Tafsir Surat Ad-Dhuha ayat 6-11

RecommendedTafsir Surat Ad-Dhuha ayat 6-11

Pada pembahasan tafsir ayat 1-5 menjelaskan tentang sumpah Allah yang tidak meninggalkan Nabi SAW, dibuktikan dengan adanya anugerah dan nikmat kepada beliau. Maka pada ayat 6-11 sekilas akan dirinci berbagai kenikmatan yang diberikan kepada Nabi dan nilai sosial kehidupan.

Secara eksplisit yang dibahas pada ayat 6-11 mengisahkan perjalanan kehidupan Nabi SAW yang terlahir menjadi seorang yatim lantas Allah sedemikian mungkin mengatur alam semesta mengantarkannya sebagai seorang utusan Tuhan yang menebar kasih di muka bumi. Apa yang pernah dirasakan beliau saat tak memiliki kedua orang tua sejak kecil tetapi tak kekurangan kasih sayang dan diberi rezeki yang cukup, kiranya itu menjadi anugerah sekaligus hikmah agar beliau berbuat baik pula terhadap anak yatim dan mereka yang papa.

Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu ia melindungi(mu).

Tafsir ayat 6 menurut Qurasih Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan, tidak sepakat denga ulama yang menyebut Nabi Muhammad SAW sejak kecil telah memiliki keistimewaan yang unik sehingga wajar jika dinamai yatim. Pasalnya, yatim itu identik dengan orang yang mengalami penganiayaan, perampasan hak, dan tidak memperoleh pelayanan layak dan penghormatan. Sehingga makna yatim yang dimaksud al-Quran tersebut adalah perlindungan yang melahirkan rasa aman dan ketentraman.

Ibnu ‘Asyur memahami perlindungan yang dimaksud yaitu kesempurnaan dan istiqamah serta pendidikan juga pemeliharaan yang baik. Padahal, lazimnya anak yatim pada masa tersebut tidak jauh mendapat kelayakan dan mengantarkannya pada kekurangan. Tak hanya itu, pola asuh yang dilakukan silih berganti berdampak negatif pada jiwa. Namun, hal ini tidak terjadi pada Nabi SAW. Itu sebabnya, yatim yang disematkan kepada beliau merupakan anugerah. Jika para pakar mengungkap, pembentukan karakter bersumber dari orang tua, sekolah, bacaan, dan lingkungan. Sayangnya, keempat faktor itu tidak menyentuh atau memengaruhi kehidupan Nabi. Semua ini disebabkan Allah yang memberi perlindungan.

Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk. Adapun tafsir ayat ke 7 membahas tentang apa yang menjadi kebingungan Nabi, Allah senantiasa memberi petunjuk. Quraish Shihab menyatakan, Rasulullah SAW pernah mengalami kebingungan karena tidak mengetahui jalan yang benar. Beliau melihat orang-orang menyembah berhala, ajaran-ajaran Nasrani dan Yahudi tak kunjung memberi kepuasan spiritualnya. Lantaran hal tersebut, beliau menyepi di gua Hira untuk bertahannus lalu Jibril datang untuk membawa petunjuk-petunjuk dari Allah SWT melalui kalam kudusnya.

Dan dia mendapati(mu) sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberi kecukupan

Dilanjutkan pada ayat 8, Bintu al-Syathi’ menguraikan lafal ‘aila dari segi bahasa berarti kesengsaraan dan kekurangan, sehingga lawan kata tersebut yaitu ghina ‘kecukupan atau kekayaan. Di sini Allah mencukupkan Nabi Muhammad SAW pada masa kecilnya dengan pemeliharaan Abu Thalib. Kemudian saat Abu Thalib kesusahan Allah cukupkan dengan Khadijah, setelah surut kekayaan Khadijah syahdan Allah datangkan Abu Bakar, sahabat-sahabat beliau dan orang-orang Anshar.

Baca Juga  Zuhairi Misrawi Pererat Hubungan Indonesia-Arab Saudi

Semua rezeki itu telah diatur Allah untuk mencukupi kehidupan beliau dari sumber yang tak terduga. Kecukupan tidak diukur dengan banyaknya materi, tetapi rasa syukur setiap nikmat yang didatangkan mampu menutupi kekurangan yang ada.

Maka terhadap anak yatim janganlah kamu bersikap sewenang-wenang.

Dalam ayat ke-9 ini, Allah mengisahkan kondisi masyarakat jahiliyah yang tidak mengindahkan hak-hak anak yatim. Memberikan perhatian pada anak yatim itu perlu sebagai upaya menjaga kondisi kejiwaan mereka hingga dewasa dan tidak terbawa pergaulan yang keliru, karena kurangnya kasih sayang serta arahan dari orang-orang sekitarnya. Bagaimanapun perasaan anak kecil itu amat sensitif, terlebih kepada anak yang kehilangan peran orang tua untuk melindunginya sehingga harus lebih berhati-hati untuk menjaga perasaannya.

Surat Ad-Dhuha yang tergolong turun pada periode Mekkah pesan-pesan untuk memperhatikan belum begitu rinci. Baru setelah periode Madinah, lebih spesifik mencakup agar berkata baik dan lembut pada anak yatim, tidak menghardiknya, serta membantu mengembangkan harta mereka.

Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardik(nya)

Sementara ayat ke-10, setelah mengingatkan Nabi SAW agar memerhatikan anak yatim pesan berikutnya tidak menyakiti orang yang meminta-minta. Al-Baidhawi menafsirkan, tidak boleh memaki peminta-minta lantaran mereka tidak punya harta. Ketika melihat pengemis maka tidak sepatutnya orang tersebut dicela, karena merasa risih ia diusir dan diperlakukan tidak manusiawi. Berbagilah apa yang bisa dibagi, tetapi jika tidak ada maka jangan menghardiknya.

Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur). Terakhir terkait ayat 11 tersebut Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah senang melihat tampaknya bekas nikmat Allah pada hamba-hambanya (HR. Tirmidzi dan An-Nasai). Syekh Muhammad al-Utsaimin, menerangkan hendaklah setiap orang bersederhana dalam setiap aktivitasnya. Hendaklah ia bersederhana dalam pakaian, makan, dan minum. Namun, jangan sampai menyembunyikan nikmat Allah. Sebab Allah menyukai jika melihat bekas nikmat pada hambanya.

Sebagaimana orang yang berilmu, alangkah senangnya jika Allah melihat keagungan ilmu yang diberikannya ia gunakan untuk mengajari orang-orang, tetapi bukan karena keangkuhan. Kepada yang diberi kekayaan, nikmat materi ini amat disukai Allah kalau ia sedekahkan untuk orang yang membutuhkan, sehingga bekas kenikmatan itu terlihat. Alhasil, bekas atau menceritakan nikmat yang dimaksud bukan untuk dipamerkan, melainkan diaplikasikan pada hal yang bermanfaat sehingga orang lain dapat merasakan pula kenikmatan yang diberikan Allah SWT.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.