Hati Nurani adalah Kompas Moral

KhazanahHadisHati Nurani adalah Kompas Moral

Hati nurani manusia  memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari seorang mukmin. Dhamir atau nurani adalah intuisi alami yang bersemayam di dalam hati untuk mengenali yang baik dan yang buruk. Hati nurani berperan sebagai sumber bimbingan dan kompas moral bagi individu, yang dianugerahkan pada setiap manusia untuk dilengkapi dan disempurnakan oleh petunjuk wahyu ilahi.

Akhlak adalah bagian dari naluri alamiah (al-Fitrah) yang Allah tanamkan dalam jiwa manusia. Wahyu ilahi sebenarnya hanya mengaktifkan kesadaran moral yang telah melekat dalam diri manusia itu. Agama dibangun di atas kesadaran moral alami ini, serta untuk memurnikan nurani itu dengan kebijaksanaan dan petunjuk-Nya (QS. Rum: 30).

Seseorang dapat mengenali dosa melalui pengaruhnya terhadap hati. Perbuatan yang membuat hati tidak nyaman, ragu-ragu, dan akan malu jika orang-orang melihat perbuatannya, maka itu merupakan indikasi kuat bahwa perbuatan itu adalah dosa. Rasulullah SAW bersabda, kebajikan adalah akhlak terpuji, sedangkan dosa adalah apa yang meresahkan hatimu dan kamu tidak suka jika orang mengetahuinya. (HR. Muslim). Tidak diperdebatkan lagi, bahwa kebenaran hidup sejati adalah memiliki akhlak yang baik, watak batin yang tulus, dan hati bersih yang memotivasi seseorang untuk terus berbuat baik. 

Hati nurani adalah kompas moral kita untuk menentukan hal terbaik apa yang akan kita pilih. Melakukan apa yang menurut penilaian dalam hati dan pikiran kita benar adalah sebuah kebijaksanaan manusiawi. Kepekaan hati terhadap kebaikan dan keburukan, tidak diragukan lagi, merupakan ciri orang beriman. 

Dalam suatu riwayat, seorang pria bertanya kepada Nabi, “Apakah iman itu?” Rasulullah SAW bersabda, Jika kamu senang dengan perbuatan baikmu dan sedih dengan perbuatan jahatmu, maka kamu adalah orang yang beriman. Laki-laki itu bertanya, “Ya Rasulullah, apakah dosa itu?” Nabi berkata, Jika ada yang meresahkan jiwamu. Maka kamu harus meninggalkannya. (HR Ahmad). Jadi, mukmin adalah orang yang nalurinya selalu senang dengan kebaikan dan merasa sedih dengan keburukan.

Sesungguhnya hati nurani manusia condong pada kebaikan, dan selalu dapat diandalkan untuk mengenali hal baik yang pantas kita kerjakan. Inilah pula sebabnya, di antara beberapa kosa-kata yang bermakna ‘kebaikan’, seperti khair, birr, thayyib, hasan, Allah juga menyebut kebaikan sebagai ma’ruf, yang secara harfiah berarti ‘sesuatu yang diketahui dan dikenali’. Sebaliknya, kejahatan disebut sebagai munkar, yang secara harfiah berarti ‘sesuatu yang tidak diketahui dan ditolak’. Di dalam al-Quran, Allah sering memerintahkan kita untuk berbuat Ma’ruf, yakni perbuatan baik yang tidak ditentukan secara hukum, yang memberikan kesempatan pada intuisi kita untuk menyimpulkan tindakan yang tepat dan sesuai dengan konteksnya. 

Baca Juga  Meluruskan Penyimpangan Makna Ghuroba

Namun, kadang kala muncul juga keraguan tentang suatu perbuatan, apakah hal itu baik atau buruk, keduanya terasa samar. Jika demikian, maka sebaiknya kita tidak melakukannya. Sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW, Tinggalkan apa yang membuat Anda ragu untuk apa yang tidak membuat Anda ragu. Sesungguhnya kebenaran membawa ketenangan pikiran dan kebatilan menabur keraguan (HR. Tirmidzi). 

Para sahabat sangat memahami hikmah ini, mereka mencapai tingginya Iman dan hidup dalam optimisme, tekad, dan keyakinan yang kuat untuk melangkah maju tanpa ragu. Untuk itulah mereka saling mengingatkan agar meninggalkan keragu-raguan, seperti perkataan Ibnu Mas’ud, “waspadalah terhadap apa yang mengganggu hati. Jika ada sesuatu yang meresahkan hatimu, maka tinggalkanlah” (Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam, Jilid 2, h. 95)

Selain itu, naluri manusia juga dapat merasakan rasa bersalah, malu, dan menyesal ketika melakukan kesalahan. Ini adalah peringatan alami dalam diri setiap orang ketika melakukan dosa dan kesalahan.  Allah menciptakan mekanisme alarm jiwa manusia ini, bahkan bersumpah dengan hal itu untuk menarik perhatian kita. Allah berfirman, Dan aku bersumpah demi jiwa yang mencela diri sendiri… (QS. Al-Qiyamah: 2). Jadi, hati manusia secara alami menyalahkan dirinya sendiri ketika melakukan perbuatan jahat, atau menyalahkan dirinya sendiri karena gagal melakukan perbuatan baik. 

Oleh karena itu, hati nurani manusia adalah rasa keadilan dan kebenaran alami, suara batin yang harus kita dengarkan ketika membuat penilaian dalam kehidupan sehari-hari. Perasaan bersalah, menyesal, malu, atau ragu merupakan indikator kuat bahwa suatu perbuatan itu bernilai dosa. Demikian pula perasaan tenang, puas, dan tentram adalah hasil dari perbuatan baik. Jadi, mari terus bertindak dengan hati nurani.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.