Mengurai Benang Kusut Khilafah

KolomMengurai Benang Kusut Khilafah

Propaganda khilafah kembali mengemuka baru-baru ini. HTI memang sudah dibubarkan, tapi sel-sel pemahamannya masih lestari, tak bisa dinafikan. Di kawasan Brebes, Jawa Tengah serta Cawang, Jakarta Timur dikabarkan terjadi konvoi kendaraan bermotor dengan membawa poster sampai bendera bertuliskan “Khilafatul Muslimin”. Kampanye yang didengungkan tak jauh beda dengan HTI, yakni hendak menegakkan sistem khilafah sebagai solusi umat.

Brigjen Ahmad Nurwakhid, selaku derektur BNPT menyatakan bahwa Khilafatul Muslimin memiliki ideologi yang sama dengan HTI. Tokoh kuncinya juga merupakan mantan NII. Artinya, gerakan khilafah kelompok ini sama harusnya untuk diwaspadai. Masyarakat kita, yang budaya literasinya masih rendah akan sangat rawan terhasut. Terlebih bagi kalangan yang semangat beragamanya sedang menggebu-gebu. Mereka perlu kita bentengi agar tidak termakan kampanye semacam itu.

Dalam kitab Nidzam al-Hukm fi al-Islam karyaTaqiyuddin al-Nabhani, selaku penggagas Hizbut Tahrir, menyebutkan bahwa, “Sistem pemerintahan dalam Islam adalah khilafah. Adapun khilafah adalah kepemimpinan umum bagi umat Muslim secara menyeluruh di dunia untuk menegakkan syariat Islam, serta menyebarkan dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.”

Dari pemaparan tersebut, mengindikasikan bahwa satu-satunya sistem pemerintahan yang diamini Islam hanya khilafah saja. Mereka juga mengklaim bahwa kehidupan yang syar’i telah terwujud pada masa pemerintahan Islam pasca al-Khulafa al-Rasyidun. Berbagai sumber sejarah merekam beragam peristiwa berdarah yang menunjukkan bengisnya sebagian pemimpin Daulah Umayyah dan Abbasiyah.

Sebagai contoh, adalah kisah Ibrahim bin Maimun seorang ahli fikih yang sangat bersemangat dan percaya kepada kaum Abbasiyyin yang berjanji akan menegakkan hukum Allah SWT sesuai al-Quran dan al-Sunnah kelak ketika menduduki tampuk kepemimpinan. Namun faktanya, saat ia menagih janji kepada Abu Muslim al-Khurasani setelah keberhasilan gerakan mereka, ia justru dihukum mati oleh Abu Muslim.Khilafah pernah ada sebagai suatu produk ijtihad masa silam. Karena kebetulan, pemimpin setelah Nabi wafat disebut khalifah dan sistemnya dinamakan khilafah. Selain khilafah, masih banyak sistem pemerintahan yang pernah menghiasi sejarah peradaban manusia, seperti kesultanan, kerajaan, dan sebagainya.

Beberapa ulama tak luput mengemukakan pandangannya tentang khilafah. Seperti Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, mengartikan “Khilafah adalah tanggung jawab atas seluruh urusan umat yang sesuai dengan pandangan syariat dalam mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi mereka, yang mengacu kepada kemaslahatan akhirat. Pada hakikatnya khilafah adalah pengganti peran Rasulullah SAW dalam mengatur urusan agama dan dunia.”

Kemudian Imam al-Mawar di dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menyebutkan, bahwa “Khilafah adalah sinonim dari imamah, yang berarti merujuk kepada khilafah nubuwwah yang berfungsi menjaga agama dan urusan dunia”. Tak berbeda jauh dengan al-Mawardi, Imam Haramain al-Juwaini mengatakan, bahwa “Imamah adalah kepemimpinan umum dan menyeluruh yang terkait dengan urusan khusus dan publik dalam perkara agama dan dunia”.Hal ini ia sebutkan dalam kitab Ghiyats al-Umam fi al-Tayyats al-Dzulm.

Jika menelaah pendapat para ulama di atas, dapat dipahami bahwa, pertama, terma khilafah cenderung diasosiasikan kepada khilafah pada periode khilafah setelah Nabi Muhammad SAW, al-Khulafa al-Rasyidun. Kedua, khilafah bertujuan mencapai maslahat untuk kehidupan dunia dan akhirat melalui pengaturan urusan umat yang sesuai dengan nilai syariat. Tanpa ada kewajiban menegakkan negara Islam.

Baca Juga  Menyegarkan Mimbar Khotbah

Adapun konsep khilafah yang dipasarkan oleh al-Nabhani, satu sisi sangat terkesan mengglorifikasi makna khilafah sekaligus sejarahnya. Dan di sisi lain, mengesankan ajaran Islam menjadi sempit, kaku, dan tidak realistis, yang terlihat dari klaim mereka, bahwa sistem pemerintahan yang sah hanya yang berdasar syariat Islam. Lebih dari itu, perbedaan konseptualisasi para ulama tadi semakin menunjukkan bahwa khilafah adalah persoalan ijtihadiy semata.

Perlu ditegaskan, bahwa Islam tidak menetapkan sistem yang baku dan paten dalam mengatur bentuk atau sistem pemerintahan. Islam telah meninggalkan legacy yang cukup untuk dijadikan pedoman dalam mengkreasikan berbagai sistem pemerintahan di tengah laju kehidupan yang dinamis. Hal tersebut semakin mengafirmasi premis, bahwa Islam adalah agama yang senantiasa relevan untuk berbagai dimensi tempat dan zaman.

Benar bahwa khilafah adalah bagian dari Islam. Namun, terbatas dalam kerangka bahwa ia adalah hasil upaya umat Muslim dalam urusan kepemimpinan kala itu. Yang menjadi kewajiban dalam Islam adalah sebatas mengangkat pemimpin untuk mengatur tatanan masyarakat dan pemerintahan. Perkara bentuk dan sistem pemerintahannya, adalah bersifat fleksibel. Menolak proyek khilafah bukan berarti menegasikan atau tidak mengamini apa yang pernah menjadi bagian dari sejarah Islam. Bukan pula menolak Islam itu sendiri.

Baik rukun Islam maupun rukun iman, sama-sama tidak mengakomodir doktrin ini. Mengartikan bahwa khilafah tidak termasuk dalam inti ajaran Islam, yang jika tidak ditegakkan akan menciderai akidah umat.

Dalam pemaknaan yang lebih sufistik, khalifah (bentukfa’il/subjek) diartikan sebagai pengemban tugas kehambaan untuk menjadi pengganti atau wakil Allah SWT di muka bumi. Ia diberi kemampuan dan wewenang oleh Allah SWT untuk mengatur suatu urusan tertentu yang pastinya terbatas. Kemampuan tersebut adalah sebentuk kuasa yang dipinjamkan oleh Allah SWT untuk tujuan kebaikan umat manusia.

Politik yang dicita-citakan oleh syariat adalah segala hal yang mengarah pada prinsip kemaslahatan. Melalui tinjauan kerangka maqashid syariah, kiranya politik maslahat dapat terjawantahkan. Poros konstan ini merupakan pijakan untuk mendudukkan teks dan konteks pada posisi yang berimbang, serta menghindari pemahaman harfiah yang cenderung sempit.

Paham khilafah yang dikampanyekan HTI, semata-mata merupakan nafsu politis yang dibumbui argumentasi teologis. Ketidakutuhan pemahaman atas dalil, pengaburan sejarah, serta penyelundupan fakta, membuat maknakhilafah terjebak dalam ruang kedap. Sedangkan yang disajikan kepada khalayak adalah pemahaman yang parsial, sehingga menjadikan masyarakat salah paham sekaligus gagal paham akut.

Kita perlu memahami khilafah dengan kacamata yang jernih. Khilafah sebagai suatu khazanah yang pernah ada dalam Islam, saat ini telah banyak mengalami benturan konseptual dengan kepentingan politik. Menjadi kusut dan sukar diurai. Hakikat nilai dan semangat yang dibawanya pun menjadi samar.

Pemetaan ulang atau penyegaran pembahasan seputar khilafah menjadi perlu dilakukan. Dalam hal ini, kita cukup memahami khilafah sebagai suatu sistem dan bukan doktrin. Karena sebuah sistem, maka penerapannya juga bergantung pada konteks di mana ia hendak dijalankan. Dalam konteks Indonesia, khilafah kita adalah demokrasi Pacasila dalam bentuk negara-bangsa. Wallahua’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.