Meski dunia kerap digambarkan sebagai sesuatu yang buruk, rendah, penghalang kebahagiaan akhirat, itu semua bukan alasan untuk membenci dan mencela dunia mati-matian. Dalam surat al-Qashash: 77 bahkan disebutkan, Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (urusan) duniawi. Artinya, prinsip keseimbangan mesti dipegang. Akhirat memang rumah kebaikan yang menjadi tujuan akhir. Namun tetap, ada kebaikan pada dunia yang mesti digali dan dimanfaatkan sebagai modal menuju akhirat.
Gus Baha, dalam ceramah yang diunggah kanal Youtube Santri Gayeng (14/10/2022, berjudul Gus Baha: Jangan Buru-buru Mengejek Dunia) mengatakan, bahwa menurut Ibnu Khaldun, Allah mengkritik dunia hanya pada yang perlu dikritik, bahkan kadang akhirat pun dikritik Allah. Surga pun kadang dikritik Allah jika memang perlu dikritik. Karena semua ada konteksnya.
Tidak tepat jika begitu saja menempatkan dunia secara hina. Umumnya, sikap demikian ditunjukkan oleh sekelompok sufi. Dengan mengutip kitab Hilyatu al-Auliya, Gus Baha menceritakan kisah seorang sufi yang bodoh, yang mengkritik dunia habis-habisan. “Dunia itu tidak ada bagusnya! Dunia adalah bangkai! Dan yang menginginkan bangkai harus siap berebut dengan anjing. Pokoknya omongannya sampai kemana-mana”, tutur kiai yang khas dengan baju putihnya itu.
Singkat cerita, mendengar ucapan sufi tadi Sayyidina Umar pun marah, tapi masih bisa mengendalikan diri. Lalu Sayyidina Umar meminta sufi tadi bertanya kepada sayyid (orang terhormat atau tokoh yang diikuti dalam perkataannya), yang dalam hal ini adalah Ubay bin Ka’b. Ia termasuk dari enam sahabat yang dipuji sebagai ahli Quran, yang ucapannya baik untuk diikuti.
Ubay bin Ka’b berkata, “Lalu Kamu masuk surga karena apa? Kamu masuk neraka karena apa? Kamu dapat ridha Allah karena apa? Kamu itu bisa masuk surga karena kenangan di rumah ini (yakni dunia). Karena sujud kamu, karena kebaikan kamu. Itu di mana? Allah mereferensi amal kamu juga di dunia ini. Kamu masuk surga karena sujud kamu di dunia ini. Kamu masuk neraka karena keangkuhan kamu di dunia ini. Hadzihi al-dunya mi’yar (Dunia ini adalah takaran). Semua referensi Tuhan tentang akhirat itu merujuk pada kelakuan kita di dunia. Sehingga kalau kamu masuk surga selama-lamanya, itu juga karena kebaikan kamu di dunia.”
Bagaimanapun, dunia berperan penting pada bagaimana nasib manusia di akhirat kelak. Sebab itu, jangan seenaknya menghina dunia. Semua kritikan atau narasi miring tentang dunia itu ada konteksnya. Ibnu Khaldun, yang kembali ditegaskan oleh Gus Baha, melihat bahwa yang dikritik adalah dunia yang berasal dari kata ‘daniah’, yakni sesuatu yang murahan. Sehingga kalau misalnya memanfaatkan dunia untuk orientasi kebesaran, kebesaran untuk menegakkan kalimat Allah, maka hal itu tidak termasuk dunia. Justru, sesuatu yang bersuasana akhirat tapi motifnya adalah kemalasan, itulah yang benar-benar dunia.
Dengan kata lain, bukan dunia itu sendiri yang tercela dan menghalangi dari kebahagiaan akhirat. Melainkan sikap hidup seseorang yang seolah-olah bernuansa ukhrawi, namun motif di baliknya adalah ketidakpedulian atau kemalasan, itulah yang sebetulnya tercela, itulah definisi dari dunia yang hina, dunia yang menjadi penjara. “Makanya Imam Syafi’i sering mengkritik tasawuf dengan berkata, “ussisat al-tashawwuf ‘ala al-kasali”, ilmu tasawuf itu basisnya karena malas”, sambung Gus Baha.
Selanjutnya Gus Baha mencontohkan, bahwa bersinggungan dengan urusan dunia pun bisa terhormat, mulia, dan justru esensinya ukhrawi. “Contoh paling gampang, misalnya Zaid itu (tinggal) di daerah pinggiran, di mana Islam itu minoritas. Lalu dia ingin kaya raya supaya bisa bikin masjid atau komunitas Islam. Atau dia ingin menjabat jadi lurah, supaya tidak ada pelarangan orang shalat, karena dia yang punya otoritas membuat aturan. Atau kalau mungkin skup lebih besar, dia ingin jadi bupati supaya daerah situ familiar dengan Islam karena pejabatnya Muslim. Itu bukan dunia, karena semua orientasinya untuk mengawal sujud, mengawal kebenaran”, tutur ulama tafsir tersebut.
Sebaliknya, Gus Baha menegaskan, “Tapi kalau kamu di daerah pinggiran kemudian memilih sendirian, semua atas kehendak Allah. Sedikit-sedikit ‘kehendak Allah’. Lalu kamu meninggalkan aktivitas dakwah, itu yang dinamakan dunia. Karena motivasi kamu adalah kemalasan dari mewarnai buminya Allah ini dengan sujud. Ini yang banyak orang sufi salah paham. Makanya orang sufi harus ngaji fikih. Supaya dia tahu, diingatkan orang-orang alim fikih, bahwa menyimpan ilmu itu haram. Tidak memberi kontribusi dalam proses orang sujud adalah haram. Tidak memberi pencerahan pada umatnya Nabi adalah haram. Menikmati keasyikan mengingat Allah sendiri adalah haram.”
Salah paham dengan dunia, dengan menganggapnya serba hina dan tercela adalah bahaya. “Karena tadi, sufi itu akan mengkritik dunia sepedas-pedasnya. Kemudian ujung-ujungnya meninggalkan dunia, lalu happy-happy, asyik dengan Allah sendirian. Dan membiarkan umatnya Nabi ini berserakan ke mana-mana, tidak terlibat sama sekali. Tidak memberi kontribusi sama sekali”, pungkas Gus Baha.Sufi adalah mereka yang peduli. Mereka yang tak enggan terlibat dengan dunia, karena meyakini bahwa yang tercela bukan semata-mata dunia. Namun nafsu menjadikan dunia sebagai topeng untuk tidak peduli pada kebaikan umat manusia, itulah yang tercela. Wallahu a’lam. []