Selalu ada potensi penyalahgunaan wewenang dan ketidakadilan yang dilakukan oleh negara terhadap warga, mengingat negara adalah pihak yang memegang instrumen kuasa. Saat ketidakadilan terjadi, masyarakat berhak sekaligus bertugas melawannya sebagai salah satu bentuk pengawasan terhadap laju pemerintahan dalam lanskap demokrasi. Kasus hukum Fatia-Haris yang bergulir lebih dari dua tahun merupakan contoh bagaimana masyarakat sipil berjuang melawan ketidakadilan penguasa, pembungkaman hak bersuara dan berpendapat yang berujung kriminalisasi. Menjalani 35 persidangan bukanlah waktu yang sebentar yang sudah pasti sangat menguras emosi, tenaga, dan mengorbankan banyak hal. Namun, Fatia-Haris memilih menjalaninya sebagai jalan perlawanan atas ketidakadilan.
Setelah proses persidangan yang pelik, kabar segar bebasnya Fatia-Haris tersiar pada Senin siang (8/1/2024) dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Keduanya merupakan aktivis HAM yang dilaporkan ke pihak kepolisian karena dituduh mencemarkan nama baik Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) terkait podcast mereka yang diunggah di kanal YouTube milik Haris Azhar. Dalam podcast yang berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada! NheHAMtam”, kedua eks-koordinator KontraS tersebut mendiskusikan hasil kajian cepat Koalisi Masyarakat Sipil dengan judul Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya yang menyebut dugaan keterlibatan LBP.
Majelis Hakim menyatakan keduanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Dalam pernyataan hakim anggota, Muhammad Djohan Arifin, dikatakan bahawa apa yang disampaikan di podcast terkait adalah suatu telaah, komentar analisis pendapat serta penilaian terhadap hasil kajian cepat. Penyematan frasa ‘Lord’ pada LBP bukan ditujukan untuk mencermarkan nama baik, bukan pula mengandung makna jelek, buruk, maupun hinaan, melainkan mengarah pada status yang berkaitan dengan kedudukannya. Unsur pencemaran nama baik serta penghinaan pun tidak terpenuhi.
Pendek kata, kasus Fatia-Haris yang bergulir lebih dari dua tahun ini adalah gambaran skenario upaya seorang pejabat publik yang berusaha menekan dan membungkam suara masyarakat yang kritis terhadap dirinya agar mereka takut. Di mana pejabat tersebut diduga kuat—berdasar hasil riset—terlibat konflik kepentingan terkait konsesi tambang Intan Jaya yang menyebabkan rangkaian ketidakadilan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat setempat. Berbagai kejanggalan dalam kasus Fatia-Haris, mulai dari pemidanaan yang dipaksakan karena tak memenuhi unsur pidana hingga penanganan kasus yang cenderung diskriminatif, kian menegaskan bahwa pejabat terkait tengah menunjukkan taring kuasanya sebab khawatir kepentingannya terusik. Maka corong-corong kritis pun disumpal. Namun kali ini rakyat menang. Fatia-Haris divonis bebas.
UU ITE yang kerap dipakai untuk melakukan kriminalisasi dan pembungkaman terhadap aktivis, jurnalis, serta berbagai pegiat sipil adalah alarm keras runtuhnya demokrasi. Duo Fatia-Haris, tim kuasa hukumnya, serta seluruh pihak yang membantu mereka menunjukkan resiliensi dan komitmennya dalam melawan kriminalisasi serta ketidakadilan terhadap keduanya sekaligus masyarakat.
Dalam beberapa waktu terakhir, mereka bersafari dari satu kota ke kota lain menggalang solidaritas dan mengingatkan masyarakat tentang pentingnya suara warga. Ini adalah pendidikan politik yang nyata bahwa kita, semua warga berhak kritis bersuara. Vonis bebas itu sekaligus menjadi energi untuk menajamkan keberanian masyarakat sipil dalam mengawasi dan mengkritisi laju pemerintahan serta perilaku pejabat publik.
Eric Weiner, seorang jurnalis sekaligus penulis buku-buku laris, dalam salah satu karyanya berjudul The Socrates Express menuturkan bagaimana kreativitas perlawanan Gandhi terhadap ketidakadilan, yakni kokoh namun tanpa kekerasan. Kuas Gandhi ialah keteguhan tekad dan kanvasnya adalah hati manusia. Menurut Gandhi, keindahan sejati adalah berbuat baik melawan kejahatan. Gandhi merupakan megafon dan ikon dari sejarah upaya perlawanan tanpa kekerasan. Momentum diusir dari kereta kelas bisnis hanya karena ia tidak berkulit putih menjadi api pemantik perjuangannya sepanjang hayat menentang diskriminasi dan ketidakadilan.
Demikianlah yang terlihat dari postur perjuangan kedua aktivis HAM Fatia-Haris hingga akhirnya membuahkan vonis bebas. Mereka dan orang-orang yang menyertai upaya keduanya bergulat di meja hijau memiliki determinasi yang kuat dan terjaga. Menolak mundur meski dikepung ancaman dan bayang-bayang jeruji besi. Kajian cepat yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang kemudian dikemas Fatia-Haris dalam format podcast merupakan upaya menguak ketidakadilan oknum penguasa dan melawan kejahatan yang terpola. Yang sekaligus suara sah warga untuk memonitor pejabatnya. Bagaimana Gandhi mengonfrontasi ketidakadilan dengan bersih hati, tekad teguh, dan tanpa kekerasan adalah inspirasi baik untuk terus dihidupkan. Baginya, orang yang melakukan kekerasan adalah orang yang malas dan menunjukkan gagalnya imajinasi. Wallahu a’lam. []