Spirit Liberasi dalam Kurban

KhazanahHikmahSpirit Liberasi dalam Kurban

Ibrahim dan Ismail menorehkan kisah abadi pengorbanan. Bukan hanya Ismail, Ibrahim juga berkorban. Keduanya memperlihatkan kepada kita teatrikal seteru antara ego, idealisme dengan kepasrahan total yang berakhir dengan kemerdekaan. Bapak dan anak itu berhasil merampungkan jihad akbar, perang melawan dirinya sendiri. Wahyu Allah agar Nabi Ismail disembelih adalah titik uji tertinggi untuk membuktikan kesetiaan tauhid Nabi Ibrahim pada Tuhannya.

Siapa yang sanggup membayangkan, bagaimana perasaan seorang bapak yang diperintah Tuhannya menyembelih anak yang kehadirannya sangat lama didamba. Kita tak akan punya cara untuk terlibat dalam rasa hati sang bapak tersebut. Ismail begitu istimewa. Kehadirannya tak diduga-duga, ia lahir saat usia Ibrahim telah mencapai seratus tahun lebih. Satu abad hidup Ibrahim selama ini adalah tentang perjuangan menghadapi penyembah berhala, konfrontasi melawan kejahilan kaumnya, penyeruan tauhid, tentang keterluntaan, hingga penindasan penguasa.

Ia dan istrinya, Sarah, pun tak kunjung dikarunia anak yang selama ini dinanti-nanti. Dalam satu abad masa hidupnya itu, Ibrahim akrab dengan derita, kian berumur dan kesepian. Namun ia tangguh dan berhasil menunaikan tugas kenabian di tengah sistem sosial yang zalim. Hingga pada akhirnya, Ibrahim mendapat buah hati dari Hajar, perempuan hamba sahaya yang dinikahkan dengannya. Allah memberinya karunia atas masa perjuangan dan derita yang ia rasakan.

Ismail tumbuh dalam energi cinta yang amat besar dari ayahnya. Dengan perawatan dan kasih sayang terbaik dari seorang bapak tua dengan kesetiaan menunggu selama ini. Ismail adalah mata hati Ibrahim, imbalan bagi kehidupan yang sarat perjuangan. Betapa bapak monoteisme itu menikmati hari-harinya bersama sang putra. Tak ada yang tak rela dilakukan Ibrahim demi anak terkasihnya.

Di saat seperti itu, saat puncak bahagia merawat buah cinta, wahyu Allah turun agar Ismail disembelih. Ia diperintah Tuhan untuk memotong leher putranya dengan tangannya sendiri. Ibrahim terguncang, limbung, ia hendak roboh. Seluruh diri dan jiwanya remuk berkeping-keping. Setan tak tinggal diam. Ibrahim berkali-kali digodanya untuk membangkang titah Tuhan. Hamba Allah yang amat setia, sang pemberontak terkemuka itu pun mulai goyah.

Ibrahim dikepung pilihan yang terlalu berat untuk ia tanggung. Ia bertarung dengan dirinya sendiri, dengan keinginan dan ego manusiawi. Ibrahim dihadapkan pada konflik batin untuk mengambil pilihan antara Ismail dan Allah. Deret perbandingan berjajar dalam benaknya. Siapa yang akan dipilih. Allah atau (ego) diri sendiri, kemerdekaan atau keterikatan, nilai atau kepentingan, kedamaian dan cinta atau keyakinan dan perjuangan, meladeni perasaan atau melayani keimanan, menjadi bapak atau seorang nabi, dan terakhir Allah atau Ismailmu? Ibrahim hanya berhak memilih satu.

Baca Juga  Akhlak Rasulullah dalam Bertetangga

Ternyata cobaan untuk Nabi Ibrahim tak cukup dengan masa seabad pengabdiannya. Ketaatannya pada Allah, penerimaannya pada hidup yang sulit, perjuangan melawan sistem yang zalim, usaha membimbing umatnya menuju tauhid, pemberantasan berhala, dan segala capaian unggul serta tanggung jawab yang tuntas dipikulnya dengan mengagumkan, belum cukup menjadi lembar ujian Ibrahim.

Ibrahim belum sepenuhnya bebas dari kehendak selain Allah. Adalah Ismail titik terlemahnya. Allah kemudian menguji kesetiaan tauhidnya dengan mempertaruhkan nyawa Ismail di bawah mata pisau. Allah lebih tahu dari siapapun. Ibrahim tetaplah manusia. Masih ada ruang dalam dirinya untuk menatap nikmat duniawi. Masih ada sisi ketaatan yang belum seutuhnya dipersembahkan untuk Tuhan.

Dari pengalaman tersebut, kita diingatkan untuk tidak terkelabui kemenangan palsu. Diingatkan bahwa manusia tidak kebal bisikan kekuatan tak nampak yang mengelilinginya. Diperingatkan agar menjauhi perbudakan materi. Uji ketaatan itu harus dilakukan dengan kita berperan sebagai Ibrahim. Menempati maqam Ibrahim, mempersembahkan Ismail-Ismail kita pada Tuhan. Boleh jadi Ismail itu adalah jabatan, kekayaan, diri kita sendiri, keluarga, popularitas, kecantikan, dan lain sebagainya.

Untuk mencapai kemerdekaan, diri kita harus terbebas dari jerat-jerat alasan selain Allah. Semuanya adalah untuk dan tentang Tuhan. Berkurban adalah sebuah proses liberasi. Kita merelakan untuk membebaskan diri menuju taman perkenan Tuhan. Peristiwa pengorbanan Ismail merupakan ujian pembebasan untuk mencapai ketaatan dan tauhid yang jernih. Dan dua nabi mulia itu berhasil melampauinya. Maka Allah perlihatkan karunia agung-Nya dengan menjadikan domba sebagai pengganti dan Dia kembalikan Ismail pada Ibrahim kekasih-Nya.

Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Limpahkanlah pula keberkahan bagi Nabi Muhammad dan bagi keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana telah Engkau limpahkan keberkahan bagi Nabi Ibrahim dan bagi keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya di alam semesta Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.