Apa Pentingnya Mengislamkan Kapitan Pattimura

KolomApa Pentingnya Mengislamkan Kapitan Pattimura

Nama Kapitan Pattimura bergulir di media, diperdebatkan kembali asal-usul keyakinannya. Potongan ceramah Ustadz Adi Hidayat (UAH) yang menyebar beberapa waktu belakangan mengklaim Kapitan Pattimura sebagai Muslim yang bernama asli Ahmad Lussy, alih-alih seorang Kristen dengan nama Thomas Matulessy sebagaimana yang selama ini menjadi mafhum umum. Penting untuk menyigi ulang, apa (ada) signifikansi mengedit akidah pahlawan Maluku yang sosoknya abadi di pecahan uang seribu rupiah itu? Bagi saya, tidak ada sumbangsih produktivitas apapun selain menebalkan identitas keakuan seorang Muslim dengan aksi klaim keyakinan semacam ini. Bahkan, jika pun sang Kapitan memang beragama Islam, lalu apa?

Dalam khotbahnya yang viral tersebut, UAH lebih jauh menerangkan bahwa Pattimura adalah pejuang dengan latar belakang kiai dan pemimpin pesantren yang mengomando para santrinya untuk juga berjuang. Konteks ceramah UAH dimaksudkan untuk menjelaskan, kasus pergeseran nama Ahmad Lussy yang Islam menjadi Thomas Matulessy seorang Kristen merupakan amsal dari buah kerja orientalis yang hendak menghalangi kemajuan umat Islam dengan cara meracuni informasi sejarah kepahlawanan umat Muslim.

Desas-desus keislaman Pattimura sendiri berkembang di kalangan Muslim Ambon. Klaim demikian juga tercantum dalam buku berjudul Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara. Mansur menulis, “Bangkitlah perlawanan bersenjata dipimpin oleh Kapten Pattimura, 1817 M. Di Ambon penyandang nama Pattimura adalah Muslim. Oleh karena itu, salahlah jika dalam penulisan sejarah, Kapten Pattimura disebut seorang penganut Kristen.”

Mengutip pernyataan sejarawan sekaligus dosen Universitas Indonesia, Abdurrakhman, yang dilansir kumparan.com Rabu (6/7/2022), Api Sejarah milik Ahmad Mansur selama ini diperdebatkan dari sisi penggunaan sumber serta perspektif yang digunakan penulis. Dalam buku tersebut, Mansur terkesan mencoba mencitrakan secara lebih islami seorang tokoh yang ia pilih. Dengan kata lain, subyektifitas dalam penulisan Api Sejarah begitu kental. Adapun rekonstruksi sejarah itu diarahkan kuat menuju sikap obyektif. Abdurrakhman menambahkan, satu buku saja tak bisa menjadikan suatu informasi sebagai sejarah yang valid. Perlu sumber pembanding lainnya.

Sementara itu, sumber-sumber lain sampai saat ini menyatakan nama asli dari Kapitan Pattimura adalah Thomas Matulessy. Ia lahir pada 1783 di Haria. Putra kedua dari pasangan Frans Matulessia serta Fransina Silahoi. Dalam laporan J.B.J van Dorren yang ditulis tahun 1857, tercatat bahwa Pattimura merupakan gelar yang disandang Thomas Matulessy yang artinya “patih muda”. I.I. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura menambahkan, bahwa gelar itu disematkan karena ia diangkat menjadi panglima perang pada 1817 dalam Proklamasi Haria.

Melansir dari historia.id Selasa (5/7/2022), Dieter Bartels, profesor antropologi di Yavapia College, Clarkdale, Arizona, AS, dalam Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku mengafirmasi bahwa Pattimura adalah gelar yang bermakna “patih muda”. Demikian halnya M. Sapija membenarkan hal itu melalui Sedjarah Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia. Menurut Dorren, gelar “patih muda” inilah yang selanjutnya membangun asumsi bahwa Pattimura adalah seorang tokoh Muslim.

Dalam keterangan Van Doren (1857) juga disinggung nama Patti Muda Gaga Bavanu, seorang utusan Sultan Ternate yang secara rahasia dikirim untuk menyokong pemberontakan. Ia bersama-sama Matulessy serta Anthony Rhebok memimpin perang awal di Teluk Saparua. Gaga Bavanu disinyalir merupakan salah satu perwakilan yang diperintahkan untuk bertanggung jawab terhadap para pemberontak Muslim yang boleh jadi tak sepenuhnya percaya pada Matulessy, yang seorang Kristen taat.

Baca Juga  BERAGAMA YANG RAMAH LINGKUNGAN

Bartels menilai, Pattimura yang disebut-disebut Islam, besar kemungkinan bukanlah Thomas Matulessy, sebagaimana klaim sejumlah pihak selama ini. Pendek kata, hal ini menjelaskan adanya dua nama yang mirip, yakni Pattimura yang merupakan gelar Thomas Matulessy serta Patti Muda Gaga Bavanu, di mana keduanya terlibat dalam momentum pemberontakan yang sama. Sebab itu, sangat mungkin Pattimura yang disebut-sebut Islam sebetulnya adalah Patti Muda Gaga Bavanu. Terlebih, predikat Pattimura secara berkelanjutan selalu disematkan kepada mereka yang memberontak terhadap kolonialisme Belanda, sehingga menurut Des Alwi klaim keislaman Kapitan Pattimura mungkin terjadi karena hal ini.

Hipotesis di atas kompatibel dengan klaim yang berkembang luas bahwa Pattimura berasal dari kalangan Muslim. Di samping itu juga sesuai dengan perkataan masyarakat kampung Muslim Kulur di Saparua bahwa Pattimura disebut-sebut merupakan orang Ternate.

Uraian sejarah di atas merupakan titik awal untuk kita berpikir lebih cermat. Kecenderungan melacak–untuk tidak menyebut memaksakan–identitas keislaman seorang tokoh semacam ini tidak hanya anasir perilaku fanatik, tapi juga sikap kekanak-kanakan. Masyarakat seolah hanya diajak berpikir untuk mengkalkulasi siapa yang lebih berjasa, umat agama mana yang paling berkontribusi memperjuangkan bangsa ini melawan kekuatan penjajah. Kapan umat Islam akan dewasa jika terus diajak berkubang dalam tonjolan perdebatan keyakinan para tokoh, bukan berpikir lebih substantif mengenai nilai-nilai perjuangan mereka.

Narasi mengislamkan orang-orang populer bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya Napoleon Bonaparte dikabarkan sebagai Muslim karena sikap apresiatifnya terhadap Islam. Kemudian patih Gajah Mada pun tak lolos dari klaim sebagai seorang beragama Islam yang konon bernama asli Gaj Ahmada. Ini lebih terlihat sebagai teori mengotak-atik supaya gathuk (nyambung). Nampak ingin dianggap digdaya dengan menempatkan nama-nama besar sebagai barisan pion. Umat Islam seperti mengalami sindrom islamisasi yang tak sehat. Mengapa apa-apa mesti diislamkan?

Kita hanya akan jadi bahan tertawaan jika tidak kunjung berpikir sengit dalam kawasan yang lebih substantif dan kritis dalam persaingan peradaban, dalam upaya membangun kualitas masyarakat. Muslim akan dikenang sebagai umat kolot, eksklusif, yang terjebak pada pesona dan keunggulan peradaban silam Islam serta para kampiunnya selama hanya berfokus pada hal-hal remeh, menyalahkan ‘musuh’, tanpa mau berpikir strategis dan melakukan aksi-aksi mencerahkan.

Penyingkapan realitas sejarah sendiri adalah suatu proses berkala. Jika toh suatu hari Pattimura terbukti sahih sebagai Muslim, lalu apa selanjutnya? Gumaman rasa bangga? Yang lebih penting dari merepetisi klaim keislaman Pattimura, adalah mengangkat patriotisme dan daya juang yang bisa dinikmati semua jenis identitas primordial. Negeri ini merdeka di atas renda perjuangan lintas kalangan dan keyakinan. “Merebut” figur Pattimura dari sisi saudara Kristen kita hanya akan merusak jalinan harmoni antarumat beragama. Tidak menguntungkan Islam, justru sebaliknya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.