Syariah Tidak Identik dengan Hukum Cambuk dan Rajam

KhazanahHikmahSyariah Tidak Identik dengan Hukum Cambuk dan Rajam

Di negeri ini, cita-cita tentang penegakan syariat Islam terus bergema sepanjang sejarah. Tidak sedikit golongan yang menginginkan kembalinya frase “…kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebagai dasar negara yang pernah dirumuskan dalam Piagam Jakarta 1945. Namun, saat mendengar wacana tentang Syariat Islam, apa yang menjadi bayangan sebagian masyarakat adalah pemberlakuan hukum cambuk, potong tangan, dan rajam.

Sebenarnya, hal semacam itu hanyalah salah satu jenis ancaman hukuman bagi pelanggaran pidana dalam sistem peradilan Islam, yang disebut Hudud. Hudud artinya sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah melalui Al-Quran dan Hadis Nabi SAW. Signifikansi Hudud dalam sejarah dunia Islam sebenarnya cukup terbatas dibanding yang ada dalam benak masyarakat Muslim saat ini. Paling banter, sanksi-sanksi cambuk, rajam, dan potong tangan itu diakui sebagai bagian dari varian opsional sanksi atau hukuman. Hukuman kejahatan dan penyimpangan, di dalam sejarah peradaban Islam sendiri lebih banyak berkembang sesuai konteks masyarakat. 

Mempersepsikan syariah sebagai Hudud merupakan salah satu keawaman masyarakat yang terus terpelihara selama ini. Dari sini, terdapat dua bias persepsi yang berkembang. Sebagian Muslim benar-benar mendukung wajibnya penegakkan hukuman had sebagai simbol berjalannya syariat Islam, dan sebaliknya, sebagian lagi phobia terhadap wacana syariat Islam karena mengira syariah identik dengan Hudud yang dianggap kuno, kejam, dan tidak manusiawi.

Kedua kekeliruan persepsi ini telah menyempitkan wawasan syariat Islam dari dua arah, sekaligus membuat syariat Islam menjadi sesuatu yang menakutkan. Hal demikian, menjadi ironi besar dalam imajinasi kolektif umat Islam dan dunia saat ini. Padahal, pemberlakukan jenis hukuman Hudud sangat kecil dalam Syariah, bahkan diasumsikan sebagai simbol tanpa peran nyata dalam panggung hukum Islam.

Hukuman had pidana Islam yang berupa rajam, cambuk, potong tangan, dan hukuman mati, sebenarnya juga merupakan jenis hukuman yang berlaku dalam ruang lingkup sosio-historis masa lampau, dan terdapat dalam berbagai tradisi agama dan peradaban. Meskipun demikian, hudud yang legitimate dalam Islam berlaku sangat amat terbatas sepanjang sejarah Islam, dibanding yang berlaku pada peradaban lainnya.

Para hakim Muslim yang berpegang pada aturan fiqh memanfaatkan konsep non-invasif yang diajarkan Nabi SAW untuk menghindari jatuhnya pidana Hudud. Maka dari itu, menjauhi ambiguitas (syubhat), larangan mencari kesalahan (tajassus), dan menutupi kesalahan (satr) menjadi praktik nyata di balik sedikitnya pemberlakuan hudud dalam peradaban Islam. Para hakim Islam sangat serius mengambil perintah untuk menangkal hudud sebagai kewajiban agama.

Sepanjang sejarah, Hudud sangat jarang terjadi dalam praktik hukum masyarakat Muslim. Dalam sebuah buku berjudul Cruel and Unusual, disebutkan bahwa pada era kolonial Amerika ada lebih dari 50 orang dieksekusi karena berbagai kasus seksual, dalam kurun waktu kurang dari dua abad, antara 1608 dan 1785 (2009: 22). Sedangkan, dalam Women in the Public Eye in Eighteenth-Century Istanbul, hanya ada satu catatan tentang eksekusi rajam yang terjadi karena perzinahan, dalam kurang lebih 500 tahun Kekaisaran Ottoman di Konstantinopel. Sebuah perbandingan yang sangat kontras!

Selain itu, Pada pertengahan abad ke-18, Alexander Russel dalam bukunya Natural History of Aleppo (1794), mengatakan bahwa ia tidak pernah menyaksikan Had potong tangan dalam kasus pencurian, pelanggaran semacam itu dihukum dengan kebijakan ta’zir. Ia juga menulis, hanya ada enam eksekusi publik dalam kurun waktu 20 tahun di Aleppo.

Dalam sejarah, cendekiawan dan hakim terkemuka cenderung lebih memilih menerima pemecatan dari jabatan daripada menegaskan penerapan hukuman hudud. Dalam sebuah makalah berjudul Understanding the Hudud and the Shariah in Islam, Dr. Jonathan Brown mengutip catatan al-Bada’uni tentang kasus seorang elit kerajaan Mamluk Kairo yang tertangkap basah sedang melakukan perzinaan dengan motif perselingkuhan, pada tahun 1513. Pelaku tersebut mengakui perbuatannya, dan telah menuliskan pengakuannya di depan para hakim. Kasus ini cukup terang dan dewan hakim memutuskan pasangan itu menerima rajam.

Namun setelah itu, pasangan zina tersebut ternyata mencabut pengakuan mereka. Seorang ulama terkemuka kemudian menetapkan bahwa hukum Had Zina (rajam) harus dibatalkan. Sultan al-Ghuri menentang keputusan tersebut, baginya sangat tidak masuk akal membatalkan hudud hanya karena pelakunya ngeles dari pengakuan yang telah dibuatnya sendiri, apalagi dua orang tersebut memang tertangkap basah sebelumnya.

Sultan mengumpulkan semua hakim senior dan ahli hukum di istananya, termasuk Syaikh al-Islam Zakariyya al-Ansari dan Burhan al-Din Ibn Abi Syarif. Tidak ada yang bersedia menjatuhkan hukum rajam seperti yang diharapkan sultan. Akhirnya, sultan memecat semua ketua hakim dan cendekiawan dari jabatan hakim dan guru, serta mendeportasi sebagiannya.

Saking terjaganya para ahli hukum dari dimensi ambiguitas (syubhat), mereka bahkan lebih memilih menerima pengakuan yang tidak masuk akal, daripada harus menjatuhkan pidana hudud. Misalnya, pada kasus tuduhan zina pada seorang Muslimah pada sekitar akhir abad ke-16 di India. Wanita itu tiba-tiba diketahui hamil, padahal suaminya telah meninggal. Namun, ia mengklaim bahwa suaminya secara ajaib mengunjunginya kembali setiap Jumat malam.

Kasus tersebut kemudian dilaporkan kepada para ahli hukum dari mazhab Hanafi yang dominan di India saat itu. Para ulama tersebut memberikan jawaban bahwa, secara teknis bisa saja keajaiban seperti itu telah terjadi. Hal demikian dilakukan semata-mata untuk menghindari perkara syubhat dalam kasus pidana Hudud.

Baca Juga  Amalan RasulullaH SAW Memperoleh Keutamaan Nisfu Sya’ban

Di era modern saat ini, kebanyakan negara Muslim tidak menerapkan hukum Hudud. Hanya ada beberapa negara Muslim seperti Arab Saudi, Iran, Nigeria dan Sudan yang mengaku menerapkan hukum pidana Islam sebagai langkah menegakkan Syariat Islam. Namun, sulit untuk menilai apakah penerapan hudud di dunia modern saat ini, merupakan kelestarian dari praktik hukum Islam pra-modern atau tidak.

Misalnya di Arab Saudi, pidana hudud jatuh dengan frekuensi lebih tinggi dibanding yang pernah terjadi dalam masyarakat Muslim secara historis. Sebagaimana yang dikemukakan Frank Vogel dalam Islamic Law and Legal System (2000:246), antara tahun 1981 dan 1992, ada 4 eksekusi dengan rajam di Arab Saudi dan 45 amputasi karena pencurian di Arab Saudi. Dalam satu tahun, yakni 1982 sampai 1983, ada dua eksekusi potong tangan dari 4.925 dakwaan pencurian, sisanya dihukum dengan taʿzir. Dalam sampel tahun yang sama, ada 659 kasus terpidana Hudud kejahatan seksual dalam setahun, tetapi tidak satupun yang dihukum rajam. Meskipun demikian, tetap saja persentase hudud sangat terbatas dibanding penerapan hukuman lainnya. Di dunia modern, justru bukan hudud yang lebih banyak menyebabkan hukum mati, melainkan hukuman politik.

Pada dasarnya, Hudud memang valid dalam teori, sebagai hukum yang telah ditentukan bentuk dan kadarnya oleh Allah Swt. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, dalam menentukan ayat-ayat yang berkategori pidana, ayat-ayat al-Quran tentang ketentuan pidana Islam sangat sedikit.

Dikutip dari Tafsir Tematik Kemenag, Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia (2010:373), Ibnu al-Arabi berpendapat dari keseluruhan ayat hukum yang berjumlah 891 ayat, hanya ada 71 ayat tentang pidana, atau sekitar 7,97% dari total 6234 ayat al-Qur`an. Menurut Ali as-Sayis ada 314 ayat hukum, di antaranya 55 ayat pidana, sekitar 5% dari keseluruhan ayat al-Quran. Sedangkan menurut Ali al-Shabuni, dari 255 ayat hukum yang ada dalam al-Quran, ayat pidanan hanya 41 ayat.

Islam memiliki pemikiran hukum yang sangat luas dan kaya, mencakup seluruh aspek kehidupan. Di dalam kitab komprehensif fikih yang biasanya ditulis sepanjang belasan jilid yang tebal-tebal, menurut Dr. Jonathan Brown, pembahasan mengenai kejahatan dan hukuman hudud hanya kurang dari 2% dari buku induk fikih yang membahas seluruh aspek syariah. Pembahasan inti dari Syariah dalam kitab fikih adalah norma ibadah dalam Islam, seperti seputar ritual shalat, bersuci, puasa, zakat, Haji, ziarah ke Mekah, Qurban, serta menyembelih hewan.

Pembahasan ini mendominasi sekitar 4 dari 12 jilid kitab. Setelah itu, baru masuk pada pembahasan bidang hukum Mu’amalah, seperti pernikahan, perceraian, warisan, sewa, properti, dan jual-beli. Pada akhirnya, hanya ada sedikit pembahasan mengenai hukuman-hukuman pidana Hudud.

Tradisi Islam juga terbiasa mengusahakan agar hukuman Hudud itu tidak sampai terlaksana. Hukuman bukanlah satu-satunya cara untuk mencegah orang melakukan penyimpangan dosa, atau mendisiplinkan orang yang melanggar hukum. Dalam tatanan sosial yang menerapkan Hudud di era terdahulu pun, selama ada celah untuk tidak menerapkan Hudud, maka para ahli hukum akan menggunakan alternatif tersebut.

Para ahli hukum cenderung mengedepankan optimisme tentang harapan pelaku pelanggaran bertobat dan memohon ampunan, sehingga mereka lebih senang menutup aib pelanggaran tersebut. Oleh sebab itu, tidak diperkenankan memata matai orang untuk mencari kesalahan dalam penerapan hudud.

Hal demikian telah diwasiatkan oleh Rasulullah SAW, beliau pernah bersabda, Upayakanlah sedapat mungkin agar tidak menerapkan hudud kepada orang-orang Islam, selagi ada celah jalan keluar, maka bebaskan dia. Kesalahan seorang pemimpin dengan memberikan pengampunan lebih baik daripada kesalahan yang menyebabkan seseorang terkena hukuman. (Riwayat at-Tirmidzi no.1344)

Pidana hudud bukan suatu hal yang menonjol dalam Islam. Pidana Hudud benar-benar tidak mudah untuk dijatuhkan, bahkan saat budaya mabuk, pelacuran, dan homoseksualitas pernah tersebar luas di peradaban Islam pertengahan, para cendekiawan Muslim tidak sampai berbuat lebih dari meluncurkan kritik tajam secara konsisten, atas kebobrokan itu.

Meskipun demikian, bagi tidak sedikit orang, saat ini Hudud harus muncul kembali sebagai simbol komitmen terhadap keaslian Syariat Islam. Banyak gerakan Islamis di seluruh dunia, menganggap gagasan menerapkan kembali Hudud sebagai restorasi kejayaan masa lalu yang otentik. Padahal, hukuman Hudud seperti cambuk, rajam, dan potong tangan itu sendiri sebenarnya jarang dilakukan dalam sosio-historis masyarakat Muslim, dan kurang diminati oleh para hakim dan ulama.

Jadi kesimpulannya, mengidentikkan tegaknya hukum syariat Islam dengan penerapan hudud, baik oleh pihak yang mendukung maupun menolaknya, hanya akan membuat isu syariah yang begitu luas dan lapang, akhirnya muncul dengan nuansa negatif. Nyatanya, Hudud bukan hal yang signifikan dalam syariah. Maka dari itu, penting untuk meningkatkan wawasan masyarakat tentang syariah yang benar-benar otentik, agar tidak terjebak dalam bayangan yang menyeramkan tentan syariat Islam.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.