Gelas yang penuh jika terus diisi, apa yang di dalamnya akan tumpah berhamburan. Demikian halnya pikiran dan perasaan yang selalu bertambah dan menumpuk setiap harinya, jika tidak disikapi dengan seksama dapat menyebabkan stres hingga ledakan emosi yang destruktif. Di antara cara untuk mengatasi emosi yang berlebihan adalah dengan menemukan cara sehat untuk mengekspresikan diri, yakni dengan menulis. Menulis seperti menyediakan ruang privat untuk mengenali diri sendiri secara lebih detail, mengidentifikasi hal-hal yang memberatkan pikiran, serta tempat untuk mengakui rasa takut, mengapresiasi perjuangan diri tanpa penghakiman atau hukuman. Dengan membagi beban diri, dunia pun terasa lebih terang.
Dalam upaya menyejahterakan jiwa, tidak perlu menulis tulisan terstruktur dengan berbagai kaidah kepenulisan. Kita cukup menulis apapun yang kita rasakan secara jujur dan kontinu untuk memahami warna-warni perasaan itu secara jelas. Hal ini biasa disebut sebagai expressive writing atau semacam catatan harian yang populer di kalangan remaja sebagai diary. Mungkin dulu kita anggap remeh tulisan semacam diary atau curahan hati pada lembaran kertas. Namun ternyata banyak penelitian menunjukkan bahwa menulis itu menyehatkan mental. Para ahli kejiwaan pun marak menggunakan metode menulis sebagai terapi untuk membantu seseorang yang mengalami stres atau trauma.
James W Pennebaker sebagaimana ditulis oleh psycom.net (Writing as Therapy, 18/11/2020), melakukan penelitian terhadap beberapa mahasiswa yang dibagi menjadi empat kelompok untuk menulis dalam waktu 15 menit selama empat hari berturut-turut. Tiga kelompok di antaranya diminta untuk menulis memori traumatis dalam hidup mereka. Sedangkan satu kelompok terakhir menulis tentang topik yang sepele. Keempat kelompok itu kemudian dipantau selama enam bulan ke depan, dan para peneliti menemukan bahwa mereka yang menulis tentang peristiwa traumatis mendapati lebih sedikit kunjungan ke pusat kesehatan. Dengan kata lain, menulis dapat membantu menurunkan gejala depresi.
Tulisan ekspresif bisa beraneka macam bentuknya. Pada dasarnya kita bebas mencurahkan apapun, entah itu emosi yang menekan, pengalaman traumatis, keseharian-keseharian sederhana, ungkapan rasa syukur, dan lain sebagainya. Kian spesifik kita mengungkapkan sesuatu dalam tulisan, kian lega pula kita merasakan hal tersebut, dan kecemasan pun semakin mereda. Melansir dari sehatq.com (18/2/2020), penelitian Burton dan King menunjukkan bahwa menulis tentang hal-hal positif yang terjadi dalam hidup selama 20 menit tiap harinya dalam masa tiga hari berturut-turut dapat meningkatkan suasana hati yang positif. Menuliskan rasa syukur atas segala hal yang terjadi, yang kini marak dikenal sebagai gratitude journal (jurnal rasa syukur), bisa berpengaruh terhadap peningkatan suasana hati.
Di lain konteks, menulis suatu artikel yang relatif serius pun tak kalah melegakan. Sebab dalam hal ini kita pun berlatih menuangkan perihal fenomena yang mengganjal bahkan kadang menggelisahkan pikiran. Jika menulis diary diawali dengan pembacaan diri, maka menulis artikel didahului dengan membaca kondisi sekitar serta tambahan bacaan lain seperti buku, jurnal, maupun laporan, karena semua tulisan pasti diawali proses membaca. Aktivitas membaca pun ternyata berguna untuk mengurangi stres dan sejumlah gejala depresi, meningkatkan kebahagiaan, mendorong empati, memperkaya pikiran, hati, juga jiwa.
Memendam emosi dapat menyebabkan tekanan psikologis. Masuk akal jika kemudian menulis dapat meningkatkan kesehatan mental, sebab menulis menawarkan cara yang aman, rahasia, serta bebas untuk mengungkapkan segala gejolak emosi yang sebelumnya tertahan. Bisa dikatakan, menulis adalah alternatif utama untuk mencurahkan kegelisahan ketika kita belum atau tidak siap membaginya kepada orang lain.
Selain manfaat mental atau kejiwaan, menulis juga dapat meningkatkan kesejahteraan fisik. Mengutip dari psycom.net (18/11/2020), riset Dr. Pennebaker dan Joshua Smyth PhD. menunjukkan, menuliskan emosi serta rasa stres dapat meningkatkan fungsi imun pada pasien HIV/AIDS, asma, dan radang sendi. Bahkan ada penelitian yang menyatakan bahwa luka biopsi pasien yang melakukan journaling bisa lebih cepat sembuh.
Menulis pada dasarnya adalah upaya mengurai susunan pikiran yang kerap kali tumpang tindih tak beraturan. Terkadang di tengah proses menulis kita menemukan emosi tersembunyi karena satu per satu mendaftar apapun yang kita rasakan dan pikirkan. Dengan sendirinya, saat mengetahui pemicu emosi negatif dalam diri, kita berpotensi untuk menemukan jalan keluar dari masalah tersebut. Menulis mempersilahkan kita untuk mengeksplorasi emosi dalam segala kondisi pasang surut diri. Yang tak kalah penting diingat, menulis bukan hanya mengulang peristiwa, namun mesti berusaha pula untuk memahami, mengkontekstualisasikannya, menemukan makna, serta merasakan emosi terkait agar mendapatkan manfaatnya.
Tulisan akan menjaga perjalanan ingatan seseorang dan memperkaya jiwanya. Tulisan seperti halnya museum yang dapat dikunjungi kapanpun, yang ketika dibaca ulang sering kali ada pelajaran baru yang kita dapat. Bukan karena catatan itu berubah, namun karena kemudian kita membandingkannya dengan pengalaman hidup yang berkembang dari waktu ke waktu. Mari bersama-sama berusaha membagi perasaan, menuliskannya untuk membantu mengenali diri dan menjaganya tetap sejahtera. Berbagi itu melegakan. Wallahu a’lam. []