Jadi Palawan untuk Diri Sendiri

KolomJadi Palawan untuk Diri Sendiri

Kita bisa menjadi pahlawan untuk diri sendiri tanpa harus berlaga di medan tempur atau memiliki kiprah heroik laiknya jajaran nama pahlawan bangsa. Karakter menonjol dari figur pahlawan adalah kepedulian, keberanian, dan kesediaan berjuang. Menjadi pahlawan bagi diri sendiri tak lain merupakan upaya kita mengadopsi dan mengartikulasikan personalitas tersebut dalam konteks pribadi. Pada akhirnya kitalah yang bertanggung jawab atas diri sendiri. Sebab itu, melatih jiwa kepahlawanan merupakan tindakan reflektif yang didasari kesadaran, bahwa di titik ujung nanti yang bisa kita andalkan adalah diri sendiri.

Menjalani kehidupan sama dengan merumuskan upaya-upaya untuk terus bertahan hidup dalam kerangka yang semestinya selaras dengan berbagai nilai, norma luhur, kecenderungan, juga pandangan diri. Semua itu berangkat dari mengenal diri sendiri. Dengan belajar mengenal diri, kita tengah memetakan langkah awal arah perjalanan kita. Perkenalan itu setidaknya berangkat dari mengeksplorasi apa sebetulnya yang kita inginkan. Tiap orang tentu berharap bisa menjalani kehidupan berdasarkan kehendak bebasnya.

Perkara kemudian apa yang kita inginkan itu hal yang tepat atau tidak bagi kita, atau kita melakukan kesalahan dalam prosesnya, tidak mengapa. Sebab, usaha-usaha sederhana mengambil pilihan adalah ekspresi kepedulian serta keberanian yang layak dihargai, dan selalu ada kesempatan untuk mencoba kembali. Jika tak berani memilih, maka tuas nasib yang akan mengendalikan kita. Dalam bahasa agama, mengenal diri sendiri adalah jalan mengenal Tuhan. Di mana akrab dengan Tuhan sesungguhnya adalah dorongan terdalam yang dirindukan batin seorang manusia.

Perkenalan selanjutnya, penting untuk mencoba menyisir potensi serta kecenderungan pribadi. Kelebihan kita di mana dan apa yang menjadi kekurangan kita. Mengapa ini penting? Paling tidak untuk alasan realistis, mengenal potensi pribadi dapat berguna untuk menghidupi diri. Tak bisa dipungkiri, kita hidup dalam mekanisme timbal balik, di mana uang atau sumber penghidupan dapat kita peroleh dengan menukar kemampuan (skill). Boleh dibilang, proses reflektif dan strategis untuk mengenal potensi pribadi belum jamak diajarkan di institusi-institusi pendidikan. Karena itu tidak heran, tak sedikit sarjana-sarjana baru yang kehilangan arah, bingung hendak bekerja apa. Kemampuan apa yang dapat ‘dijual’ dan bisa menghasilkan.

Alasan lebih personal mengapa kenal diri itu penting, ialah karena orang sering terjerat perasaan inferior, merasa tidak berharga karena seolah tak punya sesuatu yang bernilai dari dirinya dibandingkan dengan orang lain. Di sini pentingnya berusaha mencari dan memaknai keunggulan, yang biasanya akan sepaket dengan pengenalan keterbatasan diri. Premis utama yang harus diyakini adalah bahwa tiap manusia tercipta istimewa sekaligus pasti bisa berbuat salah. Mungkin terdengar klise dan basi, tapi ini adalah poros untuk kita bertolak menghargai sekaligus menyelidiki diri sendiri. Plus minus yang ditemukan menjadi catatan untuk tampil dalam berkehidupan dan terus berproses ke arah yang lebih baik.

Baca Juga  Jihad ala Santri Milenial

Inferior semata-mata adalah perasaan subyektif, suatu ilusi karena kita membandingkan diri dengan orang lain. Perasaan tersebut berkaitan dengan nilai seseorang atas dirinya sendiri. Persoalan sebetulnya adalah tentang bagaimana kita memaknai dan memberi nilai atas sesuatu dari diri kita. Berbadan kecil boleh jadi tidak menarik atau kurang berguna karena tidak sesuai dengan standar sosial dan keumuman. Namun, kondisi itu cenderung tidak mengintimidasi orang lain. Berbadan kecil atau pendek adalah semacam bakat yang bisa membuat orang lain di sekitarnya merasa rileks.

Eksplorasi diri ini menuntun kita untuk juga menata tujuan dari perjalanan hidup, serta mempelajari terus prinsip dan nilai terbaik yang akan menjadi ruhnya. Adanya tujuan akan memperjelas langkah yang mesti dirancang. Sebaliknya, tanpa tujuan hidup kita akan terayun secara asimetris. Dalam konteks Islam misalnya. Kita telah dikabari bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk berbakti pada Tuhan. Bahwa setelah dunia ini akan ada kehidupan abadi pasca kematian. Tempat di mana tingkah laku kita dimintai pertanggungjawaban. Pasal-pasal tujuan ini pun memberikan kerangka jalan bagi seorang hamba untuk merencanakan plot hidupnya, yakni untuk tunduk menaati Tuhan, melakukan kesalehan-kesalehan dalam koridor yang diberitakan-Nya melalui para utusan yang dikirimkan.

Adalah diri kita yang menjadi tumpuan dari proses-proses di atas. Berpikir, membaca pertanda-pertanda-Nya, dan terus berusaha adalah paket siklus bagi manusia selagi bernyawa. Karenanya, saat manusia berhenti belajar, sesungguhnya ia telah mati. Peduli, berani, dan mau berjuang menginsafi pribadi adalah perilaku kepahlawanan. Dan di saat yang sama kita tengah menolong diri sendiri. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.