Mengingat Peralihan Arah Kiblat Umat Islam di Bulan Sya’ban

Dunia IslamMengingat Peralihan Arah Kiblat Umat Islam di Bulan Sya’ban

Dari sekian peringatan yang terjadi di bulan Sya’ban, peristiwa peralihan arah kiblat penting untuk kembali ditelaah. Kiblat yang sebelumnya terarah di Baitul Maqdis berpindah ke arah Baitullah. Peristiwa ini sangat menguji keimanan umat yang masih dalam priode awal Islam, hanya orang yang kuat iman hatinya tidak berpaling dari agama Allah SWT.

Saat kali pertama menghadap kiblat ke arah Baitul Maqdis yang ada di Yerusalem, Palestina, orang-orang Yahudi menjadikan umat Islam sebagai ejekan. Syekh Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, orang Yahudi dulu berkata, “Muhammad sebelumnya berbeda (arah kiblat) dengan kita, lalu ia mengikuti kami. Andai saja tidak ada kami, pasti ia tidak tahu akan menghadap kiblat ke arah mana.”

Nabi Muhammad SAW pun merasa tidak nyaman, karena merasa Baitul Maqdis merupakan tempat bagi kiblat umat Yahudi. Sebelum peralihan, kepala Nabi SAW menengadah ke atas menunggu wahyu datang. Tak lama setelah itu, turun kabar gembira atas jawaban doa beliau.

Sebagaimana dalam firman Allah SWT, Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah kamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani)yang diberi kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (QS. Al-Baqarah: 144).

Dalam hadis diriwayatkan dari Anas bin Malik, Bahwasannya Rasulullah SAW sedang mendirikan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Kemudian turunlah ayat al-Quran. Sesungguhnya kami selalu melihat mukamu menengadah ke langit (berdoa menghadap ke langit). Maka turunlah wahyu memerintahkan baginda menghadap ke Baitullah (Ka’bah). Sesungguhnya kamu palingkanlah mukamu ke kiblat yang kamu sikai.Palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram. Kemudian seorang lelaki Bani Salamah berkata, Ketika itu orang-orang ramai sedang ruku’ pada rakaat kedua shalat fajar. Beliau menyeru sesungguhnya kiblat telah berubah. Lalu mereka berpaling ke arah kiblat (HR. Muslim).

Peristiwa peralihan kiblat tersebut terjadi pada bulan Sya’ban. Ketika Nabi SAW dan para sahabat sedang shalat dan di posisi ruku’. Bayangkan, jika bukan karena Allah yang menetapkan hati hambanya, tentu bukan perkara mudah untuk mengimani adanya peralihan kiblat saat berlangsungnya pengerjaan shalat. Ini bukan sesuatu yang patut dibercandai.

Sebenarnya, peralihan kiblat menghadap ke arah mana pun, bukan suatu persoalan. Masjidil Aqsha dan Ka’bah, keduanya bangunan yang sama terbuat dari batu yang diambil dari bumi Allah SWT dan alam semesta ini milik-Nya. Milik Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (QS. Al-Baqarah: 142). Kepada arah itu dan kemana pun manusia menghadap, maka ia akan menemukan Tuhan di sana.

Baca Juga  Pentingnya Dai Moderat

Apapun yang diperintahkan Allah SWT itu ada hikmahnya. Lantas apa hikmah dari peralihan kiblat tersebut? Di antaranya, yaitu menguji keimanan umat yang setia kepada Nabi SAW. Pasalnya, diceritakan jika beliau telah menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Mereka yang belum matang keimanannya akan mengira, bahwa Nabi SAW tidak konsisten dan sebagainya.

..Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik kebelakang. Sungguh (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.. (QS. Al-Baqarah: 143).

Kemudian hikmah lainnya adalah menghidupkan kembali sunnah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as sebagai pendiri Ka’bah yang dikenang umat Muslim. Perlu diketahui pula, peristiwa tersebut terjadi saat Rasulullah SAW sudah tinggal di Madinah hingga dua bulan sebelum Perang Badar.

Secara analisis geografis, Masjidil Aqsa berada di lokasi koordinat LU sebesar 31º 46‟ 40.93”. Itu artinya, akan sulit dilalui matahari saat menentukan waktu istiwa’ a’dzam, karena maksimal matahari akan melewati pada garis lintang utara tanggal 21 Juni, tepat berada di lintang. 23.5º LU. Jadi sangat tidak mungkin bisa menentukan arah kiblat dengan matahari.

Sedangkan, Ka’bah di Mekkah berada di garis koordinat21º 25‟ 20.94” LU. Garis ini dibawah 23.5º LU batas matahari melakukan istiwa’ a’dzam. Sehingga setiap tanggal 27/28 Mei dan 15/16 Juli dapat menentukan arah kiblat yang cukup akurat dan mudah. Kemudian, Makkah juga daerah yang cukup stabil dan jarang terjadinya gempa.

Demikian adanya peralihan arah kiblat merupakan peristiwa besar bagi umat Islam yang terjadi di bulan Sya’ban sekaligus awal kemunculan teori naskh dalam syara’. Kendati masih ada Sebagian orang yang tidak mengakuinya, akan tetapi peristiwa tersebut dapat dijadikan acuan sebagaimana adanya. Walhasil, perintah Allah SWT dalam mengalihkan arah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram itu bersifat permanen. Ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik, Semoga kita termasuk orang-orang yang hatinya ditetapkan dalam agama Islam.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.