Tafsir ‘Laki-laki tidak sama dengan Perempuan’ (QS. Ali Imran: 36)

RecommendedTafsir 'Laki-laki tidak sama dengan Perempuan' (QS. Ali Imran: 36)

Laki-laki dan perempuan diakui berbeda secara fisik. Tetapi Hal ini tidak menyiratkan superioritas satu dari yang lain. Pandangan ini tidak diragukan lagi diferensial tetapi sama sekali tidak diskriminatif. Menjadi seorang wanita atau seorang pria berarti menjadi yang lain tanpa menjadi inferior dalam relasi. Pengakuan hak atas persamaan tidak terlepas dari hak untuk berbeda.

Sepanjang waktu dan sejarah manusia, terbukti bahwa diskriminasi terhadap jenis kelamin perempuan telah menjadi kejadian umum, dan lebih jauh, dilegitimasi dalam wilayah yang sakral, hak prerogatif laki-laki terhadap perempuan sering kali dianggap sebagai perintah ilahi. Qs. Ali imran ayat 35 yang memuat ungkapan, wa laisa dzakaru kal untsa, yang artinya dan tidak sama laki-laki dan perempuan, sering dijadikan dalil untuk menghukumi superioritas laki-laki dan mendiskriminasi perempuan.

Padahal, melalui pandangan yang utuh terhadap ayat tersebut, kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa ayat itu justru menghapus superioritas dan menyetarakan laki-laki dan perempuan. Allah SWT mengoreksi situasi diskriminatif terhadap perempuan dengan menampilkan perempuan sebagai figur yang setara bahkan mampu melebihi laki-laki pada umumnya. Di dalam kisah kelahiran Maryam dalam QS. Ali Imran ayat 35-37, Al-Quran menunjukkan kepada manusia, bahwa kekuatan dan potensi bukanlah soal jenis kelamin, melainkan soal kebajikan dan kesalehan. Dan Maryam, tidak diragukan lagi, adalah sosok keshalehan universal manusia, yang membuat takjub orang-orang sepanjang sejarah.

Suara perubahan sosial ini diawali ketika ibu Maryam, Hanah binti Faqudz, mengandungnya dalam usia yang telah lanjut. Ia adalah seorang wanita shalihah di zaman Bani Israil yang menanti seorang buah hati sejak lama. Menjelang masa tuanya, ia akhirnya dapat mengandung. Kemudian atas rasa syukur dan ketakwaannya, ia berjanji kepada Tuhan untuk menjadikan anak yang dikandungnya sebagai anak yang Muharrar, artinya bebas dan merdeka. Yaitu bebas merdeka dari segala keterikatan yang dapat membelenggu seseorang dalam mewujudkan kehendak serta identitasnya sebagai manusia.

Ingatlah, ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, janin yang dalam kandunganku kelak menjadi hamba yang mengabdi kepada-Mu, maka terimalah nazar itu dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS. Ali imran: 35)

Kebebasan dan kemerdekaan manusia itu terletak pada ketundukan mutlak kepada Tuhan, tidak terganggu oleh apa dan siapapun dalam pengabdian kepadanya. Substansi inilah yang dikehendaki oleh isteri Imran bagi anak yang dikandungnya sebagai Muharrar, yaitu seorang yang berkhidmat secara patuh di Bait al-Maqdis, sebuah pusat peribadatan kepada Tuhan.

Namun, berdasarkan konteks sosial saat itu, semua harapan memiliki anak yang merdeka lahir batin tersebut hanya dapat terwujud jika anak yang dilahirkannya adalah anak laki-laki. Karena dalam konteks masyarakat saat itu hanya Laki-laki yang mampu memperoleh kebebasan dan kemerdekaan diri secara penuh untuk menjadi pengabdi di Bait al-Maqdis, sedangkan perempuan dianggap memiliki keterbatasan-keterbatasan alamiah yang menghalanginya untuk mengabdi di rumah suci.

Baca Juga  Ngatawi Al-Zastrouw: Shalawat Itu Seni dalam Gerakan Keagamaan

Lalu, bagaimana jika yang terlahir setelah itu adalah anak perempuan? Ketimpangan kemerdekaan sosial antara laki-laki dan perempuan yang membudaya pada saat itu membuat isteri Imran, Hannah, khawatir tidak dapat memenuhi janji yang telah dibuatnya kepada Tuhan.

Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. ”Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari (gangguan) setan yang terkutuk.” (QS. Ali imran: 36)

Kita, pembaca al-Quran, dapat merasakan ratapan pahit terhadap ketidakadilan dari praktik diskriminatif, di mana tatanan sosial mapan yang menghalangi gadis-gadis mengakses kekuatan agama! Dalam doa yang intim dengan Tuhan ini, Hanah meratap, memohon dan menceritakan kepada Penciptanya, agar sumpah nazarnya dapat dipenuhi bahkan oleh seorang putri.

Anak laki-laki tidak sama dengan anak perempuan (QS. Ali Imran ayat: 36). Menurut tafsir Al-Misbah, ini adalah perkataan Allah SWT. Dan makna dari perkataan itu sebenarnya bukan berarti kedudukan anak perempuan yang dilahirkan ibunya itu, lebih rendah dari anak laki-laki yang diharapkannya. Bahkan anak perempuan ini, tidak sama dengan laki-laki karena lebih baik dan agung, anak perempuan itu adalah Maryam binti Imran, perempuan suci yang kelak akan melahirkan Nabi Isa AS.

Bayi perempuan yang dilahirkan Hannah itu adalah perempuan yang ditakdirkan Tuhan untuk bebas dan merdeka sebagaimana laki-laki. Ia menjadi suara lantang sebuah perubahan sosial. Di tengah ketidakberdayaan seseorang dalam menghadapi realitas itu, dibanding membatalkan tekat janji ibunya, Tuhan malah menerima dan mengabulkannya. Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. (QS. Ali Imran: 37)

Anak perempuan yang menurut tradisi tidak dapat bertugas di rumah Tuhan itu, justru ditakdirkan untuk tumbuh dan berkembang dengan pendidikan yang baik. Bahkan di luar kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat saat itu, anak itu menjadi pengkhidmat di rumah Tuhan sesuai harapan ibunya.  Melalui pembebasannya, Tuhan menyampaikan pesan kepada semua perempuan dan laki-laki untuk membebaskan diri dari segala bentuk belenggu. Tidak diragukan lagi, inilah makna mendalam dari visi Islam tentang pembebasan manusia.

Demikianlah salah satu cara Tuhan mengajarkan kepada umatnya tentang kemedekaan dan kesetaraan. Kemerdekaan perempuan sama dengan kemerdekaan laki-laki, gema suara itu datang dari al-Quran, melalui kisah kelahiran Maryam, Ali Imran ayat 35-37. Di sini kita dapat melihat bahwa ayat tersebut dimaksudkan untuk menentang dan mengoreksi tradisi ketidakadilan terhadap perempuan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.