Pertanyaan yang muncul dalam tulisan “Bagian 4” ialah: Bagaimana relasi “Muslim-Kristen” terjalin di awal pertemuan mereka? Sebelum memunculkan pertanyaan itu, saya menyinggung sepintas metode “koroborasi” dalam mengotentifikasi narasi historis dengan melihat persinggungan (intersection) antara sumber-sumber Islam dan di luar Islam (extra Islamic sources).
Persis dalam menjawab pertanyaan tersebut titik persinggungan dapat dilihat lebih jelas. Sebelum menyebut beberapa contoh, observasi awal perlu ditegaskan. Pertama, kedua sumber (Muslim dan non-Muslim) sangat sedikit menarasikan peristiwa yang sama secara spesifik. “Sangat sedikit” bukan berarti tidak ada.
Namun demikian, dan ini observasi kedua, dari beberapa narasi atas kasus yang berbeda terdapat pertalian erat bahwa kedua sumber tersebut mengafirmasi suatu bentuk relasi yang terbentuk antara kelompok penakluk dan penduduk daerah taklukan, termasuk keterlibatan kalangan yang disebut terakhir.
Salah satu alasan kenapa orang-orang Kristen tertarik bergabung dalam pasukan penakluk (Muslim) ialah karena mendapatkan insentif, terutama secara finansial. Dalam kitab “Futuh al-Buldan,” Baladzuri menceritakan kebijakan Umar bin Khattab yang memberikan “keringanan” atau “upah” cukup signifikan bagi orang-orang Kristen yang terlibat dalam peperangan bersama kaum Muslim.
Misalnya, mereka yang berpartisipasi tidak diwajibkan membayar jizyah (semacam pajak bagi non-Muslim yang hidup dalam wilayah Islam). Belakangan, dalam diskursus fikih, kebijakan Umar ini dijadikan argumen bahwa pembayaran jizyah merupakan bentuk perlindungan bagi non-Muslim yang dibebaskan dari tugas militer (military service).
Baladzuri menceritakan kebijakan Umar yang lain, yakni memberi imbalan atas partisipasi kalangan Kristen. Yang menarik ialah cara Umar menetapkan besaran imbalan tersebut, yang memang dimaksudkan supaya menjadi daya-tarik.
Dicatat oleh Baladzuri, Umar memerintahkan supaya penduduk lokal (Kristen) yang berpartisipasi diberi imbalan dua kali lipat. Misalnya, bukan satu domba, tapi dua; atau bukan satu porsi, tapi dua.
Sumber-sumber non-Muslim juga menyebutkan praktik semacam ini, walaupun tidak secara khusus mengaitkan dengan kebijakan Umar. Dalam kronikelnya, Theophanes menyebutkan bahwa Muhammad bin Marwan mengirimkan setumpuk emas kepada komandan Kristen setelah beberapa kelompok Kristen bergabung dengan pasukannya.
Walaupun kedua sumber berbicara tentang dua peristiwa berbeda, tapi keduanya bersinggungan dalam satu hal: Orang-orang Kristen yang berpartisipasi diberikan semacam insentif tertentu. Bisa juga ditarik kesimpulan, bahwa orang-orang Kristen berpartisipasi secara suka rela.
Persinggungan kedua sumber juga terlihat bagaimana relasi Muslim dan Kristen terjalin melalui perjanjian formal yang mereka sepakati. Dalam perjanjian itu ditegaskan secara eksplisit tentang kewajiban masing-masing, termasuk keterlibatan Kristen membantu perang jika dibutuhkan.
Baladzuri menyebut perjanjian dengan beberapa kelompok Kristen Jarajimah dan Anbat di Suriah, yang disepakati tahun 89 H atau 708 M, yakni pada pemerintahan al-Walid, khalifah ke-6 dari dinasti Umayyah. Dalam perjanjian tersebut juga disebutkan bahwa orang-orang Kristen akan mendapatkan harta rampasan.
Sumber-sumber Kristen juga menyebut adanya perjanjian semacam ini. Misalnya, perjanjian dengan orang-orang Kristen Armenia dicatat secara detail dalam beberapa sumber Kristen (seperti didiskusikan oleh Robert Hoyland dalam “Seeing Islam as Others Saw It.”
Perlu ditambahkan, relasi Muslim-Kristen tidak hanya terjalin secara suka-rela. Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok Kristen dimigrasikan (saya kira secara paksa) ke lokasi tertentu dengan tujuan supaya mudah dilibatkan dalam peperangan.
Futuh al-Buldan-nya Baladzuri mencatat beberapa kasus pemindahan kelompok Kristen ke wilayah tertentu, yang juga terkonfirmasi dalam sumber-sumber Kristen. Kebijakan ini berlangsung sejak pemerintahan Mu’awiyah ( Mu’awiyah dikenal sebagai pemimpin “Muslim” pertama yang mempekerjakan banyak non-Muslim, terutama Kristen, dalam pemerintahannya).
Persinggungan sumber-sumber Muslim dan non-Muslim ini mendorong Robert Hoyland mengubah pandangannya tentang bagaimana kemunculan sebaiknya dipotret. Dalam buku “Seeing Islam as Others Saw It,” yang pertama terbit tahun 1997, Hoyland sepenuhnya menggunakan sumber-sumber non-Muslim untuk melihat reaksi mereka terhadap kemunculan Islam. Dalam artikelnya yang terbit tahun 2017, dia mengatakan seyogyanya kemunculan Islam tidak hanya dipotret dari sumber-sumber non-Muslim.
Berikut saya kutipkan pernyataan Hoyland, yang saya kutip dan diskusikan dalam buku “Rekonstruksi Islam Historis” (hal. 276):
“I have become convinced in recent years that this approach [relying solely on non-Muslim sources] is not really valid, since the two bodies of material are much more intertwined than had previously been thought, and so I changed track.”
Perubahan sudut-pandang ini tidak berarti “Seeing Islam as Others Saw It” itu salah. Buku ini merupakan karya yang sangat kaya, dan Hoyland sendiri mengakui keterbatasan sumber-sumber non-Muslim untuk mendeskripkasikan narasi kemunculan Islam. Perubahan yang diakui Hoyland lebih bersifat metodologis. Yakni, sumber-sumber Muslim dan non-Muslim sama-sama penting untuk digunakan supaya kita mendapatkan potret yang lebih utuh.
Pendapat ini yang juga saya anut, seperti dapat dideteksi dalam buku “Rekonstruksi Islam Historis” itu. Hemat saya, kedua sumber tersebut mencoba memotret fenomena yang sama (yakni, kemunculan Islam) dari sudut pandang berbeda. Yang satu, sudut pandang penakluk/pemenang, dan yang satu lagi dari sudut pandang kelompok yang ditaklukan.
Kita memang terbiasa hanya mendengar sudut pandang penakluk, dan merasa sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, menggunakan sumber non-Muslim berarti memberikan ruang bagi kelompok yang ditaklukan untuk juga bersuara. Kita perlu sadar, bahwa sejarah merupakan interpretasi para sejarawan.
Semakin banyak sudut pandang dan interpretasi yang kita ketahui, semakin utuh gambaran suatu fenomena historis yang dapat kita peroleh. Jika ini kita sadari, maka “ngotot” bukan opsi bagi pelajar yang ingin mengetahui kebenaran historis.