Berinteraksi Produktif dengan al-Quran

KolomBerinteraksi Produktif dengan al-Quran

Al-Quran merupakan buku kehidupan umat manusia yang bersifat statis sekaligus dinamis. Statis merujuk pada kedudukannya sebagai poros tetap pedoman hidup. Sedangkan dinamis mencerminkan karakter al-Quran yang adaptif dan relevan untuk tiap waktu dan tempat. Rupanya di sepanjang sejarah, tradisi umat Islam didominasi oleh pandangan kalangan tekstualis yang berujung pada krisis relevansi ajaran kitab suci. Interaksi yang terbangun dengan teks ayat cenderung kurang produktif karena coraknya yang normatif-literal, belum menyentuh cara-cara mengakrabi konteks yang dialektis. Untuk membaurkan wahyu Allah dengan kebutuhan manusia di tiap periode dan tempat, perlu kiranya membangun interaksi produktif dengan al-Quran.

Membaca saja serta membiarkan diri didikte oleh pemahaman harfiah al-Quran kita atas kehidupan bukanlah pilihan tepat. Hal itu akan membatasi jangkauan makna al-Quran yang luas serta mempersulit pencarian solusi dari problematika manusia yang kompleks cum dinamis. Tawaran interaksi produktif di sini mengacu pada pembacaan al-Quran secara kontekstual, di mana akan menghasilkan jangkauan lebih luas. Kontekstualisasi menjadi suatu konsep yang niscaya, mengingat proses pewahyuan al-Quran bergumul erat dengan pengalaman empirik manusia. Al-Quran membangun komunikasi dengan masyarakat Arab selaku subyek komunikan. Dengan kata lain, risalah Nabi Muhammad itu merupakan bentuk transformasi kalam Tuhan yang bisa dijangkau oleh pemahaman manusia.

Pandangan Abdullah Saeed mengenai wahyu akan memberikan visualisasi bagaimana interaksi kuat antara al-Quran dengan pengalaman kemanusiaan. Menurutnya, wahyu mengalami empat lapis proses dalam penurunannya. Di tingkat pertama, wahyu bertempat di alam gaib. Manusia tak bisa mengaksesnya. Proses ini diawali dari Allah menurunkan kalam-Nya ke al-lauh al-mahfudz, langit dunia, hingga malaikat Jibril. Tingkat kedua ialah ketika pewahyuan sampai ke Rasulullah, mengalami proses internalisasi ke dalam hati dan pikiran beliau. Kemudian diekspresikan oleh Nabi kepada masyarakat setempat dengan bahasa Arab. Eksternalisasi wahyu dalam konteks sosial-kemasyarakatan dengan pemakaian simbol bahasa menunjuk wahyu mulai berperan dan bersentuhan dengan alam kesejarahan manusia.

Tingkat ketiga, wahyu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat luas. Setelah diterima, Nabi pun mentransmisikan kalam Tuhan tersebut kepada generasi di masanya. Wahyu itu berangsur menjadi teks lisan dan tulis, diajarkan, ditafsirkan, juga diterapkan oleh komunitas awal. Pada level terakhir, memperlihatkan keberlanjutan proses pemahaman dan penafsiran atas teks al-Quran setelah Nabi wafat. Praktik itu dipandu oleh wahyu yang telah final disampaikan Nabi, dan di saat yang sama terus disebarkan dan dieksplorasi oleh tiap generasi. Selain itu, petunjuk ilahiah (ilham) yang diberikan kepada orang-orang dengan kesadaran ketuhanan pun akan terus ada pada segala masa.

Konsep yang ditawarkan Saeed ini menonjolkan keterlibatan pengalaman manusia dalam proses pewahyuan yang terlihat sejak level kedua hingga keempat. Substansi wahyu berjalin erat dengan persoalan kemanusiaan ketika risalah langit itu diturunkan, dan tak lepas pula dari kepentingan misi transformatif Nabi. Hal ini menjadi bukti terang pentingnya pembacaan al-Quran secara kontekstual, memperhatikan kondisi sosio-historis masa pewahyuan dan segala aspek yang melingkupinya. Belum lagi proses bertahap penurunan al-Quran menunjukkan perannya sebagai wahyu yang berdialektika menyapa realitas. Bukan lahir tanpa konteks di ruang hampa.

Baca Juga  Menanggulangi Krisis Identitas Muslim

Kontekstualisasi hakikatnya adalah upaya menghidupkan al-Quran. Suatu langkah yang memaknai diktum shalih li kulli zaman wa makan atas al-Quran. Berinteraksi secara produktif artinya menjaga spirit untuk mengkaji al-Quran secara berkesinambungan dan mendalam. Dioperasionalkan dengan langkah kontekstualisasi yang menuntut proses penalaran untuk menyigi al-Quran beserta segala kompleksitas dimensinya, sehingga bisa menghasilkan tafsiran yang mengarifi kemajemukan realitas.

Nuansa rumit proses pembacaan kontekstual yang mengharuskan penggalian antarmasa, menjadi jawaban mengapa paham Islam garis keras mudah berdiaspora. Hal itu karena paham radikal bersifat quick fix, diseragamkan dan disederhanakan dengan minim pertimbangan. Seorang yang berpaham keras, cenderung tidak mau mengurai jalinan variabel yang saling beririsan dan penting untuk diperhatikan dalam mengkaji teks serta keseluruhan lingkup realitasnya.

Dalam skala yang lebih sederhana, prinsip operasional dalam usaha menciptakan interaksi yang produktif dengan al-Quran adalah memegang nalar kritis. Artinya, manakala membaca ayat lalu mendapati kejanggalan makna ataupun penafsiran, kita tak langsung tunduk, tapi bergerak mencari tahu lebih kemudian menganalisa sebelum akhirnya membakukan pemahaman ayat itu dalam benak serta pikiran kita. Usaha ini guna menghindari ketergelinciran pemahaman dari pakem nilai al-Quran.

Kontekstualisasi dimaksudkan untuk menyampaikan ajaran al-Quran agar dapat dipahami dan diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda. Adanya unsur perubahan hasil makna dari proses kontekstualisasi bukan berarti mencemari esensi teks atau mereduksinya. Jati diri universalitas pesan al-Quran justru akan terungkap oleh proses pembacaan kontekstual. Meminjam teori Ghulam Ahmad Parvez, al-Quran melalui teori kecukupan diri (self-sufficiency) menyatakan bahwa Islam memiliki inti yang statis, namun aplikasinya dalam kehidupan dapat disesuaikan dan penekanannya bersifat dinamis (berubah atau tak terbatas) (MK Ridwan, 2016: 9).

Pada akhirnya, menegosiasikan perjalanan kemanusiaan dengan teks al-Quran adalah hal yang tak bisa dihindari. Pembacaan teks yang bersifat negosiatif akan membebaskan teks dari kebisuan. Tidak adanya upaya kontekstualisasi justru membatalkan pesan al-Quran agar manusia berpikir dan mau memberdayakan akal. Berapa banyak firman Allah bernada sindiran agar manusia mengoperasikan nalarnya? Afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tatadzakkarun, in kuntum ta’qilun, la’allakum tatafakkarun, dan sederet redaksi tegas lainnya agar kita berpikir.

Interaksi produktif akan menggeser cara pandang normatif bahwa membaca al-Quran sebagai kegiatan ibadah yang akan menghasilkan pundi pahala, meningkat menuju motif yang lebih hidup dan transformatif, yakni keinginan memahami makna dan nilai-nilai al-Quran untuk menempatkannya sebagai solusi mencerahkan yang tahan bantingan zaman. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.