Islam Menghargai Keanekaragaman Budaya

KolomIslam Menghargai Keanekaragaman Budaya

Bagaikan mata air yang mengalir ke hilir ke sungai, Islam telah menyebar dari tanah Arab ke penjuru bumi. Lembaga penelitian Pew Research Center mencatat total populasi Muslim dunia berjumlah 1,8 Milyar, yang tersebar di seluruh benua dan berbagai negara. Islam diadopsi oleh orang-orang dari berbagai etnis dan budaya, mulai dari yang tinggal di negara sedingin es seperti norwegia, sampai ke tanah yang panas di Afrika. 

Meskipun ajaran inti dan prinsip-prinsip Islam tetap sama, tetapi cara mempraktikkan Islam dalam kehidupan di berbagai daerah nampak berbeda-beda, karena keadaan mereka yang berbeda. Misalnya, kebiasaan Muslim di Indonesia yang beriklim tropis, dan telah menjadi agama dominan dan berkembang lama, tentu berbeda dengan Muslim minoritas di Amerika yang empat musim. Pertanyaannya, apakah hanya salah satu di antara keduanya adalah Islam yang benar dan yang satunya lagi salah? apakah di tengah fakta keberagaman Muslim di seluruh dunia, hanya ada satu yang benar? hanya yang di Arab saja yang valid?

Kenyataannya Islam di berbagai tempatnya ini seperti sungai-sungai yang berasal dari mata air yang sama. Cara Islam dipraktekkan berbeda-beda dan masih dalam batas-batas yang diperbolehkan agama. Umat islam berbeda di permukaan karena lingkungan fisik dan sosialnya. Meski berbeda, kita tetap memiliki prinsip Islam yang sama. 

Adanya perbedaan budaya dan masyarakat diakui dan dianut dalam Islam dalam ayat QS. Al-Hujurat ayat 13. Ayat ini mencatat bahwa setiap suku atau masyarakat memiliki ciri khasnya masing-masing. Perbedaan ini sama sekali tidak dibenci, tetapi dihormati sebagai bagian dari ciptaan dan skenario Allah SWT.

Islam tidak berusaha mengubah budaya masyarakat secara radikal. Menghapuskan keanekaragaman budaya akan bertentangan dengan sifat holistik Islam yang dapat diajarkan kepada seluruh umat manusia, apapun latar belakang etnis, budaya, dan bangsanya. Seperti yang dikatakan Nabi saw, setelah mengizinkan permainan genderang dan nyanyian oleh orang-orang Abyssinians di masjid, Sesungguhnya, saya telah diutus dengan agama yang lunak dan lurus (HR. Ahmad)

Apa yang Islam berusaha lakukan adalah melestarikan apa yang baik di masyarakat dan mengoreksi apa yang buruk, seperti yang terlihat pada masa Nabi saw. Masyarakat di Mekkah pada saat itu mempraktekkan beberapa tradisi yang membawa malapetaka bagi masyarakat, seperti judi, minum, mengubur anak perempuan dan berbagi istri. Sementara praktik-praktik ini dilarang oleh Nabi saw, ada beberapa contoh di mana Nabi tidak melarang praktik budaya oleh komunitasnya. Misalnya ketika Nabi membiarkan dua orang teman Aisyah menyanyikan lagu adat suku mereka.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ دَعْهُمَا

Aisha RA meriwayatkan, “Rasulullah saw datang ke rumahku ketika dua gadis di sampingku menyanyikan lagu Bu’ats (lagu adat tentang pertempuran antara Aws dan Khazraj). Nabi berbaring dan memalingkan wajahnya ke sisi lain. Kemudian, Abu Bakar ra masuk dan berbicara kepada saya dengan keras, “Alat musik setan di dekat Nabi?” Nabi memalingkan wajahnya ke arahnya dan dia berkata, “Biarkan mereka.” (HR. Al-Bukhari)

Contoh lainnya juga diriwayatkan oleh Aisyah RA, saat Nabi SAW mengizinkannya orang-orang memperlihatkan kesenian beladiri dalam sebuah pertunjukkan budaya.

وَكَانَ يَوْمَ عِيدٍ يَلْعَبُ السُّودَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ خَدِّي عَلَى خَدِّهِ وَهُوَ يَقُولُ دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفِدَةَ 

Baca Juga  Gus Nadir: Kita NKRI, Jangan Tiru Taliban

“Saat hari raya, orang-orang Abyssinia bermain dengan perisai dan tombak. Entah saya bertanya kepada Nabi, atau dia bertanya apakah saya ingin menonton dan saya menjawab ya. Kemudian Nabi menyuruhku berdiri di belakangnya sementara pipiku menyentuh pipinya dan Nabi berkata, “Lanjutkan wahai suku Arfidah.” (HR. Bukhari)

Hadits-hadis di atas menunjukkan bahwa kita dapat menjadi Muslim dengan tetap menjaga identitas budaya kita serta melestarikan warisan tradisi dan seni. Seperti yang dilakukan orang-orang Abyssinia di hadapan Nabi SAW yang didorong untuk melanjutkan aktivitas mereka. Fleksibilitas Islam memungkinkan ajarannya untuk beradaptasi dalam keberagaman umat manusia, tanpa menghilangkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip inti, sehingga memungkinkan Islam untuk dimanifestasikan melalui berbagai budaya di dunia, baik itu melalui pakaian, masakan, arsitektur dan lain sebagainya.

Kita dapat melihat hal positif, bagaimana Islam pertama kali diperkenalkan ke masyarakat adat Nusantara oleh Wali Songo, yang dikenal sebagai sembilan wali Allah swt, dalam menyebarkan Islam. Para wali tersebut terkenal dengan metode dakwahnya yang mengadopsi budaya, tradisi, dan seni lokal. Misalnya Gamelan, digunakan untuk mengajarkan prinsip-prinsip Islam dalam seni musiknya. Wayang, digunakan untuk mengajarkan Islam melalui narasi cerita dan drama treatikalnya. Wali Songo tidak mengajarkan prinsip-prinsip Islam dengan mengorbankan budaya yang dimiliki masyarakat ataupun memaksakan budaya Muslim di belahan dunia lain yang berbeda. Dengan mengadopsi seni dan budaya yang akrab dengan masyarakat, banyak yang tertarik dengan nilai-nilai dan keindahan ajaran Islam.

Di belahan bumi bagian lain pun sama, Melalui bimbingan para cendekiawan Muslim, mereka telah mengadaptasi Islam dengan tetap berpegang pada identitas budaya mereka. Melalui Pakaian, makanan, upacara adat mereka. Misalnya Muslim di Banjarmasin Kalimantan Selatan, melestarikan adat Baayun Maulud sebagai tradisi mengayun anak kecil di ayunan. Meskipun merupakan acara adat suku Banjar, acara tersebut dilaksanakan dengan nuansa Islam yang kental dengan bacaan-bacaan dzikir, ayat al-Quran, shalawat, dan kaligrafi.  

Contoh lainnya lagi misalnya Muslim Amerika Latin di Chiapas, Meksiko. Meskipun jumlah mereka kecil, mereka memiliki kekuatan iman dengan mempraktikkan apa yang diajarkan Islam dalam budaya lokal. Para wanita mengenakan rok wol yang diikat dengan ikat pinggang, blus warna-warni, sweater kecil, dan jilbab. Dengan demikian, mereka tidak hanya dikenal sebagai Muslim karena jilbab mereka, tetapi juga dikenal sebagai anggota adatnya. Hal itu menunjukkan bahwa agama yang mereka anut tidak memutuskan mereka dari komunitas asli mereka di sana. 

Singkatnya, Islam tidak menyangkal hak kita untuk mengamalkan tradisi dari budaya kita yang tidak bertentangan dengan perintah Islam. Di Indonesia sendiri, seni atau praktik budaya yang tidak baik atau berbahaya, seperti budaya berkelahi, menculik, telanjangm, atau melukai diri sendiri, telah dengan sendirinya ditinggalkan, terutama oleh kaum Muslim. Sedangkan yang tersisa saat ini adalah budaya dan kesenian yang baik, arif, dan indah tanpa dampak merugikan apapun. Dan justru menumbuhkan rasa kagum dan cinta pada budaya lokal yang positif. Seperti wayang, musik tradisional, batik, tenun, upacara adat, dan tarian daerah. Budaya dan kesenian seperti itu layak untuk dinikmati oleh masyarakat dan wajib kita lestarikan sebagai kekayaan bangsa yang otentik yang hanya dimiliki Tanah Air kita.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.