Kesetaraan Gender Itu Islami

KhazanahKesetaraan Gender Itu Islami

Tidak sedikit masyarakat Muslim yang beranggapan bahwa gagasan tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender adalah ‘gagasan barat yang liberal dan sekuler’.  Anggapan ini didukung oleh agamawan yang memiliki pemahaman bias gender dan dilegitimasi konstruksi tafsiran agama dari era klasik yang sudah tidak relevan. Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im, seorang cendekiawan Islam, gagasan tersebut harus ditolak dengan menunjukkan bahwa ‘hak dan kesetaraan perempuan dan laki-laki adalah Islami’.

Diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan merupakan kelaziman pada masyarakat pra-modern. Bentuk diskriminasi bervariasi dari masyarakat ke masyarakat, tetapi secara umum berakar pada pandangan kronis bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan dalam budaya Barat pra-modern, wanita dianggap sebagai properti di mata hukum.

Konteks masyarakat inilah yang menjadi titik tolak al-Quran untuk mengambil posisi ‘berpihak pada perempuan’. Pada masa pra-islam, masyarkat jahiliyah memandang anak perempuan sebagai sumber rasa malu, praktik pembunuhan bayi perempuan lazim dipraktikkan oleh suku-suku tertentu. Hingga Perdagangan perempuan melalui perjanjian, kebiasaan menikahi banyak istri, serta penindasan terhadap hak-hak perempuan.

Sunnah Nabi SAW dan wahyu al-Quran memperkenalkan serangkaian reformasi yang menantang banyak elemen ketidakadilan pada perempuan yang saat itu berlaku. Maka, merujuk pada fakta awal kemunculannya, Islam sangat menghormati hak-hak wanita, dan al-Quran melegalkan sejumlah reformasi revolusioner untuk mengeluarkan perempuan dari ketertindasan.

Kedatangan Islam telah membawa perubahan bagi perempuan, di antaranya, menentang tradisi masyarakat yang mengubur bayi perempuan hidup-hidup karena takut miskin (Qs. Al-Isra’: 31); Islam memberi perempuan hak untuk memiliki harta dan warisan (QS. An-Nisa: 7); sesuatu yang sebelumnya tidak dijamin oleh perempuan dalam budaya itu. Al-Quran memberikan batasan dan mengakhiri praktik menikahi banyak wanita yang merupakan praktik umum dalam masyarakat saat itu (QS. An-Nisa: 3), dan perempuan juga mendapat hak untuk menerima mas kawin, serta melarang praktik memaksa seorang istri membuat surat wasiat untuk kepentingan suaminya yang menuntut harta yang telah diberikannya (QS. An-Nisa: 20).

Baca Juga  Nabi SAW Menekankan Hak Kaum Buruh

Semua itu benar, meskipun tingkat pencapaian ini mungkin tidak nampak mengesankan menurut beberapa standar modern, tetapi sebagaimana pandangan Abdullah An-Na’im, pencapaian tersebut merupakan peningkatan yang sangat signifikan hak-hak wanita jika dilihat dalam perspektif sejarah.

Tidak dapat dipungkiri, catatan besar sejarah perjuangan pengakuan hak-hak perempuan pada awal Islam tersebut, hanya tinggal sedikit kaitannya dengan kondisi riil wanita dalam masyarakat-masyarakat Muslim saat ini. Kesulitan yang mereka alami justru berasal dari dalam kamuflase Syariah, yang oleh  Abou El Fadl dibedah dan dipisahkan, antara hukum Islam dan ‘hukum Muslim’.

Pakar Hukum Islam tersebut mencatat bahwa sebagian besar tradisi misoginis dan interpretasi hukum Islam yang bias gender, munculnya belakangan. Muslim mengadopsi praktik hukum atau budaya dari daerah dan masyarakat sekitar Arab, termasuk kebudayaan Yahudi dari Persia, Mesopotamia, Mesir dan provinsi Romawi lainnya, menjadi bagian dari aturan yang diterapkan dalam masyarakat Muslim.

Oleh sebab itu, perempuan yang pada awalnya berperan cukup aktif dalam kehidupan publik pada masa Nabi SAW, sebagai ulama, penyair atau perawi hadits. Akhirnya terpinggirkan oleh sikap diskriminatif dari laki-laki, seperti budaya pada masa pra-Islam, Yunani, dan Romawi.Dengan demikian, jelas mana yang sesungguhnya ajaran Islam, dan mana yang hanya konstruksi sosial-budaya masyarakat yang tidak konsisten terhadap spirit ajaran Islam sebagai agama pioneer yang memperjuangkan hak-hak Perempuan.

Singkatnya, hak-hak dan kesetaraan perempuan dan laki-laki adalah budaya Islami, berasal dari ajaran Islam itu sendiri, dan dipraktikkan oleh generasi awal Islam. Nabi SAW bukan hanya membebaskan perempuan pada zamannya, dengan keteladanan dan ajarannya yang sampai pada kita hari ini, ia sebenarnya membebaskan seluruh perempuan di abad-abad kemudian. Jadi, kesetaraan gender itu islami.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.