Saling Jaga Empati dalam Memperingati Hari Asyura

KolomSaling Jaga Empati dalam Memperingati Hari Asyura

Jejak Asyura menceritakan ironi dalam perkembangan umat Islam. Sebab peristiwa sejarah, hari ke sepuluh bulan Muharram itu kemudian diamati secara berseberangan di antara kalangan Sunni dan kaum Syiah. Umumnya Sunni menekankan peringatan pada rasa syukur akan banyaknya peristiwa baik yang dialami para Nabi terdahulu yang serempak terjadi pada 10 Muharram. Sementara itu, semenjak tahun 61 Hijriah (680 M), wajah hari Asyura memerah karena peristiwa Karbala. Umat Syiah melihatnya sebagai hari duka sejak Sayyidina Husein, cucu kecintaan Nabi pada tanggal tersebut dihabisi secara brutal oleh Dinasti Umayyah di bawah otoritas Yazid bin Muawiyah.

10 Muharram memberi definisi nyata tentang suka dan duka. Beda arah kecenderungan karena suratan sejarah ini adalah tantangan bagi umat Muslim untuk saling menjaga empati. Meski ada kecenderungan emosional masing-masing antara Sunni dan Syiah dalam mengenang Asyura, tidak perlu kita membangun pemikiran segregatif yang mempertentangkan keduanya. Baik catatan suka cita maupun kenangan duka nestapa, keduanya adalah milik bersama umat Muslim.

Sejarah panjang Asyura dimulai bahkan sejak periode Nabi Adam. Pada tanggal ini, Allah menerima pertobatan bapak umat manusia tersebut. Karunia Allah juga diterima Nabi Nuh dengan selamatnya ia, bahtera, dan yang turut bersamanya dari amukan banjir bandang. Di lain masa di tanggal yang sama, Nabi Ibrahim dianugerahi mukjizat ketahanan dari kobaran api yang membakarnya. Selain itu, Nabi Yunus pun berhasil keluar dari lambung ikan yang menelannya, dan Nabi Yusuf terbebas dari penjera akibat fitnah yang menimpanya. Tak cukup itu, pada momen Asyura, Allah juga melepaskan Nabi Ayyub dari sakit kulit yang lama dideritanya serta menyelamatkan Nabi Musa dari kejaran pasukan Fir’aun.

Dalam teks suci al-Quran, Muharram sendiri ditetapkan sebagai salah satu dari empat bulan terhormat (asyhuru al-hurum). Sebab itu, menggandakan aktivitas saleh di bulan permulaan ini sangat dianjurkan, selain juga karena bentuk syukur atas berkat yang diberikan kepada para Nabi Allah. Demi menghormati Muharram, masyarakat Arab silam menahan diri dari kebiasaan perang mereka. Berpuasa di bulan Muharram menjadi salah satu amal yang diunggulkan, karena Muharram adalah bulannya Allah. 10 Muharram pun tampil istimewa karena Nabi rutin puasa di hari itu. Masyarakat merayakan Muharram dengan aneka praktik baik lainnya seperti sedekah, menyantuni anak yatim serta mengusap kepala mereka, hingga menyambung tali silaturahmi antrsesama.

Baca Juga  Memaknai Tradisi Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan

Sementara itu, 10 Muharram 61 Hijriah menerangkan memoar baru tentang duka hebat umat Islam. Cucu terkasih Nabi, Sayyidina Husein, yang ditetapkan beliau dalam sabdanya sebagai penghulu para pemuda surga dibantai secara sadis oleh pasukan Ibnu Ziyad di bawah pemerintahan Yazid bin Muawiyah di sahara Karbala. 72 orang dalam rombongan Sayyidina Husein dihadang ribuan militer dinasti Umayyah. Sayyidina Husein dikeroyok, bajunya dikoyak, tubuhnya diinjak-injak, kepalanya dipenggal dan diarak secara brutal. Perilaku keji juga diterima kelompok massa yang datang bersama Sayyidina Husein.

Sejak itu, Asyura mengemban dualitas nuansa dalam diri masyarakat Islam. Kita tahu, pertarungan politik umat Muslim dalam sejarahnya telah membelah kita menjadi dua sentimen kubu yang tak perlu; Sunni-Syiah. Identitas segregatif ini menyebabkan perseteruan ke dalam banyak aspek, termasuk kecenderungan bagaimana membaca hari Asyura. Pada gilirannya, Asyura dalam benak masyarakat Syiah merupakan ihwal kepedihan. Adapun dalam pemahaman rata-rata kalangan Sunni, Asyura adalah momentum syukur dan merayakan kebahagiaan.

Ironi ini memanglah takdir sejarah. Namun, jangan sampai kita didikte identitas pemecah yang terbentuk akibat tragedi politik. Kabar-kabar baik dan setandan berkat di hari Asyura serta peristiwa kelam yang menimpa Sayyidina Husein, adalah catatan milik bersama seluruh umat Muslim. Lepaskan jubah identitas itu, mari kenang bersama 10 Muharram dengan amal saleh, refleksi sejarah, sekaligus doa-doa untuk Nabi beserta keluarganya. Dalam hal ini kita belajar untuk saling berempati. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.