Bertuhan dan Berperikemanusiaan

KhazanahBertuhan dan Berperikemanusiaan

Berubahnya arah paradigma agama dari ‘ajaran’ menjadi ‘ideologi’ telah menjadi salah satu problematika Islam modern saat ini. Pergeseran ini telah membuat sebagian orang-orang yang memusatkan kepercayaan hidupnya pada tuhan, memiliki idealisme eksklusif dan berlebihan setelah merasa sah mewakili Tuhan. Tidak jarang, dalam skala kecil maupun besar, seseorang bertindak atas nama membela Tuhan dan melawan orang lain yang dinilai tidak menjalankan ajaran Tuhan. Inilah potret saat teosentrisme telah dimanipulasi untuk membenarkan aksi-aksi tidak manusiawi.

Jika demikian, bagaimana agama dapat menjadi bermakna bagi keberadaan manusia? Bangkitnya kelompok beragama yang keras dan fanatik disebabkan karena, selama ini, pentingnya hubungan dengan Tuhan terlalu sering dipahami secara terpisah dari hubungan sesama manusia, bahkan terkesan terabaikan dari praktik ibadah. Padahal sebenarnya, Hablun min-Allah dan Hablun min-annas, keduanya adalah satu jalinan integrasi yang tidak terpisahkan.

Bagaimana sebenarnya menjadi orang yang beriman dan bertuhan, tanpa menafikan kepentingan dan keberadaan manusia?  Banyak cendekiawan dan pemikir Muslim yang telah menjawab tantangan filosofis ini, salah satunya ialah Nurcholish Madjid dengan gagasan ‘Agama Kemanusiaan’-nya.

Dari sekian banyak cabang pemikiran neo-modernisme Cak Nur, gagasannya tentang agama kemanusiaan mungkin yang paling mudah diterima masyarakat Muslim secara luas, bahkan oleh kalangan tradisionalis. Dalam buah pemikirannya itu, manusia harus menyatupadukan ‘teosentrisme’ dalam pandangan hidup atau imannya, dengan ‘antroposentrisme’ dalam kegiatan hidup atau amal perbuatannya (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 124). Dalam konsep Islam, ada kaitan yang tak terpisahkan antara  Hablun min-Allah dan Hablun min-annas. Hal ini dapat dilihat dari perpaduan di dalam al-Quran, atara iman dan amal shaleh, takwa dan akhlak mulia, takbir dan taslim, dan lain sebagainya.

Berpusat pada tuhan penting bagi ketentraman dan kemantapan hidup manusia. Namun tidak sampai disitu saja, seorang Muslim juga dituntut untuk memusatkan usahanya dalam amal shaleh kemanusiaan. Sejatinya, kekuatan batin yang berdimensi individual-vertikal, antara manusia dengan tuhannya itu, akan memompa kekuatannya pada dimensi sosial-horizontal antar sesama manusia. 

Di dalam tulisannya yang berjudul Iman dan Emansipasi Harkat Kemanusiaan, Cak Nur menjelaskan bahwa amal perbuatan manusia yang antroposentris itu sendiri, merupakan akibat logis dari keyakinan atas Kemahaesaan Tuhan. Allah SWT tidak memerlukan manusia. Manusia tidak dituntut untuk melayani-Nya, sebaliknya manusia dituntut untuk menghamba, karena manusialah yang memerlukan Tuhan. Untuk itu, kita menyebut diri kita hamba tuhan (‘abd), dan praktik penyembahan kepada tuhan disebut penghambaan (Ibadah). Oleh karena itulah, buah hasil ibadah itu bukan untuk Tuhan, tetapi untuk manusia sendiri.

Baca Juga  Rasulullah SAW Mengamalkan Akhlak, Bukan Merevolusi

Pada dasarnya, manusialah yang bergantung pada amalnya sendiri, baik dunia maupun di akhirat. Baik atau buruk nilai amal itu akan kembali kepada manusia, bukan kepada Tuhan. Pengakuan berketuhanan yang dinyatakan dalam kegiatan ibadah tidak berarti, sebelum disertai tindakan-tindakan nyata dalam rangka perikemanusiaan, seperti yang diilustrasikan dalam Surat Al-Maun. Dalam ha ini, Nurcholish Madjid menulis, “Pandangan hidup yang teosentris dapat dilihat, mewujudkan diri, dalam kegiatan keseharian yang antroposentris. Bahkan antara keduanya itu tak dapat dipisahkan. Maka, konsekuensinya, orang yang berketuhanan, dengan sendirinya berperikemanusiaan” (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 125)

Sudah semestinya kemanusiaan sejati itu bertujuan meraih ridha Tuhan. Orientasi hidup menuju ridha Tuhan itu pastilah melandasi pengangkatan nilai kemanusiaan. Bertuhan dan berperikemanusiaan, keduanya saling terkait, dan seperti kata Cak Nur di atas, teosentrisme dan antroposentrisme harus disatupadukan. Keterpisahan anatar keduanya akan membuat ketidakseimbanagan fatal. Salah satunya telah disebutkan di awal artikel ini. 

Selain itu, kemanusiaan tanpa kebertuhanan juga akan menyebabkan kecelakaan dan kelalaian akibat pemutlakan sesama manusia. Seperti kata Cak Nur, “kemanusiaan tanpa ketuhanan akan dengan gampang menghancurkan dirinya sendiri” (h.127). Jadi, rasa kemanusiaan harus terus dipadukan dengan rasa kebertuhanan, dengan begitu kemanusiaan sejati akan terwujud.

Singkatnya, dengan mengintegrasikan kedua hubungan sakral itu, Hablun min-Allah dan Hablun min-annas, agama akan bermakna sekaligus berdampak positif bagi manusia. Dan memang sudah semestinya seperti itu. Konsep ini bahkan sangat dapat dipahami melalui filosofi Shalat kita sehari-hari, di mana ‘takbir’ yang mengawali shalat bermakna sebagai lambang pembukaan hubungan dengan tuhan, dan ‘taslim’ yang menutup shalat bermakna sebagai simbol pembukaan hubungan sesama manusia. Jadi, tidak ada landasan valid, bagi orang yang bertuhan tapi tidak berperikemanusiaan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.