Kebencian Jadi Cinta Umar bin Khattab terhadap Islam

KhazanahKebencian Jadi Cinta Umar bin Khattab terhadap Islam

Siapa sangka, orang yang begitu membenci dan menantang Islam justru kini menjadi pendekar bagi Islam itu sendiri. Sebagaimana doa yang dipanjatkan Rasulullah SAW agar Dzat yang menguasai hati dapat menetapkan di atas keridhaannya. Ya muqallibal qulub tsabit qalbi ‘ala dinik, Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.

Orang tersebut tidak lain Umar bin Khattab. Umar lahir dari keluarga yang mengajarkannya baca-tulis, sebuah keahlian langka yang cenderung dihindari kala itu. Ini bukan hal yang aneh, hanya saja budaya baca-tulis pada era tersebut dinilai memiliki kelemahan daya ingat. Itu sebabnya, orang Arab berlomba memiliki daya ingat yang kuat dengan menghafal sebagai sebuah keahlian, meski tanpa harus bisa membaca dan menulis.

Saat Nabi Muhammad SAW diutus, di situlah orang-orang yang bisa membaca dan menulis dikatakan istimewa. Umar salah satunya, akan tetapi ketika itu ia sangat membenci Islam. Umar termasuk salah seorang dari dua orang yang didoakan Nabi SAW untuk masuk Islam dalam misi memperkuat barisan Islam.

Sejak muda, Umar mahir dalam berolahraga, utamanya olahraga gulat dan berkuda. Sedangkan di balik karakter Umar yang keras, sejatinya ia sosok yang adil, penyayang, antusias, tegas, dan cerdas. Latar belakang keluarganya yang mengalami pahit getirnya  kezaliman dari kerabat Banu ‘Abdi Syam yang kejam dalam peperangan telah mendidik Umar menjadi sosok yang demikian.

Sebenarnya, Umar penganut agama yang taat kendati memang keras kepada mereka yang sampai berani meninggalkan ajaran nenek moyang. Lantaran hal tersebut mereka yang memilih ajaran Nabi saw kebenciannya terhadap Islam pun tumbuh. Terlebih, ketika diperintahkan umat Islam untuk berhijrah ke Habasyah banyak anggota yang terpisah dari keluarganya, hingga menimbulkan kesedihan mendalam atas perpisahan yang terjadi. Melihat semua ini membuat Umar prihatin kemudian benar-benar menjadi geram.

Menurutnya, stabilitas Mekkah menjadi terganggu karena ajaran baru Muhammad dan tidak seharusnya pula meninggalkan nenek moyang mereka. Hatinya memberontak ingin menghabisi Muhammad, dengan harapan Mekkah akan menjadi lebih baik tanpanya. Namun, Allah memiliki kehendak dan kebijaksanaan lain.

Dalam kisahnya, Umar kala itu mencari Nabi SAW bersiap untuk membunuhnya. Kemudian di tengah perjalanan ia bertemu Nu’aim bin Abdullah dan sempat terjadi tanya jawab antar keduanya. Umar mengatakan kalau dirinya ingin menghabisi orang yang sudah memecah belah penduduk Mekkah, tetapi Nu’aim menjawab kalau adiknya Fatimah telah menyatakan keislamannya pada Nabi. Sontak, Umar berputar arah menuju rumah adiknya. Fatimah bersama suaminya sedang belajar membaca al-Quran. Mendengar Umar datang semua orang di dalam rumah itu ketakutan, lalu menyembunyikan selembar musfah di belakangnya.

“Wahai Fatimah apakah yang kau sembunyikan di belakang bajumu?” Fatimah berkata, “Suhuf,” Umar bertanya lagi, “Apa itu suhuf” “Suhuf lembaran al-Quran.”

Baca Juga  Nuzulul Quran, Kebangkitan Spirit Literasi

Syahdan, di bacalah lembaran ayat surat Taha yang membuat hati Umar bergetar. Rupanya Allah telah membalikan hati Umar pada Islam. Spontan ia mengungkapkan, bahwa dirinya belum pernah mendengar kalimat seindah itu, hingga hati dan seluruh badannya terasa gemetar. Lantara terpesona dengan ayat al-Quran, ia pun mencari di mana Rasulullah SAW berada ia ingin menemuinya.

Singkatnya, Umar bertemu Rasulullah SAW lalu dibacakannya surat Taha sampai pada ayat, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatku (QS. Taha: 14). Dengan ini, Umar yang begitu membenci Islam, pada akhirnya menyatakan keimanannya pada Rasulullah SAW.

Umar bin Khattab masuk Islam di penghujung enam tahun masa kenabian Muhammad SAW. Masuk Islamnya Umar menjadi sebuah suka cita yang disambut pula oleh para sahabat. Dalam Shahih Bukhari dikatakan, Kami senantiasa kuat semenjak Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu masuk Islam. Ini juga yang menyebabkan Rasulullah SAW memberikan gelar al-Faruq kepada Umar, sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil.

Melihat kisah masuk Islamnya Umar bin Khattab penulis teringat dengan yang dikatakan oleh Habib Husein Ja’far al-Hadar. Seorang yang membenci karena kesalahpahaman lebih mudah untuk dibenahi, karena pemahamannya masih bisa diluruskan meski membutuhkan waktu yang mungkin tidak sebentar. Hal ini senada dengan Umar yang mulanya melihat Islam dari sudut yang tidak tepat. Intoleransi terhadap Islam begitu menghujam, tetapi saat memperoleh pemahaman yang benar tentang Islam, sahabat Umar bin Khattab tidak lagi membenci, melainkan mencintai dengan sepenuh hati dan mengabdikan selama sisa hidupnya untuk Islam. Tanpa menafikan, bahwa garis takdir Allah yang telah membuat Umar menjadi Islam.

Sebaliknya, tidak mudah membenahi seseorang dengan yang hatinya sudah rusak sejak awal sebab adanya kepentingan-kepentingan. Boleh jadi ia mengakui Islam, tetapi enggan mengakui karena persoalan satu dan lain hal. Sebagaimana Abu Jahal, yang konon secara tersembunyi mengakui kebenaran ajaran Islam, tetapi memilih tetap memusuhi Islam karena mempertahankan kekuasaan sosial yang ada di Mekkah sebagaimana yang dinukil dalam buku Haidar Baghir, Islam Tuhan Islam Manusia (2017).

Demikian kisah Umar bin Khattab yang menjadi salah satu biografi penting dan menarik untuk dipelajari. Sejak memutuskan muallaf, Umar bin Khattab sangat loyal terhadap Islam hingga perjalanan hidupnya yang menjadi khalifah menorah catatan gemilang bagi peradaban Islam, baik dalam sosok pribadinya, ketaqwaan, tanggung jawab sebagai pemimpin, menegakkan keadilan, dan sebagainya memiliki urgensi keteladanan untuk diambil hikmahnya.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.