Mengapa Israel Membunuh Shireen Abu Akleh

KolomMengapa Israel Membunuh Shireen Abu Akleh

Suara Shireen Abu Akleh menggema hampir di tiap rumah orang-orang Palestina, masuk melalui siaran televisi yang ada di dalamnya. Karena untuk segala ihwal penderitaan, Shireen menjadi suara rakyat, ia pun memiliki tempat tersendiri di hati mereka. Ia menjelma sebagai ikon perlawanan Palestina terhadap kekejian Israel. Dedikasinya dalam mengungkap realitas kejahatan Israel atas bangsa Palestina telah memasuki usia perak, sehingga kematiannya menorehkan luka hati yang dalam bagi mereka yang terwakili suaranya.

Israel membungkam suara lantang Shireen dengan melesatkan tembakan ke kepalanya, ketika ia jelas teridentifikasi sebagai insan pers melalui jaket dan helm bertandakan “press” yang dikenakannya. Wartawati kondang Al Jazeera Arab tersebut tewas di tangan pasukan Israel saat meliput operasi militer Israel di Jenin, kawasan pendudukan di Tepi Barat pada Rabu (11/5/2022). Israel tanpa ragu meremehkan hukum internasional yang jelas melindungi hak dan keamanan wartawan dalam peliputannya.

Shireen adalah jurnalis nomor ratusan yang menjadi korban kebrutalan aparat keamanan Israel. Sejak 2018, paling tidak ada 144 wartawan Palestina terluka karena serangan Israel, sebagaimana laporan Reporters Without Borders. Tiga di antaranya termasuk Shireen, meregang nyawa di periode yang sama. Adapun jika ditarik lebih jauh ke belakang, sejak tahun 2000 Israel telah membunuh tak kurang dari 40 jurnalis Palestina.

Catatan tragedi tersebut memunculkan tanda tanya, mengapa Israel secara konsisten dan arogan menyasar jajaran media. Selain karena alasan mentalitas kotor rezim Zionis, menyigi alasan lain yang lebih praktikal adalah penting dilakukan. Sebagai upaya mengatur komposisi umpan balik dari para pembela Palestina yang bisa langsung menunjuk hidung Israel. Memahami modus operandi kekejian Israel adalah jalan mengupayakan gagasan keberpihakan pada kemanusiaan.

Dengan mendekati rekam jejak Shireen, akan kita dapati bahwa ia merupakan figur yang berdedikasi tinggi memperjuangkan suara dan hak rakyat Palestina. Sebelum bergabung sebagai koresponden Al Jazeera pada tahun 1997, ia sudah lebih dulu bekerja di stasiun radio Voice of Palestine serta UNRWA (United Nations Relief and Works Agency), sebuah badan bantuan PBB bagi pengungsi Palestina.

Pada gilirannya, karir Shireen di al-Jazeera pun terbilang gemilang. Rakyat Palestina dan masyarakat Arab secara umum menghormati jurnalis berkewarganegaraan ganda tersebut (Palestina-Amerika). Shireen dikenal dengan pembawaan berani dalam pelaporannya tentang berbagai kejahatan Israel. Orang semacam ini adalah ancaman yang menjadi bagian dari prioritas eksekusi Israel yang didukung sekutu di balik layarnya.

Shireen di antaranya meliput Intifada Palestina sekitar tahun 2000, serbuan Israel di Tol Karam dan kamp pengungsi Jenin pada 2002. Ia juga mewartakan serangan udara Israel serta operasi militernya di jalur Gaza beberapa tahun belakangan. Shireen pun menjadi reporter Arab pertama yang memperoleh akses ke penjara Ashkelon di sekitar Gaza pada tahun 2005.

Kegemaran Israel menyingkirkan jurnalis tak lain untuk mengisolasi Palestina dari atensi warga dunia. Israel terus berusaha menormalisasi terornya pada Palestina dengan menekan laju informasi yang memihak Palestina dan di saat yang sama melempar propaganda serta membalikkan tuduhan kejahatan kepada mereka. Ia khawatir aksi kriminalnya menjadi kesadaran banyak pihak.

Jurnalisme Shireen yang kuat dan berpengaruh sangat mungkin menjadi alasan ia ditembak mati. Para tentara dan aparat keamanan Israel pun menyimpan dendam padanya, sebagaimana analisis Jonathan Cook, seorang pengkaji dan penulis tiga buku tentang Israel-Palestina. Maka tepat menyebut Israel sebagai pengecut karena takut pada daya pengaruh seorang jurnalis Kristen pro Palestina yang getol menelanjangi borok menahun rezim Zionis itu.

Baca Juga  Jihad Itu Bukan Perang

Melalui sebuah video yang diunggah Al Jazeera pada Oktober 2021 dalam momentum hari jadi ke-25 media tersebut, Shireen mengungkapkan alasannya menjadi jurnalis, “Saya memilih jurnalisme supaya dekat dengan masyarakat. Mungkin tidak mudah bagi saya untuk mengubah kenyataan, tapi setidaknya saya bisa mengangkat suara mereka kepada dunia. Saya, Shireen Abu Akleh.”

Suatu pernyataan bersih yang menjamah hati, hingga rakyat Palestina pun menemukan harapan dari jurnalisme yang dibawakan Shireen selama ini. Shatha Hanaysha, jurnalis yang bersama Shireen saat kejadian, menceritakan detik-detik penembakan serta mengungkapkan bagaimana kekagumannya pada seorang Abu Akleh.

Melalui laman middleeasteye.net Rabu (11/5/2022), Shata mengatakan, “Inilah (Shireen) jurnalis yang gaya meliputnya saya tiru sejak kecil, mulai dari nada suara hingga gerakan tangan. Dan saya bermimpi melakukan apa yang selalu ia lakukan dengan amat baik. Dan saat ini dia menjalankan misi (peliputan) yang sama denganku.”

Selama lebih dari dua dekade, hari demi hari Shireen muncul, melakukan perlawanan damai terhadap penindasan, kejahatan, dan kengerian imperialisme Israel. Hal semacam ini dipandang oleh Israel setara dengan terorisme hingga layak diberantas. Penargetan para jurnalis Palestina merupakan bagian dari kebijakan pendudukan Israel guna mengaburkan kebenaran sehingga mereka bisa tetap beraksi jahat secara diam-diam, demikian ungkapan Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina.

Shireen adalah korban teranyar. Namun, pola serupa akan terus berlanjut selama didukung oleh kekuatan negara-negara adidaya. Dan akan selalu ada impunitas absolut bagi tentara Israel, para tersangka kekerasan. Sebagai bagian dari masyarakat internasional sekaligus warga Indonesia yang mengangkat tinggi kemanusiaan dan perdamaian dunia, upaya mengentaskan derita Palestina harus terus menyala.

Joseph Massad, profesor politik modern Arab dan sejarah intelektual di Columbia University, New York mengungkapkan, animo kepedulian pada Palestina yang mulai meluas serta eksposur internasional yang berkelanjutan atas kejahatan Israel, bagaimanapun telah menyebabkan kepanikan dalam kepemimpinan Israel. Dalam hemat saya, pernyataan Massad ini menjawab tesis Noam Chomsky, bahwa solidaritas aktivisme sipil yang mengarah pada prinsip moral merupakan salah satu senjata untuk melawan bentuk-bentuk penjajahan yang disokong negara super power laiknya Amerika. Atas segala tragedi di tanah Palestina, masih ada yang bisa kita lakukan. Menyuarakan kisah kebenaran dan keberpihakan pada cara-cara kemanusiaan adalah jalannya.

Kematian Shireen kian membangkitkan sel kesadaran masyarakat global atas pelecehan kemanusiaan yang dilakukan Israel. Shireen adalah martir yang menginspirasi jutaan orang untuk berkomitmen mengabarkan kisah-kisah jujur mengenai Palestina. Pesan terselubung dari penembakan Shireen guna membuat takut bangsa Palestina tak pernah mempan. Mereka enggan gentar. Para pembawa jenazah almarhumah yang diserang militer Israel saat upacara pemakaman, berteriak tegas, “Dengan jiwa dan darah kami, kami akan menebusmu, Shireen”. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.