Jihad Akbar dengan Berpuasa

KolomJihad Akbar dengan Berpuasa

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh rahmat dan berkah yang melimpah bagi umat Islam. Bulan suci di mana turunnya al-Quran pada malam hari (lailatul qadar). Bulan Ramadhan juga medan dan waktu yang tepat bagi spirit jihad Muslim sebagai terapi spiritual yang berfungsi penuh keikhlasan, kesabaran, dan kegigihan beribadah dan beramaliah dengan penuh keimanan yang teguh.

Di tengah masih merebaknya Covid-19 yang mengintai nyawa manusia di seantero bumi ini, dimensi puasa menjadi sangat bermanfaat bagi kesehatan jasmani, psikologis, dan medis. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Puasa itu perisai atau benteng pertahanan diri yang kokoh (HR. Muslim). Dalam berpuasa, seseorang dituntut untuk melaksanakan jihad akbar mengendalikan hawa nafsu setan yang menggoda; yang bersemayam dalam diri setiap Muslim.

Jihad menurut pengertian Islam yang benar terbagi menjadi dua: pertama jihad akbar (besar), dan yang kedua jihad asghar (kecil). Dari pengertian keduanya, memiliki akar dan substansi yang sama, yakni mengendalikan. Jihad asghar adalah jihad berperang melawan musuh yang menindas atau yang menghalangi tegaknya tauhid sebagai agama yang diridhoi Allah SWT.

Sedangkan jihad akbar adalah melawan musuh yang tak terlihat, yakni musuh dalam selimut—yang mayoritas orang mengatakan musuh paling mengancam dan berbahaya—siap menikam kita kapan pun dan di mana pun. Musuh yang yang tak terlihat dan berbahaya itu adalah musuh yang bercokol dalam diri, yakni hawa nafsu yang terkendali, yang bersifat ruhaniah.

Imam al-Ghazali membagi hawa nafsu—musuh dalam diri—menjadi tiga bagian. Pertama nafsu ammarah, ialah nafsu emosional yang bersifat kemurkaan, kebengisan, jengkel, dendam, cerca, makian, menghardik, mangkal, geram, benci, naik pitam, iri, dengki, hasad, dan seterusnya, yang tak tertahankan dan zalim. Jika tak terkendali, nafsu ini berimplikasi tidak baik terhadap orang lain. Sebab nafsu ini adalah sifat kebinatangan yang buruk dalam diri setiap manusia.

Kedua nafsu lawwamah. Nafsu yang disesali dan dipersalahkan. Nafsu ini berkaitan dengan jiwa seseorang yang tidak seimbang. Satu sisi ia menerima petunjuk dari Allah SWT dengan menjalankan ibadah, akan tetapi tidak konsisten. Terkadang ia berbuat kebajikan, tapi dilain waktu, ia berbuat maksiat secara sembunyi-sembunyi. Pendapat lain mengatakan bahwa nafsu lawwamah adalah nafsu yang tidak terlihat dan selalu menyalahkan. Misalnya, mengapa kamu melakukan hal tercela? Mengapa tidak beribadah dan bertakwa? Bukannya itu lebih baik. Mengapa dulu bermaksiat, dan sebagainya.

Ketiga, nafsu muthmainnah. Nafsu ini adalah nafsu tertinggi sekaligus paling berat mengendalikannya. Mengapa dikatakan demikian? Sebab nafsu ini adalah kebalikan dari nafsu ammarah. Nafsu muthmainnah adalah seorang mukmin yang telah diberi hidayah berupa petunjuk dari Allah, memiliki keyakinan penuh terhadap ketentuan-ketentuan Allah, teguh menjalankan sunnah Nabi SAW, dan percaya penuh pada janji Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak, berada di pintu hakikat dan makrifat Allah, menyandarkan segalanya kepada Allah tanpa pernah mengeluh dan berputus asa atas rahmat-Nya, dan tentu saja tak pernah terlena, terbuai, dan tenggelam atas seluruh pemberian yang diberikan-Nya.

Hal istimewa lain dari nafsu muthmainnah adalah seorang mukmin yang patuh dan taat atas segala perintah dan larangan-Nya. Ritus peribadatan yang dilakukannya, ikhlas murni dan hanya semata-mata mengharap ridha dari Allah SWT. Ia tidak melaksanakan perintah-Nya lantaran didorong oleh keinginan-keinginan keduniawian, seperti ingin dilihat orang dengan hawa nafsu yang menyelimutinya. Ia juga tidak tertarik atas kepemilikan dan hak orang lain.

Baca Juga  Tetap Menuntut Ilmu, Walau Sudah Jadi Guru

Sebagaimana ajaran Ranggawarsita dalam serat Sabda Jati tertulis, “Di zaman edan, kerendahan nafsu manusia semakin menjadi-jadi, keserakahan makin merajalela. Banyak hati angkara murka memerkosa kebenaran.” Hati perlu dibersihkan dari segala kotoran ikatan yang berbau duniawi, kemudian mendekatkan diri dengan Tuhan melalui jalan takwa.

Oleh karena itu, puasa adalah momentum terbaik untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri. Momentum puasa, tidak datang setiap waktu. Momentum istimewa ini hanya datang selama satu bulan dalam kurun waktu satu tahun, di mana kita bisa mendidik diri kita sendiri. Juga momentum untuk mengadakan evaluasi tahunan tentang perilaku kita selama sebelas bulan yang sudah; baik kaitannya dengan Tuhan kita maupun yang berkenaan dengan sesama hamba-Nya (A. Mustofa Bisri, 2016: 62).

Akan sangat merugi jika kita melewati bulan Ramadhan yang penuh keberkahan dan rahmat ini dengan melakukan aktivitas seperti hari biasanya. Kita terbiasa membenci, mencela, iri, dengki, dan nafsu ammarah yang menguasai. Kini, cobalah mulai kita kendalikan hawa nafsu itu di medan jihad puasa tahun ini. Karena jihad mengendalikan hawa nafsu dalam diri tergolong sebagai jihad akbar, jihad yang seharusnya secara istiqamah kita lakukan. Bahkan tidak hanya saat momentum di bulan puasa, setelahnya justru jihad akbar ini harus terus diupayakan sebagai efek domain dari momentum istimewa evaluasi dan perbaikan diri.

Salah satu jihad akbar yang harus kita lakukan pada momentum bulan Ramadhan tahun ini adalah penyucian hati. Penyucian hati yang dilaksanakan melalui jalan melepaskan diri dari segala ikatan dunia dan mengisi hati sepenuhnya hanya dengan Allah saja merupakan hal yang amat sulit dan berat (Prof. Dr. Simuh, 2019: 94). Karena itu saya memberi judul dalam artikel saya ‘Jihad Akbar dengan Berpuasa’. Di mana bulan Ramadhan adalah bulan jihad untuk mengendalikan hawa nafsu yang mengancam dan berbahaya jika tidak dapat kita control dengan baik.

Dari beberapa poin hawa nafsu di atas, jelas bahwa kita perlu upaya serius untuk melaksanakan kewajiban berjihad dan berperang dalam batiniah yang menghasilkan akhlak luhur dan moral-etik, demi kehidupan kita yang lebih baik lagi pada masa yang akan datang. Titik pusat kekeringan spiritual umat Islam adalah nafsu yang menyelimuti. Betapa sulitnya mengendalikan hawa nafsu dalam diri itu, maka saya sebut sebagai jihad akbar.

Pada momentum Ramadhan tahun ini, mari kita berjihad akbar memperbaiki nilai moralitas kita dalam kehidupan. Jangan sampai kita diperbudak (lagi) oleh musuh yang tidak terlihat nyata; yang bersemayam dalam diri. Serta berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri dari godaan-godaan nyata yang terlihat secara kasat mata. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.