Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan adalah ulama karismatik yang sangat alim. Beliau merupakan mahaguru tradisi spiritual dan intelektual kiai-kiai di Nusantara. Syaikh Kholil Bangkalan merupakan guru yang sangat arif. Ia mampu mengawasi setiap perilaku murid-muridnya, baik lahir maupun batin. Tidak heran, banyak murid-muridnya yang menjadi pahlawan nasional dan tokoh kiai besar, di antaranya KH. Hasyim Asyari, KH. Bisri Syamsuri, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Bisri Syamsuri, KH. Bisri Mustofa, Dr. Ir. Soekarno, dan banyak lainnya.
Kemampuan membaca hati tidak asing di kalangan kaum sufi seperti Syaikhona Kholil Bangkalan. Beliau bisa mengetahui bisikan hati dan amal perbuatan yang tersembunyi. Dengan begitu, beliau mampu meluruskan kembali, mengklarifikasi, dan mengobati hati orang lain. Hal ini pernah dialami oleh sepasang suami-istri yang datang berkunjung menemui Syaikh Kholil Bangkalan.
Dalam sebuah kisah yang diabadikan RKH. Fuad Amin Imran dalam bukunya Syaikhona Khalil Bangkalan Penentu Berdirinya NU (2012, h.112), ada sepasang suami-istri yang sangat ingin sowan dan bertemu Syaikh Kholil Bangkalan. Akan tetapi, mereka tidak memiliki apa-apa untuk dibawa sebagai oleh-oleh. Mereka hanya memiliki bentul, yaitu sejenis ubi yang banyak tumbuh di daerah Madura. Namun keterbatasan itu tidak menghentikan mereka, keduanya tetap sepakat berangkat dengan membawa bentul.
Sesampainya di kediaman Syaikh Kholil Bangkalan, sepasang suami-istri itu mendapat sambutan hangat dari Syaikh Kholil. Kemudian, mereka menghaturkan bawaannya, beberapa buah ubi bentul. Sambil menampakkan senyuman dan wajah berseri-seri, Syaikh Kholil menerimanya dengan senang hati, “wah, kebetulan saya sangat ingin makan bentul” ucapnya. Lalu Syaikh Kholil menyerahkan ubi tersebut kepada pembantunya untuk dimasak.
Setelah selesai di masak, ubi bentul tersebut disajikan kembali di hadapan Syaikh Kholil dan sepasang suami-istri tadi. Syaikh Kholil kemudian memakan bentul itu dengan lahap di hadapan suami-istri yang telah datang membawakannya. Tentu saja, sepasang suami-istri tersebut tidak menyangka atas penerimaan yang sangat baik itu. Mereka amat girang dan bahagia melihat kiai panutan mereka begitu menikmati oleh-oleh sederhana yang mereka bawa dari rumah.
Setelah kejadian yang membahagiakan itu, sepasang suami-istri itu pun berniat datang kembali lagi dengan membawa lebih banyak bentul untuk diberikan kepada Syaikh Kholil. Merekapun datang lagi untuk sowan. Namun, berbeda dari kedatangan pertama, tanggapan Syaikh Kholil tidak seperti sebelumnya. Bahkan oleh-oleh bentol yang mereka bawa diserahkan kembali dan disuruh bawa pulang saja. Dalam perjalanan pulang, keduanya terus merenungkan kejadian tersebut.
Dari kisah ini, Syaikh Kholil Bangkalan mengajarkan tentang pentingnya niat dan keikhlasan. Niat yang ikhlas dalam memberi lebih berharga dari jenis barangnya. Syaikh Kholil sangat mengapresiasi ketulusan hati seseorang, bukan pada materi yang dibawanya. Pada kedatangan yang pertama, sepasang suami-istri tersebut datang dengan niat ikhlas ingin memuliakan ilmu dan ulama, mereka datang dengan tawadhu’ (rasa rendah diri) dan malu karena merasa tidak pantas. Sementara pada kunjungan kedua, mereka datang dengan motif terpendam untuk kepentingan berbeda yang kurang lurus, yakni ingin memuaskan Syaikh Kholil, dan ingin mendapat perhatian dan pujian (riya) dari seorang ulama.
Ikhlas adalah ruh dari amal yang kita lakukan. Tanpa keikhlasan maka perbuatan hanya hanyalah gerakan tubuh tanpa nilai yang dapat dihayati. Fondasi Ikhlas terletak pada niat, yang sebenarnya bersifat sangat inti dan tersembunyi di dalam hati manusia. Tetapi bagi seorang guru spiritual seperti Syaikhona semuanya dapat tersingkap jelas.
Singkatnya, sedikit motif duniawi yang memanjakan hawa nafsu dapat memperkeruh keikhlasan seseorang dan membengkokkan niat tulusnya. Banyak sekali amal ukhrawi malah bernilai duniawi karena niat yang tidak benar. Begitu pun sebaliknya, tidak sedikit pula amal yang terlihat duniawi tapi bernilai ukhrawi karena niat yang baik dan lurus.