Menggali Makna Kebahagiaan dalam al-Quran

KolomMenggali Makna Kebahagiaan dalam al-Quran

Keinginan untuk bahagia adalah hasrat alami tiap manusia. Para filosof, baik dari kalangan Islam maupun Yunani sepakat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir yang manusia ingini. Namun, definisi dan ukuran kebahagiaan tiap orang serta bagaimana cara meraihnya seringkali berbeda. Kita sendiri tak jarang terjebak pada kebahagiaan semu dan sementara, sebab tersandung nafsu dan buta arah. Menganggap kualitas eksternal, seperti kekayaan, status, jabatan, dan beragam nikmat duniawi adalah pemenuh kebahagaiaan sesungguhnya. Padahal, mencari kebahagiaan hakiki tentu lebih tepat jika digali dari firman Tuhan yang merupakan hulu hilir kebahagiaan.

Penting untuk diingat, bahwa wawasan al-Quran tak hanya bersifat intelektual. Tapi al-Quran juga hadir secara membumi mendiagnosis penderitaan manusia sekaligus konsep untuk memulihkan kondisi tersebut. Sebab itu, kebahagiaan hakiki yang semestinya manusia cari menjadi urusan yang dibicarakan al-Quran pula.

Bahagia adalah kondisi di mana perasaan ataupun pikiran merasa tenteram, tenang, dan nyaman. Kebahagiaan dalam al-Quran merujuk pada kebahagiaan di dunia serta akhirat. Bahagia di akhirat yang merupakan kebahagiaan abadi adalah tujuan akhir seorang yang beriman. Sedangkan semua kesenangan yang dialami manusia di dunia ini adalah batu loncatan untuk meraih kebahagiaan tertinggi di kehidupan setelah kematian. Artinya, bukan karena kebahagiaan utama adalah di akhirat, sehingga Allah melarang kita bahagia di dunia. Bisa dikatakan, bahwa ada unsur spiritual dalam kebahagiaan di dunia ini, apabila kebahagiaan itu dipahami sebagai sarana menuju kebahagiaan di kehidupan selanjutnya.

Doa sapu jagat yang sangat sering kita dengar atau baca mengilustrasikan bahwa kebaikan di dunia dan akhirat adalah sama pentingnya. Demikian halnya kebahagiaan di keduanya, tentu Allah juga menilainya sama berharga. Bunyi doa tersebut adalah, Rabbana atina fi al-dunya hasanah, wa fi al-akhirati hasanah, wa qina ‘adzaba al-nar. Doa itu adalah penggalan dari surat al-Baqarah ayat 201 yang disukai Rasulullah dan beliau kerap melafazkannya.

Kebahagiaan yang diasosiasikan dengan kata sa’adah, dalam al-Quran disebutkan dua kali. Allah berfirman, Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya (QS. Hud [11]: 108). Sa’adah di situ adalah keadaan permanen yang mengacu pada kebahagiaan akhirat sebagai karunia kekal Tuhan.

Sedangkan di ayat 105, masih dalam surat Hud, Allah berfirman, Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan izin-Nya. Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Rasa bahagia yang dalam ayat ini juga menggambarkan kebahagiaan ukhrawi.

Selain kata sa’adah, lafaz dalam al-Quran yang juga memuat makna kebahagiaan adalah fauz (keberuntungan, kemenangan) dan aflah (keberhasilan). Al-Quran lebih lanjut menggambarkan konsep bagaimana itu kebahagiaan sejati. Bisa ditelisik melalui surat al-Taubah [9]: 72 yang menyatakan, Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, serta mendapat tempat yang baik di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah; itulah kemenangan yang agung.

Dalam Tafsir al-Mishbah, diterangkan oleh Quraish Shihab, bahwa ayat ini membahas sebagian rahmat Allah. Yang Dia tegaskan melalui janji yang pasti bagi semua orang mukmin yang memiliki kemantapan iman. Orang-orang beriman ini akan mendapat anugerah berupa kenikmatan surgawi yang tak ada habisnya. Mereka pun tak perlu khawatir akan akhir, karena mereka abadi di dalamnya.

Baca Juga  Ramadhan Bulan Al-Quran

Lebih dari itu, orang-orang mukmin juga mendapat keridhaan Allah. Perkenan Allah ini adalah hal yang sangat istimewa. Karena, keridhaan Allah meskipun sedikit itu lebih agung daripada surga dan segala fasilitasnya yang nyaman nan indah. Ridha Allah inilah definisi keberuntungan, di mana tiada keberuntungan yang melebihinya. Siapa yang meraihnya, dialah hamba yang berbahagai dan dianugerahi kepuasan hati. Pernyataan serupa, yang menyebut ridha Allah sebagai kemenangan agung juga ditegaskan dalam ayat 119 surat al-Maidah [5].

Gagasan kebahagiaan yang dikandung al-Quran itu dapat dicapai dengan cara-cara yang juga dikabarkan oleh al-Quran. Salah satu konsep kunci dari kebahagiaan adalah perjuangan. Maka dari itu, dengan sendirinya untuk meraih kebahagiaan kita harus berupaya dan berkorban.

Pertama, al-Quran menerangkan sabar sebagai kiat untuk menggapai kebahagiaan. Seperti disebutkan dalam QS. Ali Imran: 200, Wahai orang-orang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Sabar berarti menahan. Dari makna itu lahir konsistensi. Sikap sabar perlu kekokohan jiwa dan pertahanan yang kuat untuk mencapai suatu puncak. Dalam ilmu jiwa pun dikatakan, bahwa manusia punya kemampuan memikul sesuatu yang tak disukainya dan akan memeroleh kenikmatan di balik itu. Dengan kata lain, kebahagiaan menanti orang-orang yang bersabar.

Langkah selanjutnya ialah melalui keimanan serta amal saleh. Allah berfirman, Maka adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka Tuhan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya. Demikian itulah kemenangan yang nyata (QS. Al-Jatsiyah: 30). Iman adalah pondasi yang bersifat spiritual, yang selalu disebutkan beriringan dengan perilaku saleh, ini menunjukkan bahwa keimanan harus diaktualkan dalam akhlak keseharian.

Ketiga, adalah dengan takwa. Yakni menginsafi diri yang diikuti sikap patuh pada perintah Allah dan menjauhi apapun yang dilarang-Nya. Sebab jalan Tuhan adalah jalan kebahagiaan mutlak. Keberuntungan bagi orang yang bertakwa dinarasikan al-Quran dalam surat al-Nur ayat 52. Dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.

Al-Quran adalah samudera hikmah dan pelajaran. Tiga cara menuju bahagia tadi baru sepenggal jalan yang terurai. Betapa Maha Kasihnya Allah sehingga menghamparkan begitu banyak jalan untuk meraih bahagia yang sejati. Al-Quran tidak mendikotomikan antara kebahagiaan dunia dan akhirat. Keduanya diakui, di mana kebahagiaan duniawi dirancang sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan yang lebih utama, yakni di akhirat.

Kebahagiaan tertinggi mesti ditempuh melalui pemurnian jiwa. Segala karunia yang Tuhan beri, entah itu kekayaan, teman yang baik, atau kesehatan, mesti digunakan untuk membantu kita dalam pembersihan diri. Pendek kata, jangan jadikan semua karunia itu sebagai tuan, tapi pelayan yang membantu menuju perkenan Tuhan.

Ide kebahagiaan dalam al-Quran menyatakan, bahwa kebahagiaan sejati adalah saat seseorang mendapat ridha serta rahmat Allah. Sebab, tak ada yang lebih penting dan lebih agung dari kedua hal itu. Pada akhirnya, kita pun hanya dapat menggapai kebahagiaan tertinggi melalui belas kasih dan ridha-Nya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.