Jangan Sia-siakan Keberagaman

KolomJangan Sia-siakan Keberagaman

Publik kita baru-baru ini diramaikan oleh aksi konvoi Khilafatul Muslimin. Aksi seperti ini memang selalu terlihat nyentrik dan mencolok. Pasalnya, gerakan semacam ini kerap membawa ide persatuan Muslim ke dalam satu set ideologi dan praktik yang seragam. Padahal, sejarah masyarakat membuktikan, bahwa percaya pada ide-ide persatuan ekslusif yang anti keberagamaan, hanya akan mendatangkan frustasi dan kegagalan, sebab itu sama saja menentang sunnatullah dan hukum kemanusiaan yang hanya akan berakhir sebagai kesia-siaan.

Muslim di seluruh dunia memiliki banyak bentuk keragaman internal. Ada sekitar 1,8 miliar Muslim di dunia saat ini dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) terdiri tidak kurang dari 57 negara. Semuanya tidak hanya terbagi kedalam beberapa mazhab teologis seperti Sunni, Syi’ah, Sufi dan Ibadi tetapi ada juga berbagai mazhab fiqih seperti Hanafi, Ja’fari, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Ada juga sekelompok kecil ghairu muqallid, yang tidak mengikuti mazhab tertentu, seperti Salafi dan Ahlul Hadits. Ada keragaman lebih lanjut dalam tradisi lokal dari berbagai daerah dan budaya yang juga telah meninggalkan jejak mereka pada interpretasi dan kebiasaan Muslim.

Di zaman sekarang, jika seorang cendekiawan, ustadz, penulis, atau pendakwah Muslim bersikeras bahwa hanya mazhab, manhaj, hukum, atau interpretasinya saja yang murni dan asli, sedangkan yang dianggap kurang murni atau menyimpang dari Islam ‘benar’, maka sebenarnya orang itu mengingkari keberagaman dan pluralitas dalam Islam. Sikap seperti itu dapat membuka jalan bagi intoleransi, takfir (pengusiran dan pengucilan), dan kekerasan. Tidak mengherankan jika kelompok militan Islam di dunia saat ini, seperti Al-Qaeda, ISIS, dan Taliban, yang tidak hanya menyerang non-Muslim tetapi juga sesama Muslim, dipengaruhi oleh ulama dan ideologi Takfiri. 

Nampaknya mengevaluasi sekte, sub-sekte, atau mazhab pemikiran lain berdasarkan kriteria dan keyakinan ‘murni’ kita sendiri, dalam diskusi yang tidak ilmiah, hanya akan menjadi tugas sia-sia. Semestinya kita menyadari bahwa, ada kebutuhan untuk menerima dan merangkul keragaman dalam Islam dengan hati terbuka. 

Sudah menjadi kewajiban kita untuk menekankan kesamaan Islam, seperti mencintai satu Tuhan, satu al-Quran, dan Nabi Muhammad SAW, daripada menyoroti perbedaan-perbedaan kecil. Setiap kritik terhadap paham dan praktik Islam yang beragam tidak boleh sembarangan, hanya diperbolehkan sebagai bagian dari penelitian akademis dan sejarah yang valid. Perbedaan pendapat tersebut harus sopan dan ilmiah, berdasarkan sikap saling menghormati dan mengakui keberagaman Islam. 

Penegasan keragaman dalam suatu masyarakat tentu amat penting untuk hidup berdampingan secara damai dengan berbagai kepentingan, keyakinan, dan gaya hidup. Sudah selayaknya kita harmonis dan inklusif mengelola perbedaan agama, bahasa, sosial, budaya dan bentuk-bentuk perbedaan lainnya. 

Jadi, sebenarnya, gagasan tentang persatuan Muslim tidak berarti bahwa semua sekte atau mazhab yurisprudensi akan menjadi satu. Sama sekali bukan berarti bahwa semua orang Muslim pada akhirnya akan bertemu pada satu set keyakinan dan praktik yang sama dan seragam. Tujuan seperti itu tidak mungkin dicapai dan, pada kenyataannya, menyebabkan frustasi dan intoleransi. 

Singkatnya, Persatuan Muslim sejatinya berarti bahwa pemimpin muslim atau ‘khilafah’ harus menyatukan kepercayaan, interpretasi, dan ritual keagamaan satu sama lain harus diterima dan dipeluk. Keragaman internal Islam adalah ‘realitas’ yang telah lama ada dan inklusif adalah fitur utama perilaku masyarakatnya. Umat Islam harus menerima realitas keberagaman dan berusaha untuk membentuk perilaku umat yang inklusif, daripada bersikeras untuk menghilangkan realitas keragaman yang hanya menjadi sia-sia dan berbahaya. Sudah saatnya, para pemimpin opini Muslim harus mempromosikan gagasan Islam berdasarkan pluralisme, keragaman dan inklusi sosial.

Baca Juga  Puasa Ibadah Istimewa

Publik kita baru-baru ini diramaikan oleh aksi konvoi Khilafatul Muslimin. Aksi seperti ini memang selalu terlihat nyentrik dan mencolok. Pasalnya, gerakan semacam ini kerap membawa ide persatuan Muslim ke dalam satu set ideologi dan praktik yang seragam. Padahal, sejarah masyarakat membuktikan, bahwa percaya pada ide-ide persatuan yang anti keberagamaan, hanya akan mendatangkan frustasi dan kegagalan, karena menentang sunnatullah dan hukum kemanusiaan adalah sebuah kesia-siaan.

Muslim di seluruh dunia memiliki banyak bentuk keragaman internal. Ada sekitar 1,8 miliar Muslim di dunia saat ini dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) terdiri tidak kurang dari 57 negara. Semuanya tidak hanya terbagi kedalam beberapa mazhab teologis seperti Sunni, Syi’ah, Sufi dan Ibadi tetapi ada juga berbagai mazhab fiqih seperti Hanafi, Ja’fari, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Ada juga sekelompok kecil ghairu muqallid, yang tidak mengikuti mazhab tertentu, seperti Salafi dan Ahlul Hadits. Ada keragaman lebih lanjut dalam tradisi lokal dari berbagai daerah dan budaya yang juga telah meninggalkan jejak mereka pada interpretasi dan kebiasaan Muslim.

Di zaman sekarang, jika seorang cendekiawan, ustadz, penulis, atau pendakwah Muslim bersikeras bahwa hanya mazhab, manhaj, hukum, atau interpretasinya saja yang murni dan asli, sedangkan yang dianggap kurang murni atau menyimpang dari Islam ‘benar’, maka sebenarnya orang itu mengingkari keberagaman dan pluralitas dalam Islam. Sikap seperti itu dapat membuka jalan bagi intoleransi, takfir (pengusiran dan pengucilan), dan kekerasan. Tidak mengherankan jika kelompok militan Islam di dunia saat ini, seperti Al-Qaeda, ISIS, dan Taliban, yang tidak hanya menyerang non-Muslim tetapi juga sesama Muslim, dipengaruhi oleh ulama dan ideologi Takfiri. 

Nampaknya mengevaluasi sekte, sub-sekte, atau mazhab pemikiran lain berdasarkan kriteria dan keyakinan ‘murni’ kita sendiri, dalam diskusi yang tidak ilmiah, hanya akan menjadi tugas sia-sia. Semestinya kita menyadari bahwa, ada kebutuhan untuk menerima dan merangkul keragaman dalam Islam dengan hati terbuka. 

Sudah menjadi kewajiban kita untuk menekankan kesamaan Islam, seperti mencintai satu Tuhan, satu al-Quran, dan Nabi Muhammad SAW, daripada menyoroti perbedaan-perbedaan kecil. Setiap kritik terhadap paham dan praktik Islam yang beragam tidak boleh sembarangan, hanya diperbolehkan sebagai bagian dari penelitian akademis dan sejarah yang valid. Perbedaan pendapat tersebut harus sopan dan ilmiah, berdasarkan sikap saling menghormati dan mengakui keberagaman Islam. 

Penegasan keragaman dalam suatu masyarakat tentu amat penting untuk hidup berdampingan secara damai dengan berbagai kepentingan, keyakinan, dan gaya hidup. Sudah selayaknya kita harmonis dan inklusif mengelola perbedaan agama, bahasa, sosial, budaya dan bentuk-bentuk perbedaan lainnya. 

Jadi, sebenarnya, gagasan tentang persatuan Muslim tidak berarti bahwa semua sekte atau mazhab yurisprudensi akan menjadi satu. Sama sekali bukan berarti bahwa semua orang Muslim pada akhirnya akan bertemu pada satu set keyakinan dan praktik yang sama dan seragam. Tujuan seperti itu tidak mungkin dicapai dan, pada kenyataannya, menyebabkan frustasi dan intoleransi. 

Singkatnya, persatuan Muslim sejatinya bukan berarti bahwa pemimpin muslim atau ‘khilafah’ harus menyatukan kepercayaan, interpretasi, dan ritual keagamaan, tetapi justru menekankan penerimaan keberagaman satu sama lain yang harus diterima dan dihargai bersama. Keragaman internal Islam adalah ‘realitas’ yang telah lama ada dan inklusif adalah fitur utama perilaku masyarakatnya. Umat Islam harus menerima realitas keberagaman dan berusaha untuk membentuk perilaku umat yang inklusif, daripada bersikeras untuk menghilangkan realitas keragaman yang hanya menjadi sia-sia dan berbahaya. Sudah saatnya, para pemimpin opini Muslim harus mempromosikan gagasan Islam berdasarkan pluralisme, keragaman dan inklusi sosial.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.