Menggugat Negara Islam melalui Surat Al-Alaq

KhazanahTafsirMenggugat Negara Islam melalui Surat Al-Alaq

Al-‘Alaq, surat yang mengingatkan kita pada wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu riwayat menceritakan kondisi Nabi yang kepayahan. Malaikat Jibril mesti memaksa beliau membaca sebelum akhirnya mengajarkan cara baca wahyu ayat 1-5 dari surah Al-‘Alaq. Setelah menerima wahyu pertama, Nabi bergegas pulang ke rumah. Persuaan yang mendebarkan itu diceritakan kepada istrinya, Siti Khadijah dengan badan yang bergetar hebat.

Lepas wahyu pertama turun, Nabi Muhammad menanti turunnya wahyu selanjutnya. Namun oleh-Nya, wahyu kedua diberhentikan untuk sementara waktu. Tentu saja momen ini membuat Nabi Muhammad bersedih. Beberapa riwayat mengisahkan Nabi Muhammad mencoba terjun dari ketinggian gunung. Karena telah terpilih sebagai kekasih-Nya, setiap kali hendak menunaikan niatnya itu, malaikat datang bertemu dan meyakinkan bahwa beliau adalah sebenar-benarnya utusan-Nya.

Kini, wahyu pertama itu mengejawantah menjadi pelbagai produk; amalan lepas salat, bahan diskusi, objek penelitian, legitimasi wacana, sampai embrio munculnya sebuah teori. Memang dari masing-masing itu bersifat interpretasi parsial. Setiap umat Muslim bisa menggunakan wahyu pertama sesuai dengan butuh perlunya, terlepas dari kritik yang datang di kemudian hari.

Persis seperti yang dilakukan Muhammad Abu al-Qasim Haj Hammad, pemikir Sudan yang menolak gagasan pendirian negara Islam. Di Sudan sendiri, pendirian negara Islam memang memicu munculnya konflik yang destruktif. Banyak fasilitas umum yang rusak dan sekian nyawa manusia melayang. Hal ini dipicu oleh keinginan Presiden Ja’far Nimeiri yang memberlakukan kebijakan politik Arabisasi dan Islamisasi di Sudan Selatan. Kebijakan itu ditolak oleh suku Nuba, suku Ingessana, dan suku Uduk sebagai suku asli di Sudan Selatan.

Wahiduddin dalam artikelnya Konflik Sudan dan Jatuhnya Rezim Presiden Omar Bashir (2020) menggamblangkan sekian perjalanan konflik di Sudan. Berbagai kesepakatan tidak menuai mufakat. Pun setelah referendum berhasil, konflik masih saja terjadi. Perusakan, pemerkosaan, sampai penghilangan nyawa masih menjadi pemandangan yang lazim ditemui di Sudan.

Bila kita tilik akar permasalahannya, konflik itu ditengarai kebijakan pemerintah yang memaksa untuk menerapkan negara Islam. Haj Hammad menjadi salah satu di antara sekian figur yang gencar melakukan penolakan kebijakan tersebut. Dalam kitabnya Manhajiyyah al-Qur’an al-Ma’rifiyyah (2013), ia dengan gamblang menginterpretasikan wahyu pertama itu sebagai pijakan penolakannya.

Bagi Haj Hammad, ayat 1-2 dalam surat al-‘Alaq berkaitan dengan kuasa Allah yang mutlak di semesta. Sekian penciptaan-Nya hingga sejarah menjadi sesuatu yang tercipta merupakan kehendak-Nya yang tidak dapat diprotes, kritik, atau diubah. Pun penciptaan manusia dari segumpal darah sampai menjadi makhluk yang sadar dan berakal. Sementara itu, di ayat 3-5 Haj Hammad memaknainya sebagai potensi yang diberi-miliki oleh manusia. Potensi ini memungkinkan manusia untuk menyingkap segala rahasia-Nya.

Baca Juga  Surat Al-Kautsar: Cara Mensyukuri Nikmat yang Banyak

Kedua interpretasi ini saling berkaitan. Interpretasi pertama sebagai legitimasi kekuasaan-Nya yang menentukan gerak semesta, termasuk di dalamnya ada manusia. Interpretasi kedua memberi ruang bebas manusia untuk mengejawantahkan ragam ekspresi kehambaannya. Di titik ini manusia memerankan menjadi sesuatu yang ‘gaib’. Jadi manusia tidak melulu bersikap fatalis, tetapi juga berupaya menunaikan tanggung jawabnya sebagai wakil Tuhan di bumi. Tentu saja tanggung jawab yang dimaksud tidak ditunaikan serampangan, tetapi mesti berkaca pada tauladan Nabi Muhammad.

Di buku Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia (2018) karya Aksin Wijaya, relasi antara potensi manusia, semesta, dan Tuhan terjadi dengan saling berdialektika. “Tuhan memberikan hukum pada alam yang selama ini dikenal dengan istilah sunnatullah, begitu juga kepada manusia sebagaimana tersimpan di dalam al-Quran. Manusia pun bisa menjadi wakil Tuhan dalam mengatur alam”, tulis Aksin Wijaya.

Dialektika semacam ini pada akhirnya memunculkan tiga fase dalam perjalanan umat-umat-Nya. Fase pertama, al-hakimiyyah al-ilahiyah yang ditandai dengan keberadaan Nabi Adam beserta keluarganya di bumi. Di fase ini Tuhan berkehendak langsung, baik yang berkaitan dengan semesta maupun Nabi Adam itu sendiri.

Fase kedua, al-hakimiyyah al-istikhlaf. Pada fase ini Tuhan mengirim wakil-Nya sebagai penutur yang diberi kemampuan untuk memahamkan ajaran-Nya kepada umat-umat di masa itu. Wakilnya ini tidak serta merta dilepas begitu saja, tetapi Tuhan masih terlibat dengan menundukkan alam beserta isinya.

Fase terakhir, al-hakimiyyah al-basyariyah. Fase terakhir ini sudah berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Tuhan berelasi dengan bentuknya yang gaib melalui al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad kepada umat keseluruhan sampai akhir zaman. Secara tidak langsung, fase ini memungkinkan manusia mengoptimalkan potensinya dengan diberi ruang gerak yang lebih banyak ketimbang generasi terdahulu. Bagi Haj Hammad, kita kini berada di fase terakhir.

Maka dari itu, pendirian negara Islam bukan laku mutlak yang mesti terwujud, sekalipun dengan cara pemaksaan. Pendirian negara Islam dapat dikritik, bahkan tidak ditunaikan jika dampaknya malah merusak. Berangkat dari realitas di negerinya, Sudan, Haj Hammad menolak itu karena dinilai berjarak dengan potensi yang dimiliki manusia, merugikan Tanah Airnya, dan melenyapkan manusia-manusia tak bersalah. Demikian.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga, penulis, dan masyarakat biasa.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.