Langkah Beragama di Jalan Tengah

KolomLangkah Beragama di Jalan Tengah

Islam menyuruh umat Muslim untuk bersikap sewajarnya dalam segala hal. Baik dalam ibadah, muamalah, konsep, perilaku, maupun akidah. Sikap wajar berarti berada di posisi tengah yang mengibaratkan suatu keadilan. Yakni tidak terlalu condong ke kanan maupun ke kiri. Tidak tafrith (menyepelekan) maupun ifrath (melampaui batas). Bagaimana cara kita menempuh jalan tengah, memang perlu petunjuk agama dan arahan kenabian untuk memahaminya.

Kita sekalian telah ditunjuk sebagai umat yang mesti menempuh jalan tengah. Sebagaimana Allah nyatakan, Demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan (wasathan), supaya kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah [2]: 143.

Dengan kata lain, sikap tengahan adalah prinsip yang Allah sukai. Dia melarang segala hal yang terlalu—baik ghuluw maupun taqshir—, agar kita menjadi hamba yang adil. Seorang bijak bestari berkata, “Tidaklah kulihat sikap boros “berlebih-lebihan” melainkan di sisinya pasti ada hak yang ditelantarkan”. Seperti cerita sahabat Nabi yang ditegur karena terlalu tenggelam dalam ibadah sehingga ia melalaikan hak nafkah bagi keluarganya.

Menjadi komunitas moderat merupakan suatu karunia sekaligus pujian. Sebab, untuk berperan sebagai saksi atas umat manusia, Allah tidak mungkin memilih saksi secara sembarangan. Karenanya, yang terpilih hanya manusia yang berkarakter wasath (adil). Jika dalam yurisprudensi Islam saja disyaratkan sifat adil untuk menjadi seorang saksi, maka itu tentu berlaku lebih bagi saksi di pengadilan Tuhan kelak.

Namun demikian, identitas ummatan wasathan ini tidak taken for granted, artinya bukan begitu saja kita menjadi umat yang adil tersebab ayat tadi. Itu adalah potensi yang diisyaratkan Allah melalui firman-Nya. Kita tetap harus ambil bagian dalam upaya mencari maksud dari jalan tengah yang digariskan Tuhan kemudian mengamalkannya di kehidupan kini.

Rasulullah SAW dalam beberapa kesempatan memeringatkan agar umatnya menghindari sikap ekstrem (ghuluw). Hindarkanlah darimu sikap melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya. (HR. Nasa’i, Ibnu Majah).

Sabda Nabi ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan sebagai kritik kepada sahabat beliau yang berlebihan dalam melempar jamrah dengan menggunakan batu yang terlalu besar saat ibadah haji. Dikisahkan Nabi meminta Abdullah bin ‘Abbas untuk mengambilkan batu, “Ambilkan bagiku batu-batu kecil”. Lalu Ibnu Abbas berkata: “Maka kuambilkan batu-batu itu untuk beliau, dan saat aku menyerahkannya, Nabi berkata lagi: “Ya, suruhlah mereka mengambil batu-batu yang sekecil ini pula. Dan hindarkanlah dirimu dari sikap melampaui batas dalam agama.”

Rasulullah seolah hendak menyampaikan, jangan kira melempar jamrah dengan batu besar akan lebih sempurna daripada melemparnya dengan batu kecil. Nabi tidak ingin umatnya beranggapan bahwa perkara ibadah menuntut sesuatu lebih dalam pelaksanaannya. Sebab agama Allah itu memudahkan, tidak menyulitkan.

Sekalipun terkait dengan sebab khusus, namun larangan dalam hadis tersebut bersifat umum, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taymiyah. Sikap melampaui batas seringkali dimulai dari hal yang kecil. Dan lama-kelamaan bisa menyentuh ruang lingkup yang lebih luas. Karenanya, kewaspadaan harus terus dijaga.

Kebahagiaan tersendiri bagi orang yang bisa mengambil ibrah dari pengalaman orang lain. Hadis tadi meminta kita untuk belajar dari umat terdahulu yang binasa karena sikap melampaui batas. “Orang-orang sebelum kamu” merujuk pada pemeluk agama terdahulu dari Ahli Kitab.

Dalam An-Nisa [4]: 171 diterangkan bagaimana kalangan Nasrani melampaui batas keyakinan yang benar. Mereka berlebihan dalam memandang posisi Nabi Isa, hingga menganggapnya Tuhan. Padahal jelas bahwa hakikat Isa adalah utusan Allah. Demikian halnya sikap berlebihan kaum Yahudi yang mengingkari risalah Nabi Isa, melecehkan dakwahnya, dan menuduh Sayyiadah Maryam. Mereka pun terjebak dalam bencana kufur.

Di lain kisah, Rasulullah SAW pernah marah besar kepada sahabat Mu’adz bin Jabal karena ia memanjangkan shalatnya saat mengimami suatu kaum. Sehingga membuat para jemaah gusar dan menggerutu karena lamanya shalat. Nabi sampai tiga kali berkata kepadanya, Hai Mu’adz, apakah engkau hendak menimbulkan fitnah? Pengulangan Nabi tersebut adalah karena besarnya bahaya yang ditimbulkan dari tindakan Mu’adz tersebut. Orang bisa enggan berjamaah karena merasa keberatan.

Baca Juga  Islam Ramah TV: Santri Milenial Menjawab Pertanyaan Seputar Kesantrian

Rasulullah SAW kemudian menandaskan, Apabila engkau mendirikan shalat bersama orang banyak, ringankanlah, karena di antara mereka terdapat orang yang lemah, sakit, dan lanjut usia. Tetapi, bila salah seorang dia antara kalian shalat sendiri, bolehlah ia memanjangkan menurut kehendaknya. (HR. Bukhari).

Sayyidina Umar pun berkata, “Janganlah kalian membuat Allah dibenci oleh para hamba-Nya karena salah seorang di antara kalian menjadi imam dalam shalat bersama suatu kaum, lalu memanjangkan bacaannya sehingga membuat mereka membenci shalat yang sedang mereka kerjakan.”

Banyak dijumpai kepingan sejarah dan nasihat Nabi yang mengarahkan kita untuk berlaku moderat. Dari situ kemudian digali prinsip-prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan agar kita tetap terjaga di lintasan tengah dalam beragama untuk mencapai maslahat universal.

Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beragama, menuturkan sejumlah indikator sikap berlebihan dalam beragama. Berikut saya coba rangkum penjelasannya dari buku tersebut.

Pertama, fanatisme dan enggan mengakui pendapat lain. Yakni, kebekuan seseorang  yang bersikeras pada suatu paham hingga tak bisa melihat secara jernih opsi-opsi lain yang memungkinkan perbaikan di masyarakat, terpenuhinya keperluan mereka, dan tercapainya tujuan agama. Dengan kata lain, sikap inklusif-dialogis adalah langkah yang mendekatkan pada moderasi.

Kedua, mewajibkan atas manusia hal-hal yang tidak Allah wajibkan kepada mereka. Seperti halnya orang yang selalu mewajibkan sesuatu yang sulit pada diri sendiri, padahal ada kemudahan dalam hal itu. Kemudian ia menyerukan hal serupa pada orang lain, sedangkan Allah tak mewajibkan itu atas mereka.

Dalam beberapa hal, berpegang pada yang sukar untuk diri sendiri memang tak terlarang. Namun, tidak elok jika dilakukan terus-menerus hingga tak mau mengambil keringanan ketika ia memerlukan. Padahal, Allah saja menyukai hamba-Nya yang memanfaatkan kemudahan yang Dia berikan. Besar kemungkinan, sikap berlebihan dalam beragama adalah wujud pseudo kesalehan yang tak disadari.

Ketiga, memperberat yang tidak pada tempatnya. Membebankan sesuatu yang proporsinya tidak sesuai tempat dan zamannya adalah hal yang tidak baik dan memberatkan. Misalkan, orang yang baru belajar Islam semestinya dikenalkan hal-hal yang ringan terlebih dahulu dalam urusan furu’ (cabang), sembari memelajari dasar-dasar agama dan menguatkan akidah.

Jangan memberatkannya, atau langsung menyodorkan dalil-dalil ancaman, menjejalinya dengan sesuatu yang debatable seperti halnya doktrin khilafah. Saya pribadi menyayangkan bagian dari fenomena hijrah, yakni mendadak alergi dengan realitas modern. Seperti halnya orang-orang dianjurkan  untuk meninggalkan pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti bermusik, menjadi pegawai bank konvensional, dan sebagainya.

Tanda sikap berlebihan yang keempat adalah perangai keras dan kasar dalam berdakwah serta berkomunikasi. Sedangkan Allah menunjukkan secara jelas agar menggunakan cara-cara yang baik penuh kebijaksanaan dalam menyeru manusia (QS. An-Nahl [16]: 125).

Kelima, mudah berburuk sangka pada manusia. Orang yang bersikap ekstrem dalam agama akan mudah menuduh orang lain, enggan mengakui kebaikan mereka, dan hanya fokus memperbesar keburukannya.

Tanda terakhir, yaitu tercebur dalam doktrin takfiri. Puncak sikap ekstrem terjadi bilamana seseorang telah menghalalkan jiwa dan harta orang lain, meremehkan kehormatan mereka, dan tak peduli lagi pada hak mereka untuk tak diganggu. Kaum Khawarij, kelompok-kelompok teror adalah representasi dari golongan ini. Sikap berlebihan mereka adalah sumber bencana.

Allah dan Rasul-Nya paham betul tabiat manusia yang lemah, mudah bosan, dan tidak bersabar pada hal yang memberatkan. Jika dipersulit, mereka justru akan menjauh dan antipati pada ajaran agama. Maka dari itu, kita sekalian diperingatkan untuk tidak berlebih-lebihan maupun terlampau menyepelekan. Di saat yang sama kita disediakan berbagai kemudahan sebagai wujud kasih sayang-Nya.

Moderasi adalah salah satu ciri khas Islam yang mengandung banyak kemuliaan. Watak agama ini sendiri memang menjadi penengah dua risalah samawi sebelumnya—Yahudi dan Nasrani—. Selain untuk menghindari kerusakan dari sikap berlebihan atau terlalu meremehkan ajaran, berusaha meniti jalan tengah dalam beragama adalah suatu kehormatan bagi manusia. Mengingat, moderasi merupakan prinsip yang dimandatkan Tuhan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk bersama belajar menjadi umat tengahan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.