Sudah menjadi kebiasaan sebagian umat Islam berburu lailatul qadar di sepuluh malam terakhir Ramadan. Sebab, dalam pandangan yang umum beredar, malam kemuliaan itu ada di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir. Ada juga yang secara spesifik meyakininya pada malam ke-27. Sehingga, di malam-malam ini, kita memperkaya amal dengan harapan mendapat pahala setara beramal seribu bulan.
Namun, menurut Buya Hamka, dalam karyanya Renungan Tasawuf (1985), sebenarnya lailatul qadar tidak hanya bisa kita jumpai di bulan Ramadan. Bisa jadi perjumpaan dengan malam kemuliaan malah di luar Ramadan. Dalam pandangan Buya Hamka, Umar bin Khattab merupakan salah seorang yang momen lailatul qadar-nya ada di luar Ramadan.
Sebagaimana dalam cerita yang sudah mahsyur bahwa, pada suatu malam, Umar yang belum memeluk Islam hendak membunuh Nabi Muhammad SAW. Namun, di tengah perjalanan, dia malah mendapat kabar kalau adiknya telah masuk Islam. Dia pun melabrak adiknya. Dan, dalam insiden itulah, Umar melihat salinan ayat suci al-Qur’an milik adiknya;
“Thaahaa. Tidaklah Kami turunkan al-Qur’an kepadamu supaya kamu susah. Melainkan, sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). Diturunkan oleh yang menjadikan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan Yang Mahapemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Q.S. Thaha: 1-5).
Dibaca olehnya ayat-ayat itu berulang-ulang, hingga jiwanya bergetar. Masuk sudah iman Islam sampai ke bagian terdalam jiwanya. Umar pun berkata, “Di mana Muhammad sekarang? Bawa aku padanya! Aku akan masuk Islam!”
Momen itu hanya sesaat. Tidak ada hitungan semalam. Umar pun pasti tidak menyangka akan mengalaminya. Namun, bagi Umar, saat-saat yang tak berapa lama itu, menjadi malam terbaik dalam hidupnya, yang meski dibandingkan dengan malam seribu bulan tidak akan sebanding dengan momen sesaat itu. Sebab, momen sesaat itulah yang menjadikan dirinya dari seorang penyembah berhala yang sangat membenci Nabi, menjadi sahabat utama yang amat mencintai Nabi.
Pengalaman senada juga dialami oleh Buya Syafii (Ahmad Syafii Maarif), ketika menempuh studi doktoral di The University of Chicago. Sebagaimana Buya Syafii, dalam Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif (2006), bahwa sebelum studi di Chicago nalar toleransinya masih biasa saja. Bahkan, pada beberapa hal, dia masih terbilang keras. Hingga momen Chicago menjadi titik kisar dalam pemikiran Islam ramahnya.
Hidup sebagai minoritas, menerima kuliah dari Fazlur Rahman, dan hal lainnya yang dia alami di Chicago, telah menentukan arah hidup Buya Syafii, dari sosok yang tidak begitu toleran, menjadi Muslim yang amat toleran. Momen Chicago terbilang hanya sesaat dalam hidupnya, namun itu lebih baik dari seribu bulan, sebab titik kisar itu menjadikannya sosok intelektual Muslim toleran yang terkenal dengan adagiumnya; “Bersaudara dalam perbedaan, dan berbeda dalam persaudaraan.”
“Saat pendek yang menentukan arah hidup kita,” itulah yang menurut Buya Hamka merupakan lailatul qadar. Titik kisar kehidupan yang nilainya melebihi seribu bulan. Momen sesaat yang, sebagaimana Izuddin bin Abdissalam dalam Maqaashidu ash-Shaum, “…tuqaddaru fii tilka al-lailati (ditetapkan (ditentukan jalan hidup kita) pada malam itu).”
Jadi, secara kontekstual, lailatul qadar bukan sekadar momen di mana pahala bacaan al-Qur’an semalam, menjadi seperti pahala selama seribu bulan. Melainkan, itu adalah momen pendek yang menentukan arah hidup menuju jalan terbaiknya.
Pandangan ini tidak bermaksud mendegradasi tradisi berburu lailatul qadar, dengan i’tikaf, memperbanyak baca al-Qur’an, dan salat tahajud di malam-malam terakhir Ramadan. Silahkan lanjutkan perburuan dengan ritual itu. Namun, kita juga perlu memaknai lailatul qadar dengan lebih mendalam. Bahwa yang kita harapkan tidak sekadar perkalian pahala “1 x 1.000 bulan”, lebih dari itu adalah momen yang mengarahkan hidup ke jalan terbaik.
Buya Hamka berkata, “Berusia 1.000 bulan pun telah terlalu lama (bagi manusia). Jarang manusia yang mencapai usia melebihi 90 tahun. Kalaupun ada, kekuatan sudah tidak ada lagi. Tetapi Tuhan membuka kepada kita saat-saat pendek yang menentukan arah seluruh hidup kita ini (yaitu lailatul qadar).”
Sangat beruntung orang yang dapat bertemu dengan lailatul qadar-nya. Seperti Umar yang menjadi amat cinta kepada Nabi. Seperti Buya Syafii yang menjadi begitu toleran kepada non-Muslim. Kita pun kalau bertemu lailatul qadar, ituakan mengarahkan kita menuju arah hidup yang lebih baik.