Hati-hati Delusi Pintar dalam Belajar Agama

KolomHati-hati Delusi Pintar dalam Belajar Agama

Dalam tradisi keilmuan Islam, kita mengenal perilaku yang amat tercela bagi seorang penuntut ilmu, yaitu ta’alum atau ‘pura-pura berilmu’. Mengaku paham dalam masalah agama hanya dengan membaca beberapa buku atau menjelajah internet, bukan dengan belajar, menempuh pendidikan, dan berdiskusi dengan orang berilmu. Orang yang baru belajar setitik ilmu kemudian merasa memiliki pengetahuan yang besar, merupakan pseudo-pengetahuan yang sangat berbahaya bagi dirinya sendiri maupun masyarakat. 

Sebenarnya, ketidaktahuan merupakan masalah sederhana yang mudah diatasi dengan bertanya dan mencaritahu. Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahl: 43). Sebuah hadits juga menyatakan, obat untuk kebodohan adalah bertanya (HR. Abu Dawud). Akan tetapi, ketidaktahuan yang tidak disadari karena merasa sudah pintar, merupakan masalah yang berbahaya dan jauh lebih merusak.

Salah satu pepatah Arab yang cukup familiar berbunyi, nisf al-ilm akhtaru min al-jahl, pengetahuan setengah matang lebih berbahaya daripada kebodohan. Di lingkungan terpelajar sekalipun, orang-orang mengakui bahwa “musuh terbesar dari pengetahuan bukanlah ketidaktahuan, melainkan ilusi pengetahuan”. Tidak dapat dipungkiri, di era matinya kepakaran ini, sebagian besar postingan Islam di Internet mencirikan pengetahuan setengah matang dan ilusi pengetahuan yang cukup mengkhawatirkan.

Orang yang pengetahuannya setengah matang, serta tidak menyadari ketidaktahuannya, biasanya, menjadi agen aktif dalam menghancurkan persatuan dan persaudaraan sesama Muslim. Perasaan ‘sudah pintar’ kerap menyebakan seseorang merasa paling benar sendiri, paling haqq, dan menganggap yang lain keliru dan batil. Seseorang yang bersikukuh bahwa pendapatnya sendiri yang benar, sulit menyadari bahwa sebenarnya, dalam tradisi keilmuan Islam sendiri, ada kemungkinan lebih dari satu pendapat yang valid. 

Pada akhirnya, delusi kepintaran seperti itu menuntunnya untuk merendahkan, mencemarkan nama baik, dan memusuhi orang-orang yang berbeda dengannya. Kefanatikan dan keangkuhan membabi buta seperti itu, tanpa disadari, telah menjerumuskan seseorang dalam proyek setan untuk memecah belah umat. sampai di sini dapat dibayangkan, betapa menyebalkannya seseorang yang mengidap penyakit ‘merasa pintar’, bukan?

Dalam tradisi pembelajaran Islam, cendekiawan Muslim, guru, dan pelajar Islam, selalu diperingatkan agar berhati-hati dengan karakter Abu Syibr.  Abu Syibr adalah potret seseorang yang pengetahuannya dangkal tapi bertindak bagaikan orang alim yang berpengalaman, akibat tidak menyadari ketidaktahuannya. Ia terjebak dalam kesombongan karena merasa pintar dengan ilmu yang tidak seberapa. Orang yang baru belajar agama kemudian langsung merasa pintar seperti Abu Syibr, menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajarinya masih amat sedikit.

Dalam Majmu‘at al-‘Ilmiyyah (1997: 198) dikatakan bahwa, pengetahuan memiliki tiga rentang. Siapa pun yang memasuki rentang pertama menjadi sombong, siapapun yang memasuki yang kedua akan merasa rendah, sedangkan siapa pun yang memasuki yang ketiga menyadari bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Jadi, seorang pembelajar sejati tidak akan sok tahu dan merasa puas dengan pengetahuannya. Dibanding merasa pintar, menyadari ketidaktahuan itu lebih penting bagi perkembangan intelektualitas seseorang.

Baca Juga  Sakdiyah Ma’ruf: Isu Perempuan bukan Isu Sensitif

Terlebih lagi, berbicara tentang Allah, agama-Nya, atau aturan-Nya, tanpa sepengetahuan yang utuh, merupakan kejahatan keji. Sok tahu tentang persoalan agama sama artinya dengan berbohong terhadap Allah dan agama Islam. Hal demikian sangat tercela sebagaimana yang tergambar dalam al-Quran,  janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ”Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung (QS. An-Nahl: 116). Kita harus membentengi diri dari kejahatan keji semacam ini.

Salah satu pertahanan terbaik agar kita tidak mabuk pada pengetahuan yang dangkal adalah belajar mengakui ketidaktahuan. Sebuah kutipan dari kearifan Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi SAW yang memiliki kedalaman ilmu dan kecerdasan, berbunyi “la adri nisf al-‘ilm”. Yang bermakna “mengatakan ‘saya tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu”. Faktanya, menjawab dengan, ‘Saya tidak tahu’ tidak akan merendahkan status seseorang, seperti yang dibayangkan orang awam. Sebaliknya, kejujuran dan kerendahatian semacam itu merupakan bukti atas derajatnya yang tinggi, kekuatan agamanya, dan kesucian hatinya.

Maka dari itu, kegiatan belajar, bertanya, berdiskusi, dan bertumbuh dalam ilmu Islam harus dilakukan dengan kerendahan hati dan kesadaran tentang ketidaktahuan. Sedikit pengetahuan sebenarnya tidak berbahaya jika tidak diiringi dengan niat yang buruk, seperti ingin pamer, terkenal, atau terlihat pintar. Kita semua memiliki pengetahuan setengah matang tentang banyak hal. Namun, pengetahuan setengah matang kita akan matang dan menjadi pengetahuan yang bercahaya, apabila kita terhindar dari penyakit ‘Merasa sudah pintar’ yang amat berbahaya tadi. 

Tentu saja, tidak semua orang yang baru memasuki tahap pembelajaran awal selalu menjadi mabuk dan sok pintar. Apabila kita menerima ilmu dari guru yang bijak dan ulama yang shahih, maka lebih kecil kemungkinan kita terjerumus di bawah kesombongan ilusi pengetahuan ala Abu Syibr. Maka dari itu, penting sekali untuk mempelajari Islam dari ulama atau guru yang benar-benar berilmu, bukan ustadz palsu dan aktivis dakwah yang hanya nekat berbicara persoalan Islam tanpa pengetahuan yang memadai. 

Singkatnya, ‘merasa pintar’ itu merupakan penyakit yang cukup berbahaya bagi proses pendidikan dan pembelajaran seorang Muslim. Delusi kepintaran seperti itu akan membuat perkembangan pengetahuan seseorang terhenti, bahkan menjerumuskannya ke dalam kebodohan yang lebih parah, yaitu kesombongan. Kecerdasan yang sejati menuntun kita untuk menyadari kelemahan dan ketidaktahuan diri sendiri sehingga terus memacu kita untuk memperdalam pengetahuan. Jadi, waspadalah terhadap bahaya ‘merasa pintar’ ketika belajar agama.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.