Sukarno Menolak Hadirnya Kontingen Olahraga Israel

KhazanahSukarno Menolak Hadirnya Kontingen Olahraga Israel

Menpora, Zainudin Amali, dalam rilisnya dikabarkan telah menjamin Timnas Israel boleh merumput di Indonesia dalam laga Piala Dunia U-20. Kejuaraan sepak bola internasional itu rencananya akan digelar pada pertengahan tahun 2023 mendatang. Pernyataan Menpora itu memicu banyak protes, mengingat sejak mula hingga hari ini kita tidak pernah mengakui kedaulatan Israel, tidak pula menggelar hubungan diplomatik dengan Israel karena penjajahannya di Palestina. Menerima kehadiran, apalagi bertanding dengan Timnas Israel sama halnya mengakui rezim apartheid Israel.

Pembelaan Indonesia pada Palestina sejak dulu tak pernah separuh, tidak juga luruh. Kita memiliki sikap jelas dan tegas mendukung kemerdekaan Palestina. Maka, di saat yang sama Indonesia menentang kuat penjajahan Israel dan tak sudi mengakuinya sebagai negara. Komitmen pembelaan itu ditunjukkan sepenuhnya oleh presiden pertama bangsa kita, Sukarno. Dalam pidatonya pada tahun 1962, Sukarno mengatakan, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”

Sukarno tidak sekadar manis di mulut membela Palestina. Pada tahun 1962, ketika itu Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV. Atas instruksi Sukarno, otoritas Indonesia diperintah untuk tidak memberikan visa kepada kontingen Israel. Ketiadaan relasi diplomatik diajukan sebagai alasan. Namun, sebetulnya alasan penolakan itu adalah komitmen Indonesia untuk menjalankan kebijakan antiimperialisme. Pembukaan UUD 1945 terang berbunyi, “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Sekalipun harus menerima sanksi skors dari Komite Olimpiade Internasional (IOC), Sukarno tidak bergeming. Tanpa takut ia justru meminta Komite Olimpiade Indonesia keluar dari keanggotaan IOC di tahun 1963 dan membentuk Ganefo sebagai tandingan.

Lima tahun sebelum itu, Sukarno juga telah menunjukkan support penuh pada Palestina. Lagi-lagi di ajang olahraga, tahun 1957 Sukarno memerintah tim sepakbola Indonesia untuk tidak bertanding dengan kesebelasan Israel, baik di Tel Aviv maupun Jakarta. Padahal, pertandingan melawan Israel adalah tiket bagi skuat Indonesia untuk melenggang ke ajang Piala Duniia 1958. Pihak Indonesia sempat meminta Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) agar bisa bermain di negara netral, namun ditolak oleh FIFA. Kata Sukarno, “Itu sama saja mengakui Israel” (apabila mau bertanding dengan mereka).

Baca Juga  Kiat Menjadi Mukmin yang Tangguh

Penentangan pada imperialisme adalah amanat Undang-Undang Dasar bangsa ini. Sukarno bersedia menanggung konsekuensi apapun untuk menjaga prinsip itu. Dalam pidato perayan kemerdekaan RI di tahun 1966, tak ada yang berubah dari komitmen Sukarno mendukung Palestina. “Kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!”, tegas Sukarno.

Israel bukanlah negara yang sah, sebab didirikan di atas tanah rampasan rakyat Palestina. Sekian lapis hukum internasional dilanggarnya, nilai-nilai kemanusiaan universal diinjak-injak oleh Israel selama puluhan tahun. Kita wajib mempertahankan sikap untuk tidak menormalisasi hubungan dengan Israel seperti yang dilakukan sejumlah negara beberapa waktu terakhir.

Pagelaran olahraga bukan hanya pertunjukan adu kekuatan fisik, tapi juga ekspresi eksistensi dan pengakuan satu sama lain pihak-pihak yang terlibat. Melihat olahraga dan politik sebagai dua hal yang tak memiliki benang kait sama sekali adalah naif. Sebagaimana pernyataan Menpora, Zainudin Amali, melansir dari bola.okezone.com, bahwa “Olahraga tak ada urusan dengan politik, sebab FIFA menyampaikan pada kita, siapapun negara yang lolos itu harus bisa main di Indonesia. Jadi tidak ada masalah.”

Olahraga telah memainkan peran penting dalam politik, sebagai bagian dari perangkat kendali. Lihat saja bagaimana Rusia dilarang turut berkompetisi dalam ajang Piala Dunia oleh FIFA, demikian halnya UEFA karena aksi negara beruang merah itu menginvasi Ukraina. Dengan kerangka pikir yang sama, Israel bahkan jauh lebih layak untuk ditolak dan dibatasi geraknya karena tragedi kemanusiaan yang telah lama dipeliharanya.

 “Menjadi bangsa yang konsekuen” harus menjadi ruh yang dipertahankan untuk menjiwai sikap kita sebagai bangsa penjunjung tinggi kemerdekaan dunia. Bagi Sukarno, memiliki jiwa anti penjajah dan konsistensi melawan imperialisme merupakan kebanggaan sekaligus kehormatan. Bangga menjadi bangsa yang konsekuen, di mana pasti ada harga untuk sebuah nilai yang diperjuangkan. Sukarno mencontohkan keberanian dan konsistensi. Jangan sampai kita menjadi bangsa ahistoris dan gagal uji komitmen terhadap pembukaan UUD 1945, “melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.