Teladan Keberagamaan Masyarakat Awam

KhazanahHikmahTeladan Keberagamaan Masyarakat Awam

Orang-orang awam merupakan komunitas organik dalam beragama. Dalam hal ini, umumnya masyarakat kampung yang dalam mengkaji agama tak dibarengi penalaran akademis yang canggih atau penuh bahasan dalil yang njelimet, justru kerap kali mampu membahasakan ajaran Islam secara artikulatif dan bersahaja. Penghayatan mereka pada agama tidak ditekankan pada acuan normatif yang kaku, melainkan agama ditempatkan dalam kerangka keseimbangan hidup bersama dengan kebutuhan elementer mereka sebagai manusia, baik dalam skala individu maupun sosial.

Yang banyak kita saksikan sekarang adalah agama dominan dipandang secara vertikal, menganggap ibadah adalah untuk Tuhan, yang selanjutnya melahirkan barisan mandor agama yang merasa paling berhak atas tafsir terhadap agama. Keberagamaan yang manusiawi menjadi kian dirindukan. Suatu keislaman yang biasa saja, yang sering diampu orang awam, yang memberi peluang otonomi kepada tiap pribadi untuk memahami, menginterpretasikan, dan mengamalkan ajaran agamanya.

Keislaman yang manusiawi bertumpu pada keyakinan atas sifat Allah yang mampu berdiri sendiri (qiyamuhu binafsihi). Dengan kata lain, Tuhan tak mungkin menaruh kepentingan dalam ibadah manusia, maka orientasi keberagamaan kita sudah semestinya mempertimbangkan kepentingan manusia itu sendiri. Jika agama dianggap dan diamalkan sebagai instrumen ‘pemenuh kepentingan Tuhan’, bukan sebagai penyelamat manusia, maka tak berlebihan jika menyebut itu sebagai pelecehan atas kuasa dan kebesaran Tuhan.

Keberagamaan masyarakat kampung yang relatif sederhana, menjadi pengalaman puitis yang meneduhkan. Keberagamaan mereka menyinergikan antara perilaku vertikal dan horizontal, yang besar kemungkinan hal itu tak mereka sadari. Itulah mengapa penulis menyebutnya organik. Agama adalah perkara keyakinan yang otonom seorang individu kepada Tuhan. Orang-orang awam, memaknai agama sebagai urusan hati yang ketika hati telah terikat kepercayaan, maka agama cukup menjadi penghayatan personal seseorang.

Sebab itu, penulis tak melihat–setidaknya di desa penulis–ada orang yang dikucilkan atau dihakimi karena jarang shalat Jumat dan sering absen dari agenda sosial seperti kerja bakti, bahkan karena ia disinyalir memiliki kepercayaan menyimpang. Yang penulis tangkap, masyarakat sekitar tempat tinggal penulis justru menanggapinya dengan narasi humor, mengingatkannya dengan kemasan canda pula yang dilakukan oleh pihak yang otoritatif dan dekat, bukan tampil dengan sikap merendahkan serta menganggap iman orang tersebut dangkal.

Orang-orang biasa itu memandang dan memperlakukan agama sebagai “sarana” atau “cara” untuk meraih ketenteraman hati, dan di saat yang sama disokong kecukupan materi untuk dapat bertahan hidup. Karena agama bukan tujuan, maka wajah keberagamaannya pun bermacam-macam.

Agama pada prinsipnya diproyeksikan untuk keseimbangan hidup manusia. Orang-orang dusun galibnya tak terbatas memahami agama pada urusan simbolis, normatif, dan ritual seperti puasa, shalat, jilbab semata. Namun justru melangkah lebih substantif dan realistis dalam beragama, yakni agama ditempatkan sebagai keimanan pada Tuhan yang menjadi sumber inspirasi yang kemudian mendorong keimanan transendentalnya menjadi aktualisasi amal baik. Mereka memandang agama sama pentingnya dengan beragam kebutuhan eksistensial umat manusia, seperti halnya makan, bermasyarakat, bekerja, hubungan biologis, dan sebagainya.

Baca Juga  Gus Muwafiq: Menolak Bendera HTI Bukan Menolak Kalimat Tauhid

Pemandangan sosial-keberagamaan di Dusun Gandu, Kebumen, Jawa Tengah menarik untuk diketengahkan. Tradisi keagamaan di dusun itu terbilang cukup kuat. Mayoritas warganya adalah nahdliyyin. Kultur keagamaannya pun berkisar pada tradisi yasinan tiap malam Jumat, puji-pujian di masjid atau langgar selepas azan, pembacaan rutin barzanji, peringatan maulid, isra’ mi’raj dan semisalnya. Namun demikian, menurut Umaruddin Masdar dalam bukunya Agama Orang Biasa, ada kecenderungan ‘liberal’ di tengah masyarakat dusun yang teguh pada tradisi keagamaan itu, di antaranya ialah menunda shalat atau memilih meng-qadha’-nya ketika musim panen tiba.

Pada musim itu adalah masanya para buruh tani setempat bekerja keras memanen padi sebanyak-banyaknya, entah laki-laki ataupun perempuan. Mereka biasanya berangkat selepas fajar dan pulang saat sore hari bahkan hingga maghrib tiba. Saat zuhur para buruh tani itu biasanya pulang untuk istirahat lalu kembali ke sawah usai shalat zuhur. Apabila pekerjaan mereka belum selesai saat waktu ashar, umumnya mereka meninggalkan shalat ashar sebab faktor kondisi, seperti harus menimbang hasil panen apalagi tubuh mereka pun kotor, sehingga shalat ashar terpaksa harus di-qadha’. Hal demikian dianggap biasa, dan tak ada pula warga yang mencelanya.

Mungkin sebagian orang menilai kebiasaan itu keliru. Namun, demikianlah orang dusun menghayati dan mengamalkan agama sebagai perihal yang tak terlepaskan dari beragam aspek kehidupan sehari-hari. Orang awam itu melihat agama secara realistis. Secara naluriah nampaknya mereka bisa memahami agama ada untuk kemaslahatan manusia. Bukan berarti permisif dalam melaksanakan aturan, tapi tepat menangkap adanya sinyal rukhshah untuk kondisi tertentu dalam bingkai maslahat manusia.

Jika diilustrasikan melalui firman Allah, mereka adalah pengamal dari ayat 77 dari surat al-Qashash yang menyeru, Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Keberagamaan mereka bukan sikap beragama yang lupa untuk ambil bagian dalam urusan dunia.

Sepenggal ilustrasi keberagamaan orang kampung itu mengajarkan keteladanan dalam bagaimana mempartisi antara agama sebagai ruang keyakinan privat dengan Tuhan serta agama sebagai aktualisasi partisipasi sosial dalam bentuk aktivitas-aktivitas yang berguna bagi kehidupan bersama. Pada gilirannya, keberagamaan semacam ini menjauhkan dari klaim kebenaran tunggal dan memungkinkan komunikasi damai dengan mereka yang berbeda ekspresi keagamaan bahkan yang berlainan keyakinan.

Sebuah penghayatan keimanan yang disertai pemahaman akan kearifan sosial, akan mengarahkan seseorang untuk beredar di sekitar orbit kemaslahatan umum, sikap toleran, terbuka, penuh prasangka baik, dan kehendak berupaya terbaik untuk kemanusiaan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.