mungkin menyebabkan pengabaian sejarah kelam pembantaian yang dilakukan Zionis, karena dijegal oleh tindakan penegasan yang menggembirakan tadi.
Secara berulang Israel juga menyeru dirinya sebagai “negara Yahudi dan demokratis” menutupi kenyataan getir rezim apartheid yang menempatkan ras Palestina sebagai warga kelas dua bahkan disamakan dengan binatang. Dengan demikian, Israel menutupi jati diri apartheid-nya dengan menegaskan statusnya sebagai demokrasi.
Kemunafikan level lanjut Israel adalah pembangunan “Museum Toleransi” yang dilakukan dengan merampas dan menghancurkan area pemakaman Muslim bersejarah di Yerusalem, yang bahkan makam-makamnya masih dikunjungi oleh kerabat yang masih hidup. Kita diberi tahu, bagi Zionisme museum itu merupakan sebuah ‘misi toleransi’, yang menentangnya berarti dicap terlibat dalam ‘intoleransi’.
Sektor-sektor liberal di masyarakat Amerika dan Eropa telah lama menerima Israel, sebagai perwujudan atas nilai-nilai progresif toleransi, inklusivitas, demokrasi, dan pluralitas yang karenanya menjadi proyek yang dipertahankan dengan antusias, mengingat disokong oleh nilai-nilai yang di permukaan terlihat luhur.
Analisis Makdisi di atas yang mengetengahkan isu “toleransi”, “demokrasi”, hingga “keberagaman” menyajikan benang merah tematik yang menghubungkan logika operasi Zionisme tertentu dengan paradigma liberal yang menjadi bagian sekaligus sandarannya. Yang hasilnya adalah citra-citra indah Zionisme, tapi kesemuanya palsu. Kunjungan aneh lima orang Nahdliyin ke Israel itu penulis kira bisa dibaca melalui kerangka operasi khas Zionis tersebut.
Kembali pada pertanyaan awal, bagaimana bisa orang-orang yang mengaku pro-perdamaian, mendukung toleransi, membela kemanusiaan, pejuang hak-hak dasar dan sipil manusia tapi di waktu yang sama tersenyum akrab dengan rezim penindas? Mengingat kelimanya adalah orang-orang berpengalaman dan berpendidikan tinggi, sulit mengatakan bahwa mereka terjebak strategi Zionis karena keluguan mereka. Sangat mungkin lima orang Nahdliyin itu terlibat dalam kultur penyangkalan dan penegasan (moments of affirmation-denial) yang dioperasikan oleh Zionis sebagaimana penjelasan Makdisi.
Dalam istilah lain, menurut Said, strategi denial dan affirmation ini dapat menyebabkan kebutaan tertentu. Utamanya, sejarah tragis Yahudi dalam Holocaust memungkinkan menyumbang investasi emosional dalam proyek Zionis. Selain itu, banyak capaian Israel di bidang teknologi, sains, kedokteran, dan sebagainya mampu menguatkan sumber “penegasan positif” Israel. Jejak jahat proyek Zionisme dan penyangkalannya pun semakin terkubur karena nilai-nilai positif yang ditegaskan secara hiperbolik dan dramatis.
Akhirnya dukungan pada Zionis pun disederhanakan sebagai respons natural terhadap sejarah kelam Holocaust. Pendek kata menurut Said, orang bisa sepenuhnya mendukung sisi ‘indah’ Zionisme itu tanpa pernah mengkalkulasi atau bahkan sejenak menyadari Zionisme dari perspektif korbannya. Kunjungan itu ditilik dari sisi manapun lebih terbaca sebagai “misi pseudo-perdamaian”. Cara dan konteks yang tidak tepat serta akar masalah yang jauh tak tersentuh. Niat baik barang tentu harus diartikulasikan dengan baik dan benar pula.
Fenomena aneh menyangkut sebagian kaum kiri tadi memunculkan istilah bernama Progressive Except Palestine (PEP) atau Progresif Kecuali Palestina. Sindiran yang dicetuskan oleh Mark Lamont Hill dan Mitchrll Plitnick, duo penulis buku berjudul Except for Palestine: The Limits of Progressive Politics. Sebuah sarkasme yang membongkar praktik standar ganda terang-terangan segolongan kaum yang mengaku progresif-liberal, tapi abai pada fakta penindasan, praktik pembersihan etnis, dan isu kemanusiaan lain yang dilakukan Zionis terhadap bangsa Palestina. []