Islam Menghargai Hak Pekerja Perawatan

KolomIslam Menghargai Hak Pekerja Perawatan

Disadari atau tidak, setiap hari, sejak lahir manusia tak lepas dari sentuhan kerja perawatan (care work). Kita didesain sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Artinya, kesalingan yang adil-setara harusnya menjadi paradigma dalam berkehidupan. Mengasuh anak, merawat orang tua yang sakit, mencuci pakaian, mengatur keuangan, memasak, mengajar, mengelola Posyandu, hingga membersihkan rumah adalah bagian dari kerja perawatan—baik berbayar maupun tak berbayar—yang jika diabaikan akan mengganggu stabilitas keluarga dan keberlanjutan tatanan sosial. Kerja perawatan adalah kebutuhan dasar manusia. Namun ironisnya, kerja-kerja tersebut minim pengakuan dan dianggap sebagai sektor pekerjaan non-produktif serta tidak bernilai ekonomi. Padahal, pekerja perawatan sama-sama mengorbankan waktu dan tenaga layaknya para pekerja berbayar.

UN Women (2018) mendefinisikan kerja perawatan (care work) adalah bagian dari ekonomi perawatan (care economy) yang merujuk pada semua bentuk produksi dan konsumsi barang atau jasa yang diperlukan oleh fisik, sosial, kesejahteraan mental serta emosional untuk kelompok yang membutuhkan, antara lain anak-anak, orang sakit, orang lansia, orang dengan disabilitas, termasuk orang yang sehat dan orang yang bekerja. Kerja perawatan sendiri ada yang berbayar (paid care work) dan ada juga yang tak berbayar (unpaid care work).

Adalah perempuan pihak yang paling sering dibebani ragam kerja perawatan yang umumnya tidak berbayar (unpaid). Kalaupun berbayar lazimnya dibayar rendah, seperti halnya pengasuh anak (baby sitter) atau pekerja rumah tangga (PRT). Sebab, secara tradisional pekerjaan perawatan dianggap sebagai peran gender perempuan dan tanggung jawab mereka untuk merawat keluarga. Akibatnya adalah ketidakadilan yang nyata, beban kerja perempuan yang berlipat, serta hilangnya kesempatan mereka untuk terlibat dalam kerja-kerja publik terutama yang berbayar ataupun kesempatan untuk pengembangan diri lainnya.

Di samping ketimpangan gender yang menyebabkan beban kerja perawatan tersentral pada perempuan, kecenderungan religius yang berkembang di tengah masyarakat kita pun kiranya turut menyumbang bias peran kerja perawatan. Sebab itu perlu disertai pemahaman kritis lebih lanjut. Narasi tentang pahala besar menanti para istri yang melakukan pekerjaan rumah tangga kerap menjadi pegangan masyarakat kita dalam memahami pelaksanaan tugas rumah tangga.

Antara lain hadis berikut yang diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik, bahwa suatu hari beberapa perempuan mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk bertanya, “Wahai Rasulullah, para lelaki punya keistimewaan dapat pergi berjihad di jalan Allah. Sedangkan kami (istri) tidak punya pekerjaan yang pahalanya setara dengan para mujahidin di jalan Allah”. Nabi pun menimpali, “Pekerjaan rumah tangga seorang di antaramu pahalanya setara dengan jihadnya para mujahidin di jalan Allah.”

Riwayat di atas ternyata bermasalah. Dari enam ulama yang mencatat dalam kitabnya—Ibn ‘Ady, al-Bushiri, Ibn al-Qaisirani, al-Albani, al-Dzahabi, dan Ibn al-Jauzi—tidak ada satu pun yang menghukumi kualitasnya sebagai hadis sahih. Dengan redaksi beragam tapi senada, hukum hadis tersebut dinyatakan “tidak sahih”, “lemah (daif)”, “sanadnya (rangkaian perawi) sangat lemah”, “sanadnya lemah”. Artinya, hadis itu bermasalah dan tidak valid sehingga tak dapat menjadi rujukan. Menjadi janggal jika begitu saja meyakini bahwa melakukan kerja-kerja domestik bagi perempuan ganjarannya setara dengan jihad di jalan Allah.

Sayangnya, riwayat bermasalah di atas terlanjur jamak beredar dan tak jarang diamini masyarakat. Disadari atau tidak, iming-iming pahala semacam ini kerap kali membius, menempatkan perempuan pada posisi tak beruntung dan rentan dalam kehidupan rumah tangga sekaligus publik. Nabi jelas tidak mungkin memiliki intensi untuk menzalimi perempuan. Karenanya, kita mesti jeli dalam menelaah teks keagamaan.

Kondisi yang berkembang sekarang, bahwa mendapat pahala tadi menjadi orientasi utama, turut menormalisasi pandangan bahwa kerja-kerja perawatan selayaknya memang ditunaikan oleh perempuan, identik dengan perempuan. Hal itu kian menyulitkan terwujudnya pengakuan serta penghargaan masyarakat secara umum pada kerja perawatan, terutama tugas-tugas rumah tangga. Sekalipun mengurus pekerjaan rumah tangga berpahala, janji ganjaran di akhirat bukan berarti menghilangkan kewajiban kita untuk mengakui dan menghargai keringat serta usaha yang dikeluarkan oleh seorang perempuan yang mengerjakan urusan domestik.

Islam pada dasarnya sangat menghargai hak orang yang bekerja tanpa kecuali. Sementara itu, anggapan bahwa perempuan merupakan pekerja kelas dua masih terus berlanjut, yang membuat nilai pekerjaan mereka dipandang rendah terlebih pada sektor kerja perawatan. Hal ini berseberangan dengan posisi Islam. Jangankan tidak mengupah pekerja, Islam bahkan jelas melarang menunda-nunda pemberian upah, seperti yang ditegaskan Nabi Muhammad SAW, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” (HR. Ibn Majah).

Di lain sisi, fakta lapangan menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak menghabiskan waktu kerjanya untuk kerja perawatan tak berbayar dibandingkan dengan kerja berbayar, sebagaimana laporan survei yang dilakukan International Labour Organization (ILO) di 64 negara. Dibandingkan laki-laki, jam kerja perempuan dalam sehari pun tercatat lebih panjang. Idealitas ajaran Islam juga menolak praktik timpang semacam itu. Coba simak ucapan Nabi Muhammad yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut, “Para pekerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang tidak ia mampu”. Imam Bukhari, salah satu rujukan utama dalam hadis juga meriwayatkan hadis serupa dengan sedikit perbedaan redaksi dan menyatakannya sahih.

Pernyataan pertama Nabi menekankan bahwa pekerja dan pemberi kerja terikat jalinan persaudaraan yang setara sebagai manusia. Dalam konteks hari ini, beban/jam kerja di luar wajar adalah salah satu bentuk pemaksaan kemampuan kerja yang jelas dilarang. Sedangkan narasi Nabi tentang pemberian makan dan pakaian di atas dapat dimaknai sebagai perintah untuk mutlak berlaku baik pada pekerja, antara lain mencakup pemberian hak jaminan sosial, kesehatan, keamanan, hingga upah yang layak.

Realitas timpang pada sektor kerja perawatan ini harus mendapat perhatian lebih. Sebagai mula, perlu ada gerakan kultural untuk memberikan pengakuan (recognition) bahwa kerja-kerja perawatan—baik berbayar maupun tak berbayar—adalah aktivitas produktif yang jika tidak dilakukan dapat mengganggu kondisi fisik, kesejahteraan psikologis, relasi sosial, serta produktivitas. Recognition, dalam hal ini adalah bagian dari kerangka kebijakan 5R yang diajukan ILO menyangkut Kerja Perawatan dan Ekonomi Perawatan. Kerangka 5R yang bertujuan mewujudkan kerja yang layak bagi semua (decent work for all) tersebut terdiri dari mengakui (recognize), mengurangi (reduce), redistribusi (redistribute), penghargaan (reward), dan keterwakilan (represent).

Baca Juga  Wahabisme: Ideologi Kaum Ekstremis (Bagian 1)

Jangan lagi ada ungkapan seperti “Cuma ibu rumah tangga” ataupun pernyataan-pernyataan serupa bernuansa meremehkan aktivitas perawatan. Pengakuan atas nilai produktif kerja perawatan adalah ambang minimal. Selanjutnya harus ditindaklanjuti dengan dukungan strategis baik dari pemerintah, swasta, maupun publik secara umum yang mengarah pada kebijakan berkeadilan gender serta ekonomi. Untuk itu, pengambilan kebijakan menyangkut pekerjaan perawatan tak berbayar harus mempertimbangkan juga paling tidak 2R setelahnya, yaitu reduce dan redistribute, sebagai upaya lanjutan dalam mengatasi ketimpangan gender di bidang ekonomi.

Reduce berarti mengurangi beban ganda perempuan dalam tugas perawatan melalui pelibatan setara dari pihak yang berkepentingan. Sementara redistribute menyangkut pendistribusian ulang beban ganda perempuan kepada pihak yang berkepentingan sehingga perempuan juga bisa mendapat kesempatan yang lebih optimal khusunya di dunia kerja. Produk konkretnya, antara lain pemerintah harus punya kebijakan mengenai perlindungan kehamilan dan menyusui, kebijakan cuti berbayar bagi ayah, kebijakan menyediakan layanan anak baik di rumah, day care, maupun PAUD, hingga kebijakan tentang layanan jangka panjang.

Meski kerangka tersebut masih dalam upaya advokatif untuk konteks Indonesia khususnya, dalam kapasitas personal kita bisa mencicil kontribusi dengan meningkatkan kepekaan diri akan tanggung jawab bersama dalam rumah tangga. Berbagi tugas rumah tangga antara suami dan istri misalnya, tidak hanya membebankan kerja-kerja perawatan di pundak perempuan. Sebatas berterimakasih pada istri/ibu/saudara perempuan atau memberinya voucher perawatan ke salon adalah cara-cara sederhana dan terjangkau untuk menghargai kerja keras mereka dalam merawat rumah tangga.

Nabi Muhammad sendiri tak segan membantu istrinya. Beliau terlibat aktif dalam mengerjakan tugas rumah tangga. Aisyah RA (istri Nabi) pernah memberikan kesaksian saat ditanya oleh Urwah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah SAW saat bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah RA menjawab, “Beliau melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, beliau memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, serta mengangkat air di ember”. Ibn Hibban meriwayatkan hadis ini dalam kitab Shahih-nya. Praktik tersebut adalah salah satu pembuktian dari pernyataan Nabi, bahwa “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya” (HR. At-Tirmidzi dengan kualitas hasan-sahih).

Untuk konteks Indonesia, kesadaran dan pemahaman seputar ekonomi perawatan serta kerja perawatan masih belum optimal, sehingga masalah ketidaksetaraan gender dan ekonomi masih marak adanya, baik itu disadari maupun tidak. Pada akhir 2023, ILO-KataData merilis hasil survei di 34 provinsi Indonesia tentang pemahaman, persepsi, dan perilaku publik atas pekerjaan perawatan. Data tersebut menunjukkan bahwa perempuan lebih sadar terhadap isu perawatan dan pengasuhan. Kerja domestik seperti mencuci, menyetrika, memasak, memandikan, serta membersihkan rumah merupakan pekerjaan perawatan yang paling banyak dilakukan tapi paling tidak dikenali. Akibatnya seperti yang marak terjadi, ibu rumah tangga dengan segala beban tugasnya sering disepelekan dan dianggap tak bekerja.

Lebih lanjut, pekerjaan perawatan diakui penting oleh kebanyakan responden, terutama untuk menghindari konflik, penurunan kondisi fisik/mental, serta penurunan produktivitas. Sayangnya, kerja perawatan kurang diakui sebagai pekerjaan bernilai ekonomi. Paling tidak 14,5% publik tidak setuju adanya nilai ekonomi dari pekerjaan perawatan. Ada temuan menarik dari laporan tersebut, di mana 66,2% perempuan berpendapat biasa saja meninggalkan sumber penghasilannya untuk melakukan pekerjaan perawat seperti mengurus anak atau merawat orang tua yang sakit. Hanya 7,9% responden yang menyadari bahwa mereka sebetulnya punya hak untuk berprestasi dan bekerja di ruang publik. Boleh jadi, karena faktor pendidikan, keyakinan, dan saking kokohnya budaya yang menempatkan perempuan di area domestik selama ini, membuat kesadaran perempuan tentang hak bekerja dan berprestasi pun menumpul.

Mayoritas perempuan punya beban ganda juga nyata adanya. 79,3% responden perempuan yang berstatus istri/saudara perempuan, mereka bekerja dan di saat yang sama punya tugas pengasuhan anak/perawatan orang tua. Sedangkan kesadaran untuk melibatkan pihak terkait di luar keluarga seperti pelibatan pemerintah dan perusahaan untuk mengurangi beban kerja perawatan masih minim. Kurang dari 30% responden yang menyadarinya. Perempuan kian tertekan karena publik masih berpandangan bias gender, di mana pekerjaan perawatan dinilai lebih cocok dilakukan perempuan sebab sifatnya yang telaten dan penyabar.

Sebagai pengusung kebijakan 5R, ILO merupakan organisasi internasional di bawah naungan PBB yang bertugas mengatur standar-standar, mengembangkan kebijakan dan merancang program yang mempromosikan pekerjaan yang layak untuk semua perempuan dan laki-laki. Kerja-kerja ILO disokong oleh spirit kemanusiaan, cita-cita keadilan sosial-ekonomi, penghargaan dan pengakuan hak buruh secara internasional. Sebagai satu-satunya badan tripartit PBB yang terdiri atas perwakilan pemerintah, pekerja, serta pengusaha dari 187 negara anggota yang tergabung, komposisi ini akan menunjang terwujudnya program dan kebijakan yang berimbang seputar ketenagakerjaan secara umum, mendukung terciptanya peluang kerja yang layak bagi semua, dan memberi manfaat bagi kesejahteraan keluarga, tak terkecuali perempuan.

Pada 12 Juni 1950 Indonesia tergabung sebagai member ILO dan telah berkolaborasi sejak saat itu. Komitmen ILO untuk memerangi ketidakadilan, penderitaan, dan kemiskinan melalui kebijakan dan programnya termasuk kerangka 5R yang tengah dicanangkan, adalah terjemahan hidup dari nilai dan ajaran Islam. Di samping cinta kasih, prinsip kemanusiaan dan keadilan adalah jantung dari ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tersebut.

Beliau diutus untuk mereformasi tatanan sosial, politik, keagamaan, ekonomi yang zalim dan rusak di masyarakat Arab kala itu. Perempuan termasuk fokus yang hendak dientaskan Nabi dari segala bentuk subordinasi dan penindasan yang mereka terima. Misi profetik Rasulullah juga ditujukan untuk melawan elite Mekkah yang eksploitatif. Artinya, pemerasan tenaga secara zalim jelas di luar koridor ajaran Islam. Yang diusung Islam adalah spirit keadilan. Karena itu, ketika ada tafsir keagamaan yang bermuara pada pemahaman timpang dan praktik ketidakadilan, maka ada yang perlu dibenahi dari pemahaman tersebut hingga mencapai titik adil yang tidak berat sebelah. Cara pandang religius bahwa mengurus rumah tangga itu berpahala harus dibarengi dengan pengakuan secara manusiawi untuk menjamin hak pekerja perawatan sebagai seorang manusia, guna mendorong kesetaraan dan keadilan sesama. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.