Mempertimbangkan Ungkapan “Banyak Anak Banyak Rezeki”

KolomMempertimbangkan Ungkapan "Banyak Anak Banyak Rezeki"

Sudah saatnya mempertanyakan sistem kepercayaan masyarakat kita, bahwa banyak anak bermakna banyak rezeki. Pepatah ini telah kuat beredar dari generasi silam yang diteruskan oleh pemikiran angkatan kemudian. Matematika sederhana, di mana kuantitas anak dinilai berbanding lurus dengan banyaknya rezeki ini menginspirasi masyarakat Tanah Air untuk cenderung tidak membatasi reproduksi. Memiliki anak yang disimplifikasi dalam narasi rezeki berupa materi akan mereduksi makna kompleks dari bagaimana merawat dan membesarkan secara semestinya karunia Tuhan.

Konteks sosio-historis yang mendukung adagium itu berkembang adalah kondisi masyarakat Tanah Air terdahulu yang rata-rata tinggal di desa dan bekerja di sektor pertanian ataupun perkebunan. Dengan memiliki banyak anak dianggap semakin banyak pula tenaga untuk membantu pekerjaan di sawah ataupun ladang, semakin banyak yang bisa dituntaskan, makin besar pula pundi rezeki yang bisa dihasilkan untuk menunjung perekonomian keluarga.

Keadaan alam pedesaan yang kaya akan sumber daya membuat masyarakat pun relatif tak khawatir akan kebutuhan pangan anaknya. Skema kebutuhan yang dipahami juga masih sederhana, yakni memberi makan, sandang, dan papan. Di samping itu, berkembang pandangan bahwa anak adalah semacam ‘investasi’. Banyak keturunan artinya banyak ‘cadangan’ untuk merawat orang tua di masa senja.

Belum ada kesadaran memadai terkait orientasi kualitas dalam mendidik anak di masyarakat era lampau. Kondisi serba terbatas dalam hal akses informasi, pendidikan, perkembangan teknologi, angka melek huruf yang rendah, minimnya diseminasi informasi tentang kontrasepsi, membuat masyarakat dulu belum tersentuh pemahaman lebih menyeluruh tentang kebutuhan anak dan bagaimana cara mendidik yang tepat.

Selain konteks sosio-historis, masyarakat juga terikat kuat dengan kerangka keyakinan religius. Masyarakat percaya, tiap anak membawa rezekinya masing-masing yang dijamin Tuhan. Artikulasi makna rezeki memang luas. Namun rezeki di sini cukup kuat kaitannya dengan tatanan ekonomi.  Setali dengan keyakinan akan konsep takdir Tuhan dan bahwa anak adalah anugerah-Nya, masyarakat pun tampil yakin tanpa khawatir untuk memiliki anak dalam jumlah banyak.

Dalam rancangan narasi teologis memang Tuhan tidak mungkin membiarkan makhluk-Nya terlantar. Tapi pertimbangan untuk memiliki anak tak berhenti pada norma abstrak langit. Mendalami maksud dari janji Tuhan tentang rezeki anak, sebagai sesuatu yang lebih dari ranah materi sangatlah penting. Janji pemenuhan rezeki dari Tuhan bagi anak manusia menyangkut pula kewajiban orang tua untuk membekali anak dengan berbagai kemampuan dan keterampilan yang dapat menunjang mereka dalam menjalani dinamika kehidupan. Jangan sampai anak keturunan kita terlantar, ditinggal dalam keadaan lemah, apalagi justru dieksploitasi tenaganya.

Tersebut jelas peringatan Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 9, Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang (kematian) mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.

Allah nampak jelas menitikberatkan pada bagaimana kualitas umat manusia, tidak semata-mata kuantitas. Jangan sampai seorang anak tak bisa apa-apa sepeninggal orang tuanya. Karena pada akhirnya, tiap kita hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Manakala orang tua tidak mempersiapkan secara seksama bekal intelektual, pendidikan moral, pemenuhan hajat material, kebutuhan kesehatan, dan beragam perawatan lain bagi anak, maka perlu untuk khawatir pada bagaimana anak nanti akan membawa dirinya di tengah kehidupan.

Baca Juga  Kesetaraan Adam dan Hawa

Secara faktual kita tak bisa menutup mata dari rentetan persoalan masyarakat terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah, lebih-lebih yang memiliki anak banyak. Banyak keluarga yang tak dapat memenuhi kebutuhan gizi standar anaknya, kesulitan dalam akses kesehatan dan pendidikan, di mana hal-hal itu dapat berujung pada eksploitasi anak itu sendiri dan berbagai dampak eksesif lainnya. Instabilitas ekonomi acap kali memengaruhi kondisi emosi orang tua yang berimbas pada bagaimana pola asuh dan komunikasi dengan anak. Sebab itu, tanpa sadar dalam benak seorang anak tertumpuk luka batin yang bertahan hingga ia dewasa.

Kesemua hal ini menunjuk diri kita untuk bersikap penuh pertimbangan saat memutuskan ingin memiliki anak. Para calon orang tua harus terlebih dahulu mengisi diri dengan wawasan tentang rumah tangga dan rumus-rumus parenting sebagai upaya mempersiapkan diri. Barangkali kita bisa cukup ambil maklum untuk konteks masyarakat zaman dulu yang hidup dalam jejaring keterbatasan dan umumnya tidak teredukasi. Tapi kini berbeda. Pemikiran dan peradaban amat terbuka. Berbagai informasi dapat kita peroleh sepersekian detik dengan sangat mudah. Tidak ada alasan untuk tidak belajar dan menata kesiapan sebelum mengambil keputusan untuk memiliki anak.

Terlepas semua yang terjadi adalah atas izin dan kehendak Yang Maha Kuasa, jangan lupa kita sebagai manusia pun diberi wewenang untuk berusaha. Jika memang sekiranya seseorang belum memiliki kesiapan mental, finansial, intelektual, maka seyogyanya mengambil langkah antisipatif untuk menunda sementara sembari menata ragam perangkat yang mesti disiapkan tadi.

Keadilan Tuhan berlaku bagi tiap manusia, maka benar bahwa tiap anak memiliki jatah rezekinya masing-masing. Namun mesti dielaborasi, banyak anak banyak rezeki, artinya semakin banyak pula pintu rezeki yang mesti diketuk, semakin banyak hal yang mesti diusahakan dan dikuatkan. Logika matematis sederhana ini sebenarnya sekaligus menjaga kesadaran kita untuk mengukur diri sejauh mana kesanggupan merawat anak. Sebab sekali lagi, memiliki keturunan bukan sebatas perkara jumlah, tapi bagaimana merawat anak manusia agar memiliki kecakapan untuk berperan positif di muka bumi. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.