Amalkan Akhlak Malu, Bukan Inferioritas

KhazanahHikmahAmalkan Akhlak Malu, Bukan Inferioritas

Al-Haya’ atau sifat malu merupakan salah satu ajaran moral yang ditekankan Nabi SAW. Beliau begitu membanggakan rasa malu dan kesopanan sedemikian rupa serta menganggapnya sebagai ciri khas Islam. Belia bersabda, malu adalah salah satu cabang Iman (HR.Bukhari), setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu (HR. Ibn Majah), Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan (HR. Al-Bukhari).

Tidak diragukan lagi, umat Islam perlu menumbuhkan dan mengamalkan akhlak malu dengan kekuatan iman, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Bagaimanapun, potensi positif rasa malu telah diakui secara universal di sebagian besar peradaban. Hanya saja, tidak jarang juga ajaran ‘malu’ ini dipraktekkan berlebihan sehingga berbalik menjadi inferioritas. Di tengah modernitas saat ini, kata malu nampaknya kerap disalahpahami dan disalahgunakan sampai hampir terlepas dari semua konotasi positifnya.

Sebagian muslim mungkin menganggap sifat malu-malu, takut-takut, canggung, bersembunyi, atau kurang PD adalah bagian dari akhlak malu yang luhur yang membuat orang jadi mulia. Padahal, meskipun al-haya’ diterjemahkan sebagai rasa malu, hal itu sama sekali berbeda dari sifat rendah diri, insecurity, dan penakut.

Rasa malu yang diajarkan Nabi SAW lahir dari iman, bukan dari inferioritas yang membuat orang sulit maju. maka dari itu, Al-Haya’ mesti dipahami sebagai nilai-nilai kesopanan, martabat dan kemuliaan yang menguatkan diri. Hal itu berbanding terbalik dengan sikap merendahkan diri sendiri. Rasa malu yang diakui Islam sebagai kebajikan adalah suatu energi yang mendorong seseorang untuk menjauhi hal-hal yang tercela. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Rajab, “apa yang menahan tindakan yang memalukan atau cara yang menyedihkan adalah kualitas haya’ (akhlak malu).” 

Islam mengajarkan kita untuk menghidupkan kompas internal dan melindungi harga diri kita, dengan menonjolkan al-Haya’, yaitu rasa malu berbuat buruk dan berperilaku menyimpang karena memiliki kesadaran penuh tentang adanya Tuhan. Rasa malu yang demikian merupakan lapisan pertama dari isolasi moral, yang menutupi kita dari unsur-unsur ketidaksenonohan di sekitar kita. 

Baca Juga  Dimensi Ukhuwah KH. Jalaluddin Rakhmat

Sunnah Nabi mengesankan bahwa al-Haya’ atau naluri kesopanan sebagai alat ukur yang sah bagi hati yang sehat agar dapat membedakan antara keburukan dan kebajikan. Jadi, ajaran rasa malu dari al-Haya’ mengandung arti kesadaran, kesopanan, kepantasan, dan semua perasaan terkait yang menghalangi seseorang untuk melanggar kode moral. Hal demikian tentu tidak ada hubungannya dengan sifat inferioritas yang mendorong diri untuk mundur dan tidak setara.

Al-Quran mengapresiasi orang-orang yang memiliki rasa malu. Misalnya, al-Quran menampilkan bagaimana Nabi Musa as membantu para wanita yang kesulitan di sumur Madyan, dan kemudian segera “berjalan ke tempat teduh” (QS. Al-Qashash: 24), tanpa bersosialisasi dengan mereka atau meminta imbalan atas jasanya. 

Perilaku seperti itu dicegah oleh alarm rasa malu yang memberitahu bahwa itu bertentangan dengan norma kesopanan dan kepantasan. Jadi, rasa malu bukan menghalangi Nabi Musa untuk membantu perempuan, melainkan membimbingnya untuk berperilaku sopan dan mulia, serta menghindari improvisasi tidak penting. 

Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman, lalu datanglah kepada Musa salah seorang dari keduanya itu sambil berjalan dengan malu (QS. Al-Qashash: 25). Ayat-ayat ini disusun dengan jelas untuk menjunjung keindahan dan keteladanan perilaku orang-orang yang memiliki rasa malu atau al-Haya, baik laki-laki maupun perempuan.

Singkatnya, rasa malu tidak menghalangi kita untuk melakukan hal-hal baik, seperti menunjukkan bakat, melakukan aktivitas publik, atau bergaul secara luas dan inklusif. Sebaliknya, rasa malu menghalangi untuk berbuat kotor dan menampilkan moral yang rusak. Naluri kesopanan, al-haya’, adalah kunci  karakter yang terhormat dan berbudi luhur. Ini adalah alat yang membantu kita merasa bertanggung jawab atas kesalahan dan memanfaatkan kesempatan untuk memperbaikinya. 

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.