Buku, Modal Kebebasan Bung Hatta

KhazanahBuku, Modal Kebebasan Bung Hatta

Bung Hatta adalah pendiri bangsa yang gila baca. Seorang pembaca militan yang membuatnya menyandang julukan bibliofil, pecinta buku. Ia menjalin hubungan mesra dengan buku. Tak hanya selalu dibawa serta ke manapun, Hatta memperlakukan bukunya begitu istimewa dan protektif. Tidak pernah ia melipat atau mencoret lembar-lembar koleksinya. Jika ada yang meminjam, dicatatnya dengan ketat. Ia pun membaca hanya dengan sikap duduk serta dengan pencahayaan yang cukup. Hatta takluk di hadapan buku, hingga pernah ia berkirim surat kepada kawannya, T.A. Murad, Hatta bercerita, “Aku bisa hidup di manapun, asal dengan buku”. Buku adalah definisi kebebasannya.

Surat itu merupakan penggalan curahan hati Hatta ketika ia sedang dihukum oleh pemerintah kolonial di penjara Glodok pada awal 1934. Hatta aktif berpolitik sepulangnya belajar dari Belanda pada 1932. Aktivisme politiknya dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial, yang membuat ia menjadi sasaran pantau intel Belanda dan polisi, hingga akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Pada November 1934, pemerintah Belanda memutuskan untuk mengasingkan Hatta ke Boven Digul, sebuah tempat yang terkepung rimba di pedalaman Papua. Lalu pada November 1935, Banda Neira menjadi lokasi pengasingan Hatta selanjutnya.

Berpindah dari satu pengasingan ke pengasingan lain sebenarnya bukanlah perkara bagi Hatta selagi ada buku di sisinya. Penjara ataupun pengasingan memang bukan tawaran hidup yang menarik bagi siapapun. Namun meskipun jahat, untuk Hatta penjara merupakan ruang sunyi yang bisa mengokohkan keyakinan, memperkuat watak, dan menjadikan diri lebih pasti. Suatu keuntungan di balik pahit keterbatasan itu bisa dicari dengan membaca. Tak heran jika Hatta rela repot-repot mengemas ribuan koleksinya untuk diangkut serta ke Digul. Terhitung 16 peti buku ia angkut ke pengasingan tersebut.

Hari-hari di pengasingan, baik di Digul maupun Banda Neira, ia habiskan dengan membaca buku dan menulis. Pagi hingga siang, Hatta berkutat di ruang bacanya. Lalu di lain kesempatan Hatta mengajar rekan-rekan sesama tahanan materi seperti ekonomi dan filsafat. Membaca buku adalah seni mendobrak keterbatasan ruang geraknya selaku interniran. Sebab itulah, dengan buku Hatta merasakan kebebasan, meskipun di tengah sempitnya sel tahanan ataupun dikepung belantara hutan yang berbahaya.

Baca Juga  Maulana Ridwan Buton: Signifikansi Bahasa Arab untuk Perkembangan Peradaban

Buku memberikan wawasan petualangan dan mengembangkan pola imajinasi alam pikiran. Di sini, ungkapan “buka adalah jendela dunia” mendapatkan maknanya. Jendela merupakan celah yang mengalirkan cahaya, kita pun melek dan mampu melihat dunia karenanya. Demikianlah buku, kumpulan kata, frasa, dan kalimat di dalamnya, saat dibaca akan menyalakan pendar cahaya yang membebaskan manusia dari gulita ketidaktahuan menuju alam yang lapang.

Hatta tak sekadar membaca. Ia adalah pembaca yang kritis dan cermat. Proses ini pula yang membuatnya sadar serta peka pada realitas. Dengan membaca ia paham apa bedanya dijajah dan tidak dijajah. Itulah mengapa para pendiri bangsa ini adalah pembaca-pembaca yang rakus, Sukarno, Syahrir, Tan Malaka, Hatta. Mereka menyerap pengetahuan dunia dengan membenamkan diri dalam bacaan lalu mengartikulasikan pemikirannya menjadi gerakan-gerakan konkret pembebasan.

Mohammad Hatta adalah loyalis buku. Tepat menyebut buku sebagai belahan jiwanya. Buku merupakan istri pertama Hatta, sedangkan pasangannya betulan adalaha istri kedua. Demikian seloroh yang dialamatkan pada Hatta, saking lekat ia dengan buku. Gerak literasi Hatta menjadi kisah yang penting diteladani generasi kini. Membaca buku menyehatkan jiwa dan menjauhkan kita dari sesat pikir. Hidup serba mewah bakal tetap hampa tanpa membaca. Namun bermodal buku, taman kebebasan bisa Hatta temukan di balik penjara sekalipun. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.