Meninjau Makna Hadis Surga di Telapak Kaki Ibu

KhazanahHadisMeninjau Makna Hadis Surga di Telapak Kaki Ibu

Ada banyak kajian hadis yang menyebutkan jika redaksi surga di telapak kaki memilik riwayat yang berkedudukan daif atau palsu. Kepopuleran hadis ini perlu ditinjau, karena tidak semua hadis yang popular itu berbanding lurus dengan kebenaran dalam memahami hadis tersebut. Lantas bagaimana menyikapi hadis yang tekadung populer, tetapi kualitasnya tidak shahih?

Di antara kitab yang menjadi sumber rujukan penyebutan hadis Al-Jannatu tahta aqdaamil ummahaat menukil dari Mustafa Ali Ya’qub dalam karyanya Metode Kritik Hadis (2000), yaitu Musnad As-Shihab, Al-Jami al-Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami, al-Kuna wa al-Asma, Tabaqat al-Muhaddisin, al-Fawaid dan al-Birr wa ash-Shilah.

Penulis mengutip dari satu kitab hadis dengan satu rangkaian perawi dari Musnad Shihab sebagai berikut: Dikabarkan dari Abu Aly al-Hasan ibn Khalaf al-Wasiti, dari Umar ibn Ahmad ibn Syahin, dari Abd al-Wahid ibn Al-Muhtadi billah ibn al-Wasiqi, dari Ali ibn Ibrahim al-Wasiti dari Mansur ibn Muhajir dari Abi an-Nadri al-Abbar dari Anas ibn Malik berkata: Rasulullah bersabda: Surga berada di bawah telapak kaki ibu (HR. Anas ibn Malik)

Cara untuk meninjau hadis ini yaitu dengan menilai kualitas dari perawinya. Beberapa kitab menyoalkan perawi hadis sehingga berimplikasi pada strata sanadnya. Sebagaimana yang dinyatakan al-Khatib al-Baghdadi yang harus diakui di antara perawi, seperti  Abu An-Nazr dan Mansur ibn al-Muhajir mendaifkan hadis ini sebab tidak diketahui kualitas periwayatannya dan keduanya perawi tidak diketahui alias hanya menempelkan nama. Oleh sebab itu, dalam Maqashid al-Hasanah hadinya munkar (wa al-hadis munkar).

Sejumlah sanad yang terdapat di setiap hadis juga dinilai daif dan bahkan sangat daif. Jadi dapat disimpulkan, bahwa kualitas sanadnya lemah atau daif dengan status marfu, yaitu dengan strata kehujjahan yang tinggi dan ia bisa dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah.

Kendati hadis tersebut tidak mencapai shahih dan tak sedikit yang menyebutkannya sebagai daif atau daif syadid, akan tetapi esensinya tidak bertentangan dengan hadis-hadis shahih yang menekankan urgensi berbakti terhadap kedua orang tua. Rasulullah juga pernah bersabda yang mengatakan dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya. Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhak aku perlakukan dengan baik? Rasul menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Ibumu. Siapa lagi? Ibumu. Siapa lagi? Ayahmu (HR. Bukhari).

Baca Juga  Gus Baha: Jangan Remehkan Orang Suka Shalawat tapi Tak Shalat

Maka dari itu, perlu dipahami bahwa narasi “surga di telapak kaki ibu” merupakan kalimat yang tidak bertentangan dengan makna berbakti kepada orang tua sebagaimana kesinambungan kedua hadis di atas. Boleh jadi kita menilai daif, tetapi untuk substansi dapat diarahkan kepada urgensi berbakti kepada orang tua dalam Islam dapat mendapat surga.

Lebih lanjut, jika dilihat dari makna majaz, karena tidak mungkin diartikan secara konkret surga ada di telapak kaki ibu, maka ada interpretasi lain maksudnya yakni, rendah hati. Seorang anak harus rendah hati kepada orang tua yang telah mengajarkan bicara, berjalan, dan lainnya. Tidak merasa pintar dan lebih unggul setelah ia meraih kesuksesan yang didapat. Telapak kaki di sini menunjukkan posisi bagaimana selayaknya anak berada di posisi rendah atas orang tuanya, tetapi maksudnya adalah kerendahan hati.

Ini sebuah nasihat akhlak. Syahdan, rendah hati dan rendah diri itu tidak sama. Rendah hati diperlukan agar manusia tidak menjadi angkuh di depan manusia lainnya, meski begitu kualitas yang dimilikinya tidak berkurang, justru menunjukkan kemuliaan akhlaknya. Sebaliknya, rendah diri menunjukkan ketidakpiawaiannya menjaga kehormatan dan alasan yang digunakan tidak logis.

Terlepas dari kedudukan daif yang terdapat pada hadis, tetapi ada banyak hikmah yang bisa diambil dalam maknanya. Tidak diperkenankan berdebat atau berselisih kepada ibu dengan alasan yang tidak dibenarkan syara’. Firman Allah SWT di sini menjadi taukid, bahwa berbakti pada orang tua itu balasannya setimpal balasannya surga, karena ridha Allah terletak pada keridhaan orang tua.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS. Al-Isra: 23)

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.