Menjaga Keragaman Muslimah Indonesia

KolomMenjaga Keragaman Muslimah Indonesia

Setiap tanggal 8 Maret, masyarakat global, terutama perempuan dan aktivis perempuan, merayakan International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional. Inilah momentum untuk memusatkan percakapan dan topik pembicaraan tentang isu-isu yang berkisar pada hak-hak sosial, politik, dan tantangan perempuan pada umumnya. Adanya Hari Perempuan Internasional mendorong kita untuk menyuarakan masalah besar terkait perempuan di sekitar kita yang membutuhkan perhatian.

Memang, masalah perempuan masih sangat banyak. Di Indonesia pun, isu kesetaraan gender misalnya, masih membutuhkan banyak sekali energi perjuangan agar dapat diterima arus utama. Kompleksitas masalah perempuan selalu mengikuti keberagaman perempuan itu sendiri. Bahkan di Indonesia pun, ada keragaman perempuan yang luar biasa. Keberagaman ini bukan suatu masalah, tetapi merupakan rahmat dan berkah. Justru akan menjadi malapetaka jika keragaman ini memudar atau dihapuskan.

Keragaman adalah identitas dan kekuatan unik bangsa kita. Keragaman ini menandakan bahwa, di negeri kita, berbagai etnis, budaya, ras, agama, dapat berkembang dengan karakternya masing-masing, dan masyarakatnya saling menghormati identitas yang melekat pada diri seseorang. Namun, belakangan ini ada satu pemandangan mencolok di tengah keberagaman kita. Yaitu kebangkitan representasi Muslimah yang monolitik, satu tipe, satu model. Ada anggapan kuat bahwa wanita Muslimah sejati adalah wanita yang menyeragamkan diri dengan satu model wajah Islam, yang bergamis, hijab lebar, dan warna-warna gelap.

Tentu saja, masalah bukan terletak pada keseragaman model pakaian atau penampilan. Setiap orang berhak mengenakan pakaian yang menurutnya baik dan benar, kita hanya perlu serta saling menghormati pilihan masing-masing. Tetapi, masalah muncul karena pandangan ‘muslimah monolitik’ ini semakin mendominasi, tidak hanya dengan menanamkan kebenaran eksklusif yang diklaim satu kelompok saja, tetapi juga menyalahkan pihak lain yang berbeda. Muslimah tidak berjilbab, muslimah berjilbab pendek, muslimah berpakaian kasual, muslimah bekerja, muslimah menunda menikah, akan mendapat stigma negatif atau meremehkan agama. 

Hal ini pada akhirnya menimbulkan perubahan sosial yang  cukup masif, yang terlihat dari perubahan tren pakaian, gerakan, dan ideologi di kalangan Muslimah negeri kita. Pudarnya keberagaman adalah satu masalah yang akan menjadi semakin serius. Terutama karena hilangnya keberagaman menandakan hilangnya toleransi, sikap saling menghormati, dan inklusivitas yang sangat penting di tengah konteks negeri yang majemuk. Untuk itulah, penting sekali menjaga keragaman cara hidup dan praktik para Muslimah yang telah berlangsung sejak lama di Indonesia.

Kita, wanita Muslimah Indonesia, harus terus menghargai dan mencintai kekayaan khazanah Muslimah di negeri kita. Keragaman dan kompleksitas yang kita miliki sangat berharga. Wanita Muslimah tidak monolitik. Muslimah merupakan identitas gender dan agama, tetapi ada banyak faktor lain yang membentuk kita. Sayangnya, Arabisasi Islam telah banyak mengaburkan batas antara budaya dan agama, sehingga kita kesulitan melihat kompleksitas diri masing-masing orang. 

Baca Juga  Fakhruddin Faiz: Indikasi Kehampaan Hidup

Ada 1,8 miliar Muslim di seluruh dunia dengan berbagai interpretasi budaya dan agama. Tidak semestinya kita jatuh ke dalam pembentukkan satu rupa Muslimah saja. Di tengah realitas kehidupan kita yang beragam, kita mesti menggunakan pendekatan interaksional terhadap isu perempuan. Kita harus menyadari bahwa ada faktor-faktor berbeda dalam identitas kita yang membentuk keyakinan, praktik, dan kebutuhan kita. Untuk itu, segala dakwah atau ajaran yang tampaknya tidak mengakui dan menghargai keragaman ini, patut dikritisi. 

Narasi dalam al-Quran adalah bukti terbaik tentang bagaimana Allah SWT sendiri mengakui dan mengapresiasi keragaman perempuan dan perannya. Ayat-ayat al-Quran menyanggah mitos-mitos yang berkembang di tengah masyarakat tentang tipe perempuan Muslimah yang seragam.

Al-Quran telah mengambil pendekatan yang sangat seimbang karena menceritakan sejumlah kisah perempuan yang berbeda-beda. Yang tidak digambarkan sebagai ibu atau istri, saja tetapi sebagai individu bebas yang jasanya tidak terbatas dengan dua peran tradisional itu.

Maryam digambarkan sebagai orang yang taat, taat dan suci yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Tuhan. Istri Fir’aun adalah tokoh berpengaruh dalam urusan administrasi suaminya yang kemudian berani menantang otoritasnya.

Istri Aziz digambarkan sebagai individu yang cerdas dan pandai bersiasat, ia tahu bagaimana merencanakan dan meyakinkan orang. Siti Hajar, istri Ibrahim, wanita yang bertahan hidup bersama bayinya di tengah padang pasir, yang kelak menjadi kota Mekkah. Ratu Saba’ dicirikan oleh kemampuan politik, kecerdasan, dan keanggunannya. Kedua putri Syuaib adalah anak perempuan bekerja dan melakukan melakukan tugas yang pada waktu itu didominasi oleh laki-laki.

Beberapa tokoh perempuan dalam kitab suci dan sejarah memang digambarkan sebagai istri dan ibu, yang lain digambarkan sedemikian rupa tanpa memperhatikan kehidupan pribadi atau identitas rumah tangga mereka. Fokus utama dalam kisah mereka adalah peran mereka dalam konteks masing-masing, sebagai manusia mandiri yang merdeka dan tidak terikat oleh stereotip gender konvensional. Di Indonesia, kita juga terus melihat keragaman peran muslimah, mulai dari sebagai ibu rumah tangga, sampai pemimpin penting di tingkat nasional. Yang terpenting adalah saling menghormati dan menghargai, bukan menyalahkan pihak lain.

Singkatnya, gender, agama, dan kompleksitas budaya adalah sumber pengaruh yang saling terkait. Kita harus menghargai keragaman dan perbedaan yang terbentuk dari berbagai macam pertemuan budaya dalam diri setiap individu. Mari jaga keberagaman kita yang unik, menghilangkan segala bentuk prasangka terhadap perbedaan. 

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.