Sayyidina Ali Pejuang Mazhab Ukhuwah

KhazanahSayyidina Ali Pejuang Mazhab Ukhuwah

Dalam wawasan normatif, Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai anggota al-khulafa’ al-rasyidun yang menjadi khalifah keempat umat Islam. Syair madinatu al-‘ilm menjelaskan lebih jauh figur Sayyidina Ali yang merupakan seorang intelektual dengan intelegensia unggul. Penggalan-penggalan memoar lain menceritakan budi luhur serta komitmennya dalam mencintai persaudaraan seluruh umat manusia. Berbagai pilihan sikap Sayyidina Ali dalam patron kehidupan, pada gilirannya membentuk identitas Ali sebagai pejuang mazhab ukhuwah.

Bukan hanya seorang sahabat dekat Nabi SAW yang berkait silsilahnya dengan beliau. Sayyidina Ali sepanjang hidup dididik dalam universitas Nabawi. Ali kecil dipasrahkan oleh sang ayah, Abu Thalib, kepada Rasulullah SAW. Ia diasuh langsung oleh wahyu. Hari demi hari Ali tumbuh dalam jarak terdekat dengan Rasulullah. Berguru tanpa jeda kepada beliau hingga lulus menjadi penerus tradisi dan moral Nabi.

Jika akhlak Nabi adalah al-Quran, maka apa-apa yang sampai ke Sayyidina Ali merupakan komponen ajaran wahyu yang telah diaktulisasikan Nabi. Dengan demikian, mazhab Ali bin Abi Thalib adalah mazhab Rasulullah. Nabi secara eksplisit pernah menggambarkan bagaimana posisi Ali bagi beliau. Hai Ali, kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa. Harun dan Musa adalah teman dakwah yang berkoalisi secara positif. Nabi Harun dipercaya Nabi Musa sebagai juru bicaranya karena ia piawai beretorika. Demikian halnya, Rasulullah seutuhnya percaya kepada Sayyidina Ali.

Sayyidina Ali mendamba hubungan persaudaraan yang terawat. Pasca Rasulullah SAW wafat, tak bisa dipungkiri bahwa komunitas Islam awal kala itu limbung, hingga gesekan perihal politik kepemimpinan di kalangan sahabat tak terhindarkan. Manakala Abu Bakar dilantik menjadi khalifah, Abu Sufyan memprovokasi Bani Hasyim dan menawarkan bantuan, atau lebih tepatnya hasutan kepada Sayyidina Ali untuk merebut kekuasaan. Sayyidina Ali tegas menolak. Meskipun tak bisa dibilang setuju dengan pengangkatan Abu Bakar yang tergesa-gesa, Ali tak mau mempertaruhkan keutuhan umat dengan merebut kepemimpinan yang sudah ada.

Terlihat betapa Sayyidina Ali memilih menahan diri untuk menghindari terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam ketimbang mengambil alih kepemimpinan yang oleh sebagian pihak Ali dinilai lebih berhak atas itu. Hal ini memperlihatkan kejernihan hati dan cara berpikirnya. Tak sampai di situ, demi menjaga perasaan sang istri yang pernah berseteru dengan khalifah Abu Bakar karena ia menuntut hak atas tanah Fadak, Sayyidina Ali pun menangguhkan baiat atas Abu Bakar sampai Sayyidah Fathimah meninggal dunia.

Kisah berlanjut di masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Muncul gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Sayyidah Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Ali segera mengirim utusan untuk merundingkan jalan damai. Ia tak serta-merta melakukan tindakan represif ketika ada rakyatnya yang melawan. Upaya dialog damai yang digagas Ali gagal. Sayyidina Ali sangat berharap perang tak terjadi. Meskipun demikian, sekuat tenaga Ali berusaha menghindari pertumpahan darah, perang Jamal tetap pecah.

Thalhah dan Zubair sempat mengajak Ali berduel saat di medan tempur. Sayyidina Ali menghampiri mereka dengan tangan kosong. Ia berdiplomasi melalui ketenangan sikap dan nasihat akan wasiat Nabi untuk menghindari perpecahan. Keduanya tersentuh dengan kelembutan tutur Sayyidina Ali. Zubayr bahkan menangis dalam pelukannya. Tidak ada balasan atau perlakuan kasar Sayyidina Ali terhadap kubu lawan saat mereka mengalami kekalahan. Sayyidah Aisyah dipulangkan ke Madinah dengan jaminan keamanan dan penuh penghormatan. Ali menginstruksikan pada pasukannya untuk menghormati istri Rasulullah ini.

Baca Juga  Dialog Singkat Tentang Muslimah Indonesia Bersama Samia Kotele, Ph.D Candidate di ENS Lyon Prancis

Pergolakan masih bergulir. Dalam perang Shiffin di mana kubu lawan dipimpin oleh Muawiyah, Sayyidina Ali telah menguasai pertempuran dan bisa saja menundukkan pasukan Muawiyah. Namun, dalam kondisi terdesak itu Muawiyah mengangkat al-Quran dan mengajukan perdamaian. Tawaran damai membuat Ali menyudahi peperangan, meskipun besar kemungkinan itu adalah intrik Muawiyah menghindari kekalahan. Damainya umat Muslim bagi Sayyidina Ali merupakan kemenangan sebenarnya.

Tidak ada fanatisme golongan, pragmatisme demi kekuasaan, ataupun intensi kekerasan dalam kamus hidup Sayyidina Ali. Akhlak luhur, laku santun, selalu menjadi hal yang menonjol darinya. Bagaimana kiranya karakter sahabat kepercayaan Nabi itu? Dijelaskan oleh Musthafa Bek Najib dalam Himayat al-Islam, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat dalam Islam Aktual.

Musthafa mengungkapkan sulitnya menjelaskan sifat dan akhlak Ali, saking menyeluruhnya. Predikat sebagai pintu ilmu dan hikmah Nabi, menurutnya dapat menjadi pintasan mendeskripsikan siapa Sayyidina Ali. Ali sungguh seorang yang luas ilmunya, dia orang yang paling fasih berbicara, paling berani. Rasa cintanya pada Allah, ketakwaan, dan keikhlasannya sampai pada tingkat yang amat tinggi, hingga sukar disamai. Ali merupakan tokoh politik besar yang cinta keadilan dan kebenaran.

Mereka yang benar-benar meneladani Sayyidina Ali, oleh Imam Ja’far al-Shadiq didefinisikan sebagai orang yang selalu bergegas melakukan hal-hal yang mulia, memberikan apa yang dinilai baik dan menahan sesuatu yang dipandang buruk, serta selalu ingat bahwa untuk mengukur baik buruknya orang hanya dari akhlak, bukan karena sentimen atau perbedaan. Nabi pun memberikan afirmasi, tercatat dalam Shahih Muslim, di mana Rasulullah bertutur kepada Sayyidina Ali, Tak ada yang mencintaimu kecuali orang Mukmin, dan tidak ada yang membencimu kecuali orang munafik.

Karena ikatan yang intensif dengan Sayyidina Ali Nabi pun pernah mengatakan, Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, hendak Ali pun menjadi maulanya pula. Hadis ini disampaikan Nabi di hadapan ribuan sahabatnya usai haji wada’. Maula berarti pelindung, pemimpin, kekasih, sahabat. Pendek kata, Nabi menyatakan Ali adalah rujukan yang beliau akui. Penyertaan nama Ali tersebut adalah pengakuan rasa percaya Nabi padanya. Durasi hidup Ali digunakannya untuk mereguk wawasan kenabian. Selama itu pula, Sayyidina Ali menata batu-bata akhlak dalam membangun mazhab ukhuwah yang ideal. 21 Ramadhan 40 H, lebih dari satu milenium sudah Sayyidina Ali wafat. Semoga ajaran persaudaraannya terlaksana abadi di tengah umat manusia. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.