Diskursus Jilbab di Dunia Pendidikan

KolomDiskursus Jilbab di Dunia Pendidikan

Hiruk-pikuk pembahasan mengenai jilbab kembali ramai. Problematika ini mengenai kewajiban atau pelarangan berjilbab, hijab, atau atribut keagamaan tertentu dalam dunia pendidikan, khususnya terkait jilbab di sekolah negeri. Hingar-bingar ini bermula saat kasus pemaksaan bagi siswi non-Muslim untuk memakai jilbab di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Padang, Sumatera Barat.

Kemudian pemerintah merespons dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri yang terdiri dari Kemendikbud Nadiem Makarim, Kemenag Yaqut Cholil Qoumas, dan Kemendagri Tito Karnavian.

Persoalan itu dianggap bukan masalah yang besar di dunia pendidikan. Bahkan jilbab atau hijab dalam agama Islam, bukan hal yang fundamental dan substansial. Itulah mengapa para ulama besar sejak dulu tidak pernah mempersoalkan dengan serius tentang penggunaan jilbab. Fokus ulama pada persoalan menutup aurat atau tidak, sesuai dengan kesopanan dan kehormatan atau tidak.

Batasan menutup aurat itu pun banyak perbedaan pendapat dari para ulama. Selagi aurat tertutup yang berarti sesuai dengan etika dan norma masyarakat setempat—katakanlah tradisi dan budaya atau lebih spesifik pakaian Nusantara—maka sudah dianggap sesuai dengan syariat Islam (Islami). Persoalan jilbab yang diwajibkan atau ‘disyariatkan’—jilbab atau hijab syar’i, jilbab dan hijab Islami—ini sebetulnya terjadi belakangan ini saja.

Bahkan saya berpendapat bahwa jilbab atau busana keagamaan yang lain merupakan produk budaya yang dihasilkan oleh manusia, dan bukan produk agama. Tidak hanya jilbab, jubah, gamis, peci, dan lainnya juga merupakan budaya atau buatan manusia. Jubah atau gamis saja misalnya, itu berasal dari China melalui bisnis sutera ke berbagai daerah dan wilayah, termasuk ke wilayah Eropa dan Arab.

Perdebatan mengenai jilbab yang berasal dari ajaran Islam, berdasar teks-teks atau dalil hadits dan Qur’ani, saya juga berpendapat banyak dari kalangan mereka yang kurang memahami dan menguasai metodologi keilmuan dalam penafsiran dan pemaknaan. Dampaknya, mereka hanya terjebak pada simbol atau kulitnya saja yang bersifat ornamen, bukan nilai. Selain itu, mereka yang mengatakan bahwa jilbab atau hijab sebagai ajaran Islam, memahami secara “leterlek” sehingga tidak memahami konteks dan wawasan kesejarahan, sosiologis, tradisi atau budaya, dan masyarakat Timur-Tengah saat itu.

Busana Muslim atau Muslimah yang sebenarnya juga merupakan klaim sepihak seperti jilbab, kerudung dan niqab atau burqa. Faktanya, penganut agama lain juga—kaum Yahudi Ortodoks—sebagai “syariat” atau ajaran Taurat Yahudi yang telah lama mengakar semenjak dulu kala dengan sebutan tiferet. Demikian juga sebutan baju takwa atau baju koko, sering dianggap baju Muslim, atau setidaknya menganggap orang yang memakai baju tersebut adalah orang yang sangat Islami. Padahal, baju takwa atau koko itu juga hasil serapan budaya China.

Dalam konteks sejarah juga menunjukkan bahwa budaya jilbab atau hijab berasal dari tradisi Yahudi dan Kristen imperium Byzantium. Mereka menginfiltrasi dunia Arab dengan budaya burqa atau niqab. Karena memang dunia Arab pada saat lahirnya Islam, tengah dikepung imperium-imperium besar dunia saat itu, yakni imperium Byzantium dan Sasaniyah Persia.

Baca Juga  Ngaji Al-Muqaddimah: Sebuah Pengantar Singkat

Karena itu, budaya dan tradisi kedua imperium tersebut, sedikit banyak mempengaruhi dunia Arab. Selain itu, hijab atau jilbab yang berarti penutup ini, diperuntukkan untuk istri-istri Nabi; bukan untuk anak-anaknya, hamba sahaya (budak), atau perempuan Muslimah lainnya. Sementara prinsip Islam sendiri tidak memaksa dalam kaidah al-Quran.

Maka tidak boleh memaksa seorang perempuan memakai jilbab atau tidak, baik dengan cara-cara kekerasan maupun serangan secara mental dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar seperti sebutan kafir. Jika hal itu terjadi, tentu si pemaksa menjadi berdosa, karena menggunakan cara yang tidak Islami sekaligus menggunakan metode yang tidak Qurani (Muhammad Sa’id Al-Asymawi, 2003: 19).

Oleh karenanya, menjadi Muslim dan Muslimah, tidak diukur dari segi burqa atau jilbab, gamis atau kebaya, celana jeans atau sarung, peci putih atau peci hitam, niqab atau kerudung, baju koko atau kemeja dengan jas berdasi, dan seterusnya. Hal-hal simbolik itu hanyalah sebuah upaya propagandis kelompok Islamis untuk menginfiltrasi budaya lokalitas dan komoditas yang bersifat politis maupun bisnis.

Justru yang harus ditanamkan dalam dunia pendidikan kita adalah hal-hal yang inklusif yang bersifat substansi, seperti wawasan pengetahuan, perilaku atau norma-norma kebaikan, kesadaran akan keberagaman, kedamaian, hidup rukun, dan keterbukaan. Sebab sekolah atau pendidikan merupakan miniatur toleransi sekaligus pelajaran penting tentang menghargai antarumat beragama.

Meski saya sebagai orang yang bergelut di dunia pendidikan, secara pribadi berpendapat bahwa seorang pendidik yang mewajibkan atau mengharuskan peserta didik untuk menaati aturan agama yang dianutnya, bukan sebuah tindakan intoleran. Saya juga tidak sependapat dengan beberapa ulama dari Majelis Indonesia (MUI)—kiai Cholil Nafis dan kiai Anwar Abbas—tentang rekomendasi atau klausul negara agar mewajibkan jilbab bagi siswi yang beragama Islam.

Yang fatal adalah kasus yang sudah saya sebutkan di atas, yakni mewajibkan jilbab kepada non-Muslim. Padahal jelas, pakaian—termasuk jilbab—hanya persoalan tradisi, dan bukan masalah kewajiban agama Islam ataupun ritual ibadah. Pendidikan syariat secara substantif hanyalah bagaimana perempuan—termasuk laki-laki—berakhlak atau beretika sesuai dengan norma kehidupan masyarakat yang beragam, termasuk menjaga kehormatan.

Jadi, berjilbab dalam konteks sejarah, maupun pengertian substansi syariat, bukanlah kewajiban Islam. Singkatnya, perempuan Islam yang tidak berjilbab, berarti tidak ada konsekuensi iman-kafir selama tetap pada norma-etik keadaban dan kehormatan.

Karena itulah, diskursus jilbab dalam dunia pendidikan—apalagi dalam hal ini adalah sekolah negeri, dan bukan madrasah dalam naungan Kementerian Agama—bukan suatu persoalan yang mesti diperdebatkan dalam skala besar. Membina persatuan dan kebhinekaan yang lebih penting dalam dunia pendidikan kita saat ini yang harus menjadi perhatian bersama. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.