Ramadhan Memantapkan Toleransi

KolomRamadhan Memantapkan Toleransi

Sehari sebelum memasuki bulan Ramadan, tepatnya pada 22 Maret 2023, terjadi aksi penutupan patung Bunda Maria di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa St. Yacobus, Kulon Progo, Yogyakarta. Kabarnya alasan penutupan patung itu, sebagaimana dilansir dari Tempo.co, akibat adanya tuntutan dari sekelompok ormas yang berafiliasi dengan partai politik Islam. Menurut mereka, keberadaan patung, yang berjarak tidak jauh dari Masjid al-Barokah, itu akan mengganggu kekhusyukan ibadah puasa umat Islam.

Sekelompok ormas itu mengatakan mereka mewakili aspirasi warga. Ya, meski entah warga mana yang mereka maksud, sebab sebagaimana penjelasan Petrus Surjiyanta, Ketua Pengelola Rumah Doa Sasana Adhi Rasa, selama ini warga sekitar tidak pernah menyatakan keberatan dengan keberadaan patung itu.

Selain itu, karakteristik penduduk sekitar, sebagai orang Jawa, “seharusnya” memiliki watak toleran dan harmonis yang tinggi. Sebagaimana penjelasan KRT Jatiningrat dalam “Hidup Orang Jawa, Islam, dan Hukum Adatnya,” artikel pengantar dalam buku Islam dalam Tradisi Hukum Jawa dan Hukum Kolonial karya Mason C. Hoadley (2009), bahwa orang Jawa, termasuk masyarakat Nusantara secara umum, selalu hidup dengan sikap toleransi yang tinggi, sebab kompromi dan toleransi merupakan landasan hidup bagi orang Jawa.

Selain alasan mewakili suara warga yang paradoks dengan watak kejawaan warga sendiri, sekelompok ormas itu juga menggunakan dalih mengganggu kekhusyukan puasa Ramadan untuk pembenaran laku intoleran mereka. Menarik untuk kita menguji dalih mereka; Apakah keberadaan patung Bunda Maria mengganggu kekhusyukan ibadah puasa? Apakah keberadaan gereja, pura, vihara, dan klenteng mengusik ketenangan umat Islam dalam berpuasa? Apakah kalau berada dekat dengan non-Muslim membuat umat Muslim tidak nyaman berpuasa?

Tujuan dari puasa sendiri, secara sederhana, adalah untuk melatih manusia mengendalikan nafsunya. Dalam hal mengendalikan nafsu ini, sebagaimana penjelasan Fahruddin Faiz dalam Lesehan Ramadan 10 Tahun Ngaji Filsafat, setidaknya manusia memiliki empat level perjalanan mengendalikan nafsu.

 Pertama, nafsu di perut, pada tahap ini, pengendalian nafsu berhubungan dengan makan dan minum. Kedua, nafsu di bawah perut, di sini kita mengendalikan berbagai keinginan birahi. Ketiga, nafsu di hati, di mana kita membersihkan hati dari keakuan atau kesombongan diri. Dan terakhir, nafsu di kepala, pada level ini, kita menjernihkan pikiran dari berbagai kekotoran serta kelicikan terhadap yang lain.

Baca Juga  Meneladani Toleransi Rasulullah Terhadap Non-Muslim

Level pengendalian nafsu itu berimplikasi pada kualitas puasa. Semakin tinggi perjalanan pengendalian nafsu, maka semakin berkualitas pula puasa kita. Sejalan dengan itu, Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi puasa menjadi tiga level; puasa umum (shaumu al-‘umumi), puasa khusus (shaumu al-khususi), dan puasa paling khusus (shaumu khususi al-khususi).

Jika puasa yang kita maksud adalah sekadar menahan nafsu perut dan bawah perut, menahan lapar dan birahi, kemudian memperbanyak ibadah. Oleh karena itu, ketika beribadah dalam keadaan lapar dan haus syahwat, kita merasa terganggu melihat patung Bunda Maria, merasa terusik beribadah dekat rumah ibadah non-Muslim, dan merasa kurang nyaman dekat dengan non-Muslim. Maka, ketahuilah, puasa kita masih berada di level terendah. Puasa umum yang hanya menjadikan kita kuat menahan lapar dan birahi, namun tidak membersihkan hati dan menjernihkan pikiran dari kesombongan serta kepicikan diri merasa yang paling benar.

Puasa khusus tidak sekadar menahan lapar dan birahi, namun membersihkan hati dari ego-ego kebenaran. Adapun, puasa paling khusus merupakan penundukan nafsu untuk menjernihkan pikiran dari segala kepicikan diri. Ketika hati bersih dan pikiran jernih, maka keduanya hanya akan diisi oleh Dia yang Maha Kasih. Saat itu, jadilah kita sosok tattaqun yang tidak sombong dan mampu hidup damai dalam kasih dengan saudara lintas iman.

Maka dari itu, dalam konstruksi pemikiran ini, puasa tidak sekadar menahan makan dan minum, namun juga merupakan proses penundukan ego-ego kebenaran dalam diri, sehingga kita menjadi pribadi yang lebih toleran dalam menyikapi perbedaan. Jadi, Ramadan merupakan momentum penting bagi masyarakat Muslim Nusantara untuk memperkuat watak toleransi dalam diri, agar kita semakin menjadi Muslim yang mampu menghormati kehadiran non-Muslim di sekitar kita.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.