Gagasan Persatuan Islam, Bukan Legitimasi Khilafah

KontributorGagasan Persatuan Islam, Bukan Legitimasi Khilafah

Dilansir dari data yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2022 tentang kemajuan negara-negara di dunia, kebanyakan negara yang pemukimnya didominasi oleh muslim, indeks kemajuan dan kesejahteraannya masih kalah dibandingkan dengan negara-negara di Barat. Data semacam itu kerap digunakan oleh kelompok Islamis sebagai legitimasi bahwa, umat Islam mesti bersatu di bawah satu kendali, khilafah.

Gerakan Islam politik yang menghendaki berdirinya Negara Islam juga mengklaim sejumlah tokoh modernis Islam agar terkesan mendukung visi dan misi tegaknya Khilafah. Salah satu yang sering disalahpahami adalah pemikiran Jamaluddin Al-Afghani. Gagasannya tentang Pan-Islamisme kerap dijadikan landasan argumentasi pendirian khilafah. Padahal jika dicermati secara teliti, gagasan dasar Pan-Islamisme Jamaluddin Al-Afghani tidak serta merta menghendaki penyeragaman paham dan pendirian khilafah.

Dr. Fahruddin Faiz dalam salah satu sesi ngaji filsafat yang diunggah Youtube MJS Channel dengan tema Teologi Islam (30/04/2019), membabar sejumlah poin penting tentang gagasan Pan-Islamisme Jamaluddin Al-Afghani.

Pertama, Pan-islamisme sebagai gagasan tentang universalisme Islam. Dalam artikelnya yang terkenal berjudul Ma ya’ulu Ilahi Amr al-Muslimin, Jamaluddin Al-Afghani menilai bahwa kemunduran umat Islam, salah satunya, ditengarahi oleh adanya demarkasi yang tegas, antara satu kelompok muslim dengan kelompok muslim yang lain. Masing-masing kelompok memilih untuk berhadap-hadapan ketimbang menjalin relasi yang sehat. Hal inilah yang dikritik Al-Afghani dengan dorongan agar umat Islam ‘bersatu’ dalam membangun peradaban maju kembali. Sayangnya kata ‘bersatu’ selalu dimaknai secara mutlak oleh kelompok fundamentalis sebagai pendirian khilafah.

Di dalam artikelnya tersebut, Jamaluddin Al-Afghani sebenarnya menjelaskan dengan terang bahwa bahwa Pan-Islamisme tidak menghendaki keseragaman, seperti tafsir kelompok fundamentalis. Baginya, Islam memang akan terbagi ke dalam banyak golongan seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW. Anggapan itu juga diakumulasikan dengan pengalaman penjelajahannya ke berbagai negara Muslim. Ini lah poin kedua yang penting dari pemikiran Al-Afghani tentang persatuan Islam dalam keberagaman Muslim. Apa yang dimaksud dengan ‘bersatu’ tidak lain bahwa umat Islam mesti memiliki rasa solidaritas antar sesama umat Islam, ukhuwah Islamiyah.

Dengan begitu, perbedaan kelompok yang ada di antara umat Islam tidak akan jadi selama rasa solidaritas sesama muslim bisa tumbuh dengan sehat. Solidaritas tersebut tentunya bersifat universal. Tidak hanya pada bidang  politik atau militer, tetapi lebih penting tentang kontribusi di bidang kehidupan masyarakat, kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, bahkan juga budaya.

Baca Juga  Kitab Kuning di Tengah Kubangan Modernisme (Bagian II)

Poin ketiga yang penting untuk diingat dari pemikiran Jamaluddin Al-Afghani ialah saat ia dengan terang mengatakan bahwa umat Islam tidak boleh anti Barat. Umat Islam tidak boleh tertutup, mesti terbuka dan berani belajar dari peradaban yang lebih maju. Umat Islam boleh belajar ke Barat, bekerjasama, dan semacamnya. Hanya saja, ia menggarisbawahi pula, segala yang telah didapat dari hasil interaksi terbuka dengan Barat, perlu dikembangkan dan diolah lagi agar sesuai dengan konteks masyarakatny.

Keempat, Jamaluddin Al-Afghani juga mengatakan ada alternatif lain untuk memajukan umat Islam selain dengan jalan Pan-Islamisme, yakni demokratisasi. Negara yang demokratis memberi peluang besar bagi tumbuhnya solidaritas umat Islam, lebih baik ketimbang berada di bawah sistem monarki absolut yang jauh lebih korup.

Singkatnya, Jamaluddin Al-Afghani memang menghendaki kemajuan umat Islam dan membebaskannya dari cengkeraman Barat di berbagai lini kehidupan. Ia menggunakan kendaraan politik dan pendidikan. Ia jelas tokoh pembaharu Islam. Tetapi jika kita berhenti hanya pada seruan Pan-Islamisme secara dangkal, kita akan terjebak pada pola pikir instan yang menganggap pendirian Kilafah sebagai solusi semua masalah dan melupakan bidang-bidang pembangunan yang mesti jadi medan perjuangan kita sesungguhnya.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga, penulis, dan masyarakat biasa.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.