Menjadi Intelektual Muslim yang Bertanggung Jawab

KhazanahHikmahMenjadi Intelektual Muslim yang Bertanggung Jawab

Intelektual bukan kelompok pengepul gelar atau beragam nominasi akademis. Manusia terpelajar tidak menghimpun wawasan untuk dirinya sendiri. Mereka yang tersangkut di menara gading pengetahuan, terbenam dalam retorika penelitian, dan melepaskan pandang dari masyarakat di sekelilingnya adalah ilmuwan separuh, belum berhak mendapat predikat intelektual utuh. Sebab, kerja-kerja pemikiran tak dibarengi dengan kepekaan pada dorongan budaya dan laju perkembangan umat. Intelektual adalah seorang yang memiliki minat pada pembelajaran, aktivitas berpikir yang disertai kehati-hatian yang disintesiskan dengan kepedulian sosial.

James MacGregor Burns mengalkulasi intelektual sebagai seorang yang mengabdi pada gagasan-gagasan, beragam pengetahuan, serta masyarakat. Para intelektual akan bertahan untuk maksimal berusaha mengejar apa yang dicitakan dengan tetap memerjuangkan nilai-nilai yang dipegang. Ada semangat mencermati, menemukan, merangkai, dan melakukan dialektika dalam diri seorang intelektual. Pilar moral melandasi arah pengamatannya, untuk lebih lanjut merangkai pedoman dan alternatif jalan keluar dari persoalan kemasyarakatan. Melakukan perlawanan pada status quo yang jauh dari nilai-nilai ideal adalah elan vital dalam kerangka juangnya.

Intelektual yang bertanggung jawab artinya menempatkan gagasan yang telah dikelolanya sebagai kekuatan moral untuk memimpin perubahan ke arah yang mencerahkan. Intelektual adalah pemikir yang bergerak menyuntikkan rangsangan pengaruh. Sekalipun mendapati temuan ilmiah yang menjanjikan, akan disudahinya karena didapati mencederai norma etis. Leon Kass, seperti yang dituturkan Jalaluddin Rakhmat dalam Islam Alternatif, memilih mengakhiri penelitian rekayasa genetik karena dinilai akan membahayakan kemanusiaan, lalu bergeser pada pengembangan bioetika.

Al-Ghazali adalah seorang dengan multiperan. Tak hanya agamawan ternama, mistikus besar sepanjang era, tapi ia juga seorang aktor yang mau maju melayangkan protes pada penguasa di masanya. Seseorang menjadi intelektual Muslim bilamana usahanya dihidupi oleh semangat profetik-transformatif, bergerak memantik umat yang pasif, sembari tetap mengajarkan norma-norma syariat Islam.

Tanggung jawab seorang intelektual Muslim dapat diperjelas melalui kerangka etis Islam yang mencakup tiga hal, yakni tugas pokok kaum cendekia, bagaimana prinsip etika serta langkah kreatif pelaksanaannya. Jalaluddin Rakhmat berpendapat, intelektual Muslim dalam al-Quran diistilahkan sebagai ulul-albab, di mana pada mereka tersemat sejumlah karakter penentu yang khas. Istilah itu direpetisi enam belas kali dalam al-Quran.

Salah satu profil paling eksplisit dari seorang ulul-albab, dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 269, bahwa Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat (ulul albab). Pendek kata, kebijaksanaan menjadi karakter kuat seorang intelektual Muslim, buah dari akal sehat yang sungguh-sungguh didayagunakan untuk mencari ilmu.

Dalam surat ar-Ra’d ayat 20-24 terkandung tiga butir utama yang menjadi penjelas peran seorang intelektual Muslim atau ulul-albab. (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian. Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut pada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, bagi mereka adalah akibat (yang baik) di kampung (akhirat). (Yaitu) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya, dan anak cucunya, sedang malaikat masuk kepada mereka dari tiap-tiap pintu. (Lalu mengucapkan): “Salam sejahtera atas kamu karena kesabaranmu.” Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.

Pertama, menyangkut kewajiban. Ada dua tugas intelektual Muslim, yaitu memenuhi janji Allah dan menyambungkan apa yang Dia perintahkan untuk disambungkan. Janji dengan Allah adalah mitsaq, sebuah ikatan agung yang kudus. Mitsaq mengikat seseorang dalam seluruh laju dimensi, baik ilahiah, kemanusiaan, dan diri pribadinya. Memenuhi janji Allah berarti senantiasa menunaikan janji terhadap sesama makhluk yang dikukuhkan dengan asma-Nya, serta berkomitmen pada nilai-nilai Islam.

Baca Juga  Mereka yang Tangannya Dicium Nabi

Syahdan, menyambung apa yang mesti dihubungkan berlaku dalam segala lini. Bukan sekadar melanggengkan kasih sayang persaudaraan (silaturahmi). Intelektual Muslim berkewajiban lebih jauh menjadi pemersatu, seorang katalis perubahan umat, yang menyatukan iman dan amal cinta ilahiah dengan cinta kepada makhluk, menyintesiskan agama dengan ilmu dan ibadah dengan muamalah, menjembatani golongan-golongan Muslim yang berseteru, juga menghidupkan spirit persatuan dalam sebuah ekosistem dengan ragam warna pendapat.

Kedua, terkait akhlak. Intelektual Muslim akan memilih untuk tidak takut kecuali pada Tuhan. Artinya, ia siap menanggung risiko apapun dari laju pengabdiannya. Yang tak kalah mendesak, ia mesti giat, konsisten, tekun, dan tulus hati hanya demi ridha-Nya. Ketiga, tentang metode atau langkah kreatif.

Ayat ar-Ra’du tadi meminta intelektual Muslim untuk konsisten merawat shalatnya, termasuk di dalamnya, menjadikan masjid sebagai basis diseminasi nilai dan ajaran Islam serta jantung aktivisme Muslim yang produktif. Langkah kemudian adalah mengupayakan kemandirian finansial dengan gerakan infak dalam tubuh umat Islam. Serentak dengan itu, seorang intelektual Muslim mesti menolak kejahatan dengan kebaikan. Jika keburukan disambut dengan keburukan serupa atau lebih, akan terbentuk kutukan lingkaran setan yang tak berkesudahan.

Intelektual Muslim adalah mereka yang terlibat secara kritis dengan tujuan, nilai, serta cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Dari pengertian ini, Jalaluddin Rakhmat mengelaborasinya dengan menggandeng penjelasan J.M. Burns, bahwa orang yang hanya menggarap gagasan-gagasan serta data analitis adalah seorang teoritisi; seorang yang bekerja hanya dengan ragam gagasan normatif adalah seorang moralis; sedangkan orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya melalui imajinasi yang teratur adalah seorang intelektual (Islam Alternatif, hlm. 212).

Dengan kata lain, artikulasi peran-peran empiris di tengah masyarakat yang dibangun atas komitmen moral Islam dan analisis sosial adalah bahasa pertanggungjawaban seorang cendekia Muslim. Menjadi akademisi, peneliti, cendekiawan bukanlah urusan perseorangan, melainkan juga perkara sosial. Berapa banyak uang masyarakat diserap untuk membiayai sekian ribu sarjana, menghidupi lembaga-lembaga riset. Ini adalah matematika sederhana yang menunjukkan tanggung jawab sosial seorang kaum cerdik cendekia.

Pertanggungjawaban adalah urusan pasti dalam konsep kausalitas yang merupakan struktur baku bagi perilaku manusia. Keseluruhan sikap kita adalah rangkaian sebab yang mesti dipertanggungjawabkan akibatnya nanti di alam akhirat. Maka, kita tak punya pilihan selain menjadi makhluk yang sadar akan tanggung jawab. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.