Tasawuf sebagai Kontra Fundamentalisme Keagamaan

KhazanahTasawuf sebagai Kontra Fundamentalisme Keagamaan

Fundamentalisme keagamaan menjadi gejala yang tengah bertumbuh subur di era kini. Merebaknya kelompok yang relatif keras dan rigid ini tak lepas efek ekses-ekses kehidupan sekuler. Para penganut agama itu kelewat kelelahan dan mengalami disorientasi, yang sayangnya kemudian terseret masuk ke kantong-kantong pemahaman bersifat fundamentalistik, kaku, dan mengklaim diri sebagai sumber tunggal kebenaran. Tasawuf sebagai kontra di sini mesti dipahami dalam maknanya yang positif, bukan perlawanan konfrontatif saling pukul, melainkan penawar bagi perilaku fundamentalistik yang berkelindan dengan narasi radikal, suka menyalahkan yang berbeda, juga eksklusif.

Menguatnya semangat keberagamaan masyarakat modern merupakan respons lanjutan dari kemajuan sains, teknologi, juga cara hidup sekuler yang ternyata tak sememuaskan yang dijanjikan. Ada lubang besar yang menganga di jiwa manusia modern meskipun segala pranata serba canggih dan mudah. Menurut Gilles Kepel sebagaimana dikutip oleh Haidar Bagir dalam Islam Tuhan Islam Manusia, sekularisme telah menimbulkan perasaan kecewa yang memicu fragmentasi masyarakat, pudarnya kesetiaan pada nilai-nilai, melemahnya kohesi sosial, perilaku permisif pada hal-hal yang semula dianggap menyimpang, kehampaan konsumerisme dan materialisme, melemahnya institusi keluarga, serta dampak-dampak lainnya.

Maka dari itu, orang-orang berpencar mencari kembali makna, ruh yang selama ini hilang. Huntington menyebutnya sebagai pencarian “sumber-sumber baru identitas, bentuk-bentuk baru masyarakat yang stabil, serta perangkat-perangkat moral baru untuk mengembalikan makna dan tujuan hidup mereka”. Geliat spiritualitas semacam ini telah jauh-jauh hari diprediksi oleh William James, seorang psikolog dan filsuf AS. Ia menyatakan dalam karyanya The Varieties of Religious Experience yang juga dikutip Haidar Bagir, bahwa kecenderungan spiritualitas manusia modern akan makin menguat. Dan terbukti benar adanya.

Fenomena keinginan kembali ini menunjukkan kepada kita bahwa dorongan naluriah manusia adalah menuju yang-Agung, yang-Sakral untuk menemukan ketenteraman diri dalam dunia yang selaras. Dengan kata lain, fenomena tersebut akan terus berkembang dalam skala yang masif sebagai konsekuensi dari insting alami anak manusia. Potensi positif ini mesti disambut dengan persiapan dan kesiapan. Artinya, berkaca dari peristiwa fundamentalisme agama saat ini, selanjutnya mesti diantisipasi agar jangan sampai rombongan besar yang haus spiritualitas di hari esok terperosok pada ranjau-ranjau paham keras, radikal, fundamentalistik yang menawarkan produk-produk instan.

Baca Juga  Cara Gus Dur Menyiasati Protokol Istana

Dalam hal ini, tasawuf mesti siap bergerak. Menjadi dermaga yang menyambut musafir spiritual itu. Nafas tasawuf Islam adalah spiritualitas dan cinta yang telah mapan sejak mula. Melihat anatomi tasawuf yang menawarkan jalan ketenangan batin juga psikologis melalui amalan yang mendekatkan diri dengan Tuhan, berbagai teknik batin dan konsep untuk meraih kebahagiaan, dalam konteks inilah tasawuf dapat menjadi penantang dari kecenderungan fundamentalistik seseorang dalam beragama.

Bukan sikap anti-dunia atau eskapisme. Tasawuf berorientasi pada pengembangan moralitas luhur, akhlak karimah yang bertumpu pada spiritualitas yang terus ditempa. Mistisisme Islam memuat ajaran utama tentang cinta, kedamaian, solidaritas, bukan spirit permusuhan, kebencian, atau kehendak memusnahkan. Perangkat esensial tasawuf ini penting untuk dipromosikan sebagai jalur spiritualitas yang teduh, tidak tegang, dan merangkul. Para saleh militan itu diharapkan bisa merapatkan diri pada jejaring tasawuf, sedangkan kelompok yang masih mencari semoga bisa segera menemukan papan nama mistisisme Islam.

Bagaimanapun, di titik dalam manusia, kita masih yakini, hamba-hamba mulia Tuhan itu membenci konflik dan rindu kedamaian. Kerangka mistisisme dengan demikian akan berkontribusi mengembalikan fungsi agama sebagai institusi penyokong terbentuknya peradaban manusia yang sehat, damai, dan mencerahkan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.