Hari Raya Waisak baru saja dirayakan umat Buddha pada Kamis (23/5/2024) lalu. Seperti tahun sebelumnya, para biksu atau bhante melakukan ritual thudong menuju pusat perayaan Waisak di Candi Borobudur. Thudong merupakan tradisi keagamaan Buddhisme berupa pelatihan spiritual dengan berjalan kaki untuk meneladani ajaran Buddha. Perjalanan itu bahkan bisa mencapai ribuan kilometer jauhnya. Tahun ini ada sekitar 44 biksu thudong dari berbagai negara yang berjalan kaki menuju Candi Borobudur. Mereka sempat mampir beristirahat di masjid Baiturrohmah, Bengkal, Temanggung pada Minggu (19/5/2024) yang disambut hangat oleh warga, pengurus masjid, termasuk pemerintah daerah setempat.
Menanggapi hal itu, sangat disayangkan pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, di akun Instagram pribadinya (24/5) yang menyebut bahwa penyambutan para biksu di masjid tersebut sebagai sikap toleransi yang kebablasan, mengingat menurutnya fungsi masjid adalah untuk beribadah umat Muslim, bukan untuk keperluan lain. Menyambut dan menjamu non-Muslim di masjid tidaklah berlebihan dan bukan perkara yang berpotensi menyinggung akidah ataupun menistakan agama. Memang ada perbedaan pendapat di antara para ulama menyangkut boleh tidaknya non-Muslim masuk masjid.
Namun di luar itu semua, kiranya Nabi Muhammad SAW telah meninggalkan teladan yang jelas menyangkut perjamuan non-Muslim di masjid. Mari ingat kembali bagaimana sikap Nabi Muhammad SAW terhadap rombongan Kristen Najran yang berkunjung ke Madinah untuk menemui beliau. Dikisahkan, terdapat 60 orang Kristen Najran terkemuka yang didelegasikan untuk menemui Nabi sekaligus meneliti bukti-bukti kenabiannya. Kunjungan itu dilakukan setelah datang surat Nabi kepada Uskup Najran yang mengajak mereka untuk masuk Islam.
Rasulullah SAW dan para sahabatnya pun menyambut hangat rombongan tersebut dan menjamu mereka di Masjid Nabawi. Terjadi dialog intensif di antara kalangan Muslim dan delegasi Kristen itu membahas perihal agama, politik, juga pemerintahan hingga menghasilkan kesepakatan-kesepakatan strategis antara kedua belah pihak. Di tengah diskusi itu, rombongan Kristen izin undur diri karena waktu kebaktian telah tiba. Nabi Muhammad SAW pun mempersilahkan mereka untuk beribadah di masjid Nabi yang kemudian disusul protes para sahabat. Nabi hanya mengatakan, “Biarkan mereka beribadah.”
Betapa memukau perilaku Nabi Muhammad SAW. Sebagai kiblat utama dalam berakhlak, tentu beliau adalah figur terdepan untuk diteladani, termasuk menyangkut perkara spesifik dalam menyambut non-Muslim di masjid. Menjamu rombongan biksu thudong yang meminta izin untuk beristirahat adalah ranah muamalah. Sebetulnya tanpa perlu jauh-jauh mencari dalil toleransi, memang sudah semestinya kita memuliakan tamu yang datang sebaik mungkin.
Tertera jelas dalam sabda Nabi, bahwa “Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaklah ia muliakan tamunya” (HR. Bukhari-Muslim). Apalagi para biksu tersebut telah mengajukan surat resmi permohonan izin untuk singgah beristirahat, sebagaimana diungkapkan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Temanggung, Fatchur Rochman (Kumparan.com 24/5/2024).
Pihak masjid serta masyarakat setempat pun menerima mereka dengan terbuka dan secara sukarela menyiapkan beragam kudapan dan minuman untuk rombongan tersebut. Selain itu, muncul tuduhan bahwa para biksu itu melakukan ritual keagamaan di masjid karena melantunkan bacaan yang terdengar asing. Padahal yang dilantunkan adalah sebatas doa kebaikan dan keberkahan untuk umat Muslim yang telah membantu serta ikhlas menyambut kehadiran mereka. Dalam tradisi Buddha doa itu disebut Jaya Paritta.
Islam tidak akan ternista dan akidah kita pun tidak akan tergores hanya karena mempersilahkan non-Muslim beristirahat di masjid. Nabi Muhammad SAW bahkan telah menunjukkan lompatan toleransi yang mengagumkan. Alangkah baiknya kita kedepankan muamalah yang tidak berpotensi meningkatkan kesan eksklusivitas Islam di benak masyarakat luas dan tidak berpotensi menimbulkan gesekan yang tak perlu. Wallahu a’lam. []